Wanita bersurai legam senada dengan iris tajamnya itu melirik gadis di belakangnya masih mempertahankan posisi melindungi sang Nona muda dari pria mesum yang masih terlentang di atas jalanan bersalju.
" Nona, jangan menghilang seperti itu lagi atau saya bisa kehilangan kepala saya nanti." Ujar sang ksatria wanita yang tak lain adalah Medusa dalam wujud manusianya. Eve menekuk bibirnya beberapa senti karena ternyata dirinya akan ditemukan semudah itu oleh sang wanita ular.
" Maaf tapi kalian membuatku semakin frustasi termasuk kau, bagaimana bisa mengucapkan kata-kata sejahat itu padahal aku sudah berusaha sekeras mungkin." Balas Eve dengan suara lirih, ada sorot sendu terdengar di sana membuat perasaan menyesal kembali melingkupi hati Medusa karena sang Nona telah berusaha memahami dan memperlakukannya layaknya seorang kakak selama ini.
" Yang lebih penting, pria itu adalah Pangeran Devian. Bagaimana jika dia terluka dan mati? Medusa, kenapa kau selalu gegabah membunuh dan bertingkah bar-bar."
Eve menggeser tubuh wanita dewasa di hadapannya guna memastikan bahwa abdinya itu tidak membunuh seorang anggota Kerajaan. Bagaimana jadinya nanti, jika yang ia bunuh bukan kriminal bersalah. Meskipun Robin Hood adalah pencuri harta para bangsawan, tapi hasil curiannya itu dibagikan kepada rakyat.
Eve mengintip dengan berjinjit melalui balik tubuh tinggi semampai Medusa, " Nona seorang manusia setengah iblis seperti dirinya tidak akan mati semudah itu." Ujar Medusa malas sembari menatap pria pirang yang telah membuka matanya dan tertawa keras.
" Wah, tante seharusnya anda tahu apa itu rahasia dan privasi. Apakah para roh legenda selalu lancang seperti ini?" Cetus Devian sarkas tanpa basa-basi langsung menusuk tepat di hati wanita yang ia maksud. Medusa tertawa datar saat mendengar cara bocah manusia setengah iblis memanggil dengan sebutan 'tante'.
" Lihatlah, siapa yang membicarakan tentang tata kesopanan. Tuan, apa anda amnesia sesaat, apa yang anda lakukan pada calon Istri orang lain tadi tidak ada dalam norma kesopanan." Sergah Medusa tak kalah pedas, mereka saling melempar senyum miring dan menatap angkuh satu sama lain. Eve mendesah pelan memijit pangkal hidungnya akibat merasakan pening yang dideranya terasa kian menyakitkan.
Devian melirik sekilas gadis yang sudah tampak pucat di belakang tubuh wanita bersetelan ksatria itu, si pria mendesah pelan kemudian berjalan tanpa takut berhenti di hadapan si gadis bersurai perak tangannya menjulur menyentuh surai perak sang gadis. Medusa yang melihatnya hendak melemparkan tendangan kecil kembali, namun terdiam kala menyadari pria itu tengah merapal sebuah mantra.
" Calidium." Eve dapat merasakan kehangatan melingkupi tubuhnya sehingga seutas senyum manis telah terpatri di wajah sang Lady. Tanpa disadari Devian ikut mengulum senyum sepersekian detik sebelum meletakkan sebuah mantel lusuh dan tua di bahu mungil gadis itu.
" Kalian pasti ingin bicara dahulu bukan? Bicarakan di dalam pondok sembari menghangatkan tubuh." Serunya setelah berjalan cukup jauh meninggalkan mereka, namun langkahnya terhenti saat merasakan sesuatu datang ke arahnya. Dan benar mantel yang tadi telah ia pasangkan dengan keren pada Evelyna terbang ke arahnya. Sang Pangeran geram dengan wanita angkuh di sana, jika bukan karena perbedaan kekuatan di antara mereka mungkin Devian tidak akan memilih mengalah.
" Ambil mantel lusuh tuamu Pangeran, bahkan sebutan pahlawan dan bangsawan tak cocok untukmu. Dan maaf saja kami akan segera pergi dari perkampungan kumuhmu ini." Seloroh Medusa kasar, ucapannya berhasil membuat beberapa orang yang mendengarnya menatap sinis akan perlakuan kasar sang wanita. Bahkan seorang wanita berkuncir dengan warna rambut jahe tiba-tiba telah menodongkan senapan laras panjangnya.
