Setelah hening beberapa saat, pria yang ditelepon oleh Satya tertawa kecil, "Oke, aku tahu." Satya bersenandung, lalu menutup telepon dan meletakkan telepon di dasbor mobil. Citra tertidur di sampingnya.
Ferrari putih mobil yang dikendarai Satya berhenti di lantai bawah sebuah apartemen mewah. Citra membuka matanya, "Ini? Kita sudah sampai?" Satya turun dari mobil dan membukakan pintu mobil untuknya.
Melihat gerakan Citra yang sedikit lambat, Satya membungkuk lagi, dan mengulurkan tangan tanpa mengucapkan sepatah kata pun untuk melepaskan sabuk pengamannya. Tiba-tiba Citra berkata pelan, "Satya." Suaranya tidak seceria biasanya, kali ini agak parau dan serak, mungkin karena tadi dia menangis hebat karena ketakutan.
"Ya, nona?" jawab Satya. "Aku tidak enak badan, aku tidak kuat berdiri," kata Citra dengan tatapan memelas. Pria itu tidak mengatakan apa pun, dan langsung menggendongnya keluar dari mobil ala pengantin baru dan menutup pintu. Dahi Citra bertumpu pada pundaknya, dan rambutnya yang panjang terurai seperti kain sutra yang lembut, melambai-lambai terkena terpaan angin.
Citra membisikkan nama pengawal pribadinya lagi, "Satya." Satya menjawab dengan lembut, "Ya?"
Citra berbicara dengan kekuatan yang tersisa, "Hari ini kamu harus menangani semuanya. Aku tidak ingin melihat gosip tentang ini di media." Satya menjawab dengan yakin, "Aku akan menanganinya, nona."
Satya masih menggendong Citra dan berjalan ke dalam apartemen dari tempat parkir mobil. Semilir angin yang terasa sejuk, tenang, dan menyegarkan menemani mereka berdua. Citra mencium aroma tubuh Satya yang jelas familiar baginya. Lalu, dia bertanya dengan lemah, "Apa yang kamu lakukan tadi? Boleh aku tahu urusan apa?" Suara Citra sangat pelan, seolah bisa hilang tertiup angin.
Setelah beberapa saat, Satya menjawab dengan ringan, "Saya harus menyelesaikan beberapa masalah dengan tunangan saya, nona." Satya bergumam, "Kamu sangat baik kepada tunanganmu."
Saat pintu lift terbuka, Citra mendengar pria itu mengatakan sesuatu dengan nada yang sangat tenang, "Nona, Anda juga pantas mendapatkan yang lebih baik."
___
Begitu pintu apartemen Citra terbuka, Satya meletakkan Citra di sofa di dalam kamarnya. Citra segera melepas pakaian di tubuhnya dan menyerahkannya kepada pria di sampingnya, "Aku akan mandi." Setelah mengatakan itu, dia langsung pergi ke kamar mandi. Satya melihat punggungnya menghilang dari pandangannya, meletakkan jaket di sofa, dan berbalik untuk keluar.
Air hangat menetes dari atas kepala Citra dan mengalir ke jari-jari kakinya. Wajah lembutnya tidak tampak semenarik biasanya. Kini wajahnya sedikit dingin dan muram tertutup uap air. Citra pusing dan mengantuk. Setelah selesai membersihkan dirinya, dia segera mematikan pancuran air. Setelah menarik handuk, dia menyeka rambut dan tubuhnya. Ketika dia ingin mengambil pakaian, dia baru sadar bahwa tadi dia tidak membawa apa-apa, jadi dia hanya membungkus tubuhnya menggunakan handuk mandi.
Citra melangkah keluar dari kamar mandi tanpa alas kaki. Kakinya yang sedikit basah berpijak di karpet. Sambil menyeka rambut, dia melihat ke sekeliling kamarnya. Sepi. Setelah mengalami kejadian yang mengerikan di mobil malam ini, Citra jadi membenci keheningan. Dia segera berteriak, "Satya! Satya!" Tidak ada suara. Dia berteriak lagi lebih kencang, "Satya! Kamu di mana? Jawab aku!" Setelah beberapa kali memanggil Satya, hanya gema dan keheningan yang lebih dalam yang menanggapinya.
Citra mengerutkan kening. Bukankah pria itu seharusnya memberitahunya jika dia mau pergi? Suasana hati Citra semakin tidak karuan. Dia sebenarnya berharap Satya akan berada di sisinya, bahkan jika dia tidak berbicara sedikit pun. Citra hanya ingin pria itu tinggal di kamar menemaninya.