" Hei, nyonya dengar Tuanku sudah sangat bermurah hati menyelamatkan Nonamu itu dari hipotermia. Lalu ini balasanmu?" ucap sang wanita berkuncir itu yang telah bersiap menarik pelatuk senapan di tangannya. Medusa justru tersenyum angkuh tak memperdulikan ocehan serta gunjingan beberapa orang disekitarnya, sampai sosok gadis bersurai perak maju tanpa ragu dan membungkuk sembari mengangkat sebelah gaunnya, tak lupa sebelah tangannya berada di atas dada.
" Mohon maafkan sifat lancang pengawal saya. Ini adalah kesalahan saya karena tidak piawai dalam mengajarkan serta membimbingnya dengan benar."
Seorang bangsawan meminta maaf, bahkan menunduk serta membungkuk di hadapan rakyat biasa. Menurunkan harga diri seorang aristokrat demi mencegah pertengkaran serta membela sosok roh lancang sepertinya, Medusa mendecih dan memalingkan wajahnya. Ucapan sang Duke kembali terngiang dibenaknya.
' Asal kau tau Eve adalah gadis berhati lembut yang akan selalu berdiri dan rela menyelamatkan siapapun tanpa memperdulikan siapa mereka. Mengabaikan gelar bangsawan dalam darahnya, dan itupun berlaku untukmu yang sudah ia anggap sebagai kakak serta sahabatnya.'
Punggung lemah dan rapuh itu berusaha melindunginya? Jangan membuat lelucon tak masuk diakal. Begitu pikirnya hingga ia mendengar ucapan Eve yang kian mengeras saat terdengar si wanita kuncir itu kembali membidik.
" Saya mohon maaf, saya mohon ampunilah pengawal saya." Seru si gadis bersurai perak yang telah berdiri tegak tanpa gentar sekalipun wanita berkuncir itu telah membidiknya. Hingga Devian menarik senapan milik si wanita dan berbalik, sebelumnya sempat menebar senyum kepada beberapa orang yang menonton keributan kecil mereka. Berusaha meredakan suasana tegang lebih tepatnya.
" Maaf karena Vero sudah menodongkan senapannya padamu. Ini juga instingnya sebagai pengawal." Tukas sang pangeran Britania Raya itu masih mengulum senyum menawannya yang turut dibalas oleh sang Lady.
Devian melihat ke arah samping kanannya menunjukkan sebuah pondok kecil dengan kepulan asap di cerobongnya, " Nenek Jojo sudah menyiapkan pondok kosong itu untuk tempat beristirahat kalian, hari mulai larut badai bisa saja kembali menetaplah."
" Jangan khawatir aku akan menghubungi si Tua Castiello tentang keadaanmu Lorraine." Tambah sang pria pirang lagi. Devian hendak melangkah namun pria itu kembali berbalik kali ini tanpa ada senyum sama sekali, sepasang iris biru lautnya menyorot dingin dan tampak sedikit mengkilap.
" Lalu untukmu wanita tak tahu diri. Aku bukannya lancang pada nonamu, aku menyelamatkannya dari hipotermia. Apa itu yang kau sebut pengawal? Bagaimana bisa kau tidak menyadari tubuh gemetar dan raut pucat Nona mu?" Pungkas sang pria pirang lagi, dan untuk kedua kalinya dalam sehari ini Medusa merasakan tikaman yang tepat sasaran.
" Sekarang bisa kulihat kenapa Lorraine sampai melarikan diri. Kau bahkan tak melihat usaha Tuanmu melindungi dan mengasihimu. Sekuat apapun kau, bagaimanapun dirimu tetap berada di bawah naungan serta tanggung jawabnya."
Kali ini Devian benar-benar pergi meninggalkan mereka, kedua orang itu sendiri masih dilingkupi rasa canggung hingga suara bersin gadis bersurai perak mengusik. Eve terkekeh cengengesan dan menarik tangan Medusa lembut untuk memasuki pondok mungil sang Robin Hood guna menghangatkan diri.
******
Angin berhembus cukup kencang membawa butiran salju turut serta bersamanya menyebabkan beberapa pintu rumah terasa seakan dihempaskan. Udara dingin merembet masuk melalui celah-celah pondok yang memang terbuat dari kayu. Beruntung sebuah tungku perapian menyala menyebarkan hawa hangat, tak lupa secangkir coklat panas dan semangkok sup yang mengepul telah tersedia saat kedua wanita itu memasuki pondok. Gadis bersurai perak mengambil sebuah selimut rajut usang yang diletakkan di atas sandaran kursi kayu. Lengkap dengan hidangan hangat yang sudah ditata rapi di meja.