Kini Citra merasa sedikit kesal dan tidak sabar. Dia menyeka rambutnya dengan kasa, lalu melempar handuknya ke tempat tidur, tidak menyisakan sehelai kain pun di tubuhnya. Setelah itu, dia mengeluarkan pakaian dalam dan baju tidur dari lemari. Dia melirik ke pintu kamarnya yang setengah terbuka, hendak menutupnya, tapi kemudian mengurungkan niatnya. Lagipula hanya ada dia satu-satunya di apartemennya, tidak ada bedanya apakah pintu kamar tertutup atau tidak, selama gordennya tertutup.
Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka.
Citra tiba-tiba menyadari sesuatu, tangannya menegang, dan dia menoleh secara. Sosok Satya yang tinggi dan tegap berdiri di depan pintu kamar Citra. Dia juga tak kalah tegang hingga hanya diam di tempat untuk sementara waktu tanpa memberikan tanggapan.
Citra menatapnya kosong selama tiga detik. Kemudian, tiba-tiba, dia gugup sambil menyilangkan tangannya di depan dadanya untuk menutupinya. Lalu, dia berkata dengan panik setengah berteriak pada Satya, "Kamu! Kenapa kamu berdiri di sana? A-apa yang kamu lakukan? Bukankah kamu sudah pergi?"
Satya masih terpaku di tempatnya, memandang Citra yang sedang telanjang. Bibir tipisnya sedikit terbuka. Dia berbicara dengan suaranya rendah dan parau, "Saya… Saya turun untuk membeli obat, n-nona." Ketika dia mengatakan ini, matanya tetap menatap ke arah Citra. Citra diam selama beberapa detik sebelum berteriak padanya dengan marah, "Kalau begitu jangan di sini! Cepat keluar!" Dia segera beranjak ke arah pintu dan menutupnya dengan kencang.
Citra telanjang. Dia bahkan tidak memakai pakaian dalam apa pun, dan dia berdiri tanpa penutup apapun di depan Satya kecuali rambut panjangnya.
Satya yang sudah berada di luar kamar Citra berdiri dengan kepala menunduk, napasnya sedikit tidak beraturan, dan buku-buku jari tangan kanannya masih memegang gagang pintu kamar Citra erat. Dia menutup matanya, tetapi pemandangan yang baru saja dia lihat dengan jelas muncul di benaknya dalam sekejap. Citra sangat mungil. Tubuhnya sangat pas untuk didekap dalam pelukannya.
Di depan media dan orang lain, Citra memiliki sebutan sebagai sebagai ratu yang manis oleh media. Namun, Satya telah melihat berbagai penampilannya Citra, dan dia bisa mengatakan bahwa sebutan itu rasanya kurang untuk seseorang seperti Citra. Gadis itu benar-benar sempurna. Kulit putih, kaki ramping, dan pinggangnya yang kecil, semuanya sangat indah. Satya bahkan sempat membayangkan bagaimana jika tadi dia menyentuh gadis itu. Dia masih bisa mengingat dengan jelas rambut panjang basah kuyup seperti rumput laut yang jatuh dari pinggang Citra dan menutupi bahunya.
Saat tadi Satya masuk ke kamar tidur Citra, dia menatap Citra dengan mata terbelalak seolah dia sedang melihat seorang bidadari yang baru saja keluar dari bak mandi, dengan kelembapan dan keharuman yang luar biasa. Sungguh sebuah godaan yang mematikan dan bisa membangkitkan hasrat di dalam tubuhnya. Jika dia tidak menahan dirinya, mungkin tadi Citra sudah diserang olehnya seperti seekor binatang buas.
Ketika tubuh Satya sudah menegang, dia menyadari apa yang sedang bergulir di pikirannya. Dia sedikit menundukkan kepalanya merasa bersalah. Dia menutup matanya. Jakun pria itu naik dan turun beberapa kali sebelum dia menghembuskan napas panjang. Keringat dingin menetes dari dahinya hingga ke ujung hidungnya.
Lima belas menit kemudian, Citra sudah berpakaian rapi. Dia memilih untuk membuka pintu kamar dan berjalan keluar. Dia mengenakan baju tidur berwarna putih, sebuah baju yang sederhana nan elegan. Rambut hitam panjangnya masih basah. Begitu pintu terbuka, dia melihat pria itu berdiri di depan jendela di ruang tamu, sedang menatap ke langit. Citra menggigit bibirnya. Dia hendak berbicara, tetapi pria yang mendengar langkah kakinya itu segera berbalik ke arahnya.
Mata mereka bertemu. Citra pun lupa tentang apa yang mau dia katakan pada Satya. Satya menatapnya dalam hening, lalu menundukkan kepalanya untuk melihat kaki Citra yang telanjang dengan jari-jari kakinya yang meringkuk di atas karpet.