Eve semakin merasa sungkan karena perlakuannya yang sempat memaki pria pirang yang mungkin berperilaku sedikit urakan meskipun darah bangsawan kerajaan telah mengalir dalam dirinya. Setidaknya ia sudah meminta maaf atas perilaku kasarnya dan sang pengawal yang saat ini hanya menatap ke arah cairan berwarna coklat gelap di tangannya.
Pondok mungil itu begitu hening hanya terdengar deru angin badai salju yang mengisi pendengaran mereka, beberapa kali suara derit kayu yang terbakar turut serta. Hingga akhirnya Medusa berdeham sedikit memecah suasana canggung mereka, " S-sa-saya me-meminta maaf."
Eve terdiam beberapa saat barulah tersedak sup yang baru saja melewati kerongkongannya seperti berhenti mendadak saat mendengar ucapan wanita di hadapannya.
" Apa? Untuk apa meminta maaf Medusa?" tanya si gadis bersurai perak yang telah meredakan batuknya dengan menegak air di gelasnya. Medusa bergumam pelan, rautnya memerah menahan malu pasalnya ia tak pernah sama sekali meminta maaf pada siapapun bahkan Ryuna sekalipun.
" Saya tidak melakukan tugas sebagai seorang roh panggilan yang bertugas menjaga nona, meskipun nama saya sendiri memiliki arti perlindungan." Jelas Medusa akhirnya setelah hampir selama 5 menit terdiam kembali.
" Saya pun diam-diam melakukan hal yang seharusnya tidak saya lakukan pada Tuan yang melayaniku sendiri."
" Dan yang paling terburuk adalah menguburnya dalam dusta dan memakainya sebagai topeng untuk menjalankan tanggung jawab saya."
Medusa tertunduk, pegangannya pada gelas besi berisikan cairan berwarna coklat mengerat. Entah mengapa hanya saja berucap jujur pada gadis bersurai perak itu memunculkan kegelisahan dan pikiran-pikiran aneh. Seperti ditariknya kembali perjanjian mereka dan dirinya akan digantikan dengan roh penjaga asli milik sang nona.
Denting peralatan makan yang berhenti beradu semakin membuat kegelisahan dalam hatinya menderu kencang, terlebih sang nona hanya terdiam dan masih melanjutkan kegiatannya seolah tak terjadi apapun, " Medusa?" panggil suara itu lembut. Mau tak mau Medusa mengangkat pandangannya guna menanggapi panggilan sang nona.
" Jangan meminta maaf, itu adalah hal yang wajar jadi jangan meminta maaf." Ucap Eve lembut dan mengulum senyum manis miliknya. Medusa segera mengalihkan pandangannya tak ingin membiarkan pertahanannya runtuh begitu saja.
" Aku tau tentang semua itu, bahkan termasuk rasa benci padaku karena menyebabkan Nona yang sebelumnya kau layani mempertaruhkan nyawanya untukku. Siapapun wajar berpikir begitu." Tambah Eve lagi, senyum masih terpatri di paras ayunya. Tak ada sirat kemarahan atau dengki dan benci yang dirasakan sang wanita ular dari setiap katanya, dan itu semakin membuat rasa bersalah menggelut hatinya.
" Kenapa? Itu bukan hal yang wajar dirasakan oleh makhluk yang bahkan tidak berhak atas dirinya sendiri." Lirih Medusa dengan raut mengeras, gadis bersurai perak itu sedikit terkejut saat melihat wanita di hadapannya tampak gelisah dan sedih sehingga membawa memori menyakitkan itu kembali padanya.
" Siapa bilang? Kau hidup Medusa. Sekalipun kau hanya Roh yang dipanggil namun kau bergerak atas kehendakmu sendiri, jadi jangan bicara seolah-olah kau adalah alat." Bantah gadis beriris hijau zamrud itu cukup keras hingga membuat Medusa yang sekarang terkejut karena reaksi Nona mudanya itu. Hal terkejut yang lain adalah saat tiba-tiba saja tubuhnya dilingkupi kehangatan yang tak bisa lagi tubuhnya berikan.
Eve memeluk tubuh sang wanita ular beberapa kali menepuk pundak dan punggungnya. Medusa gagal menahan benteng pertahanannya dari seorang manusia yang lemah dan rapuh seperti sang Nona. Castiello benar, gadis ini memiliki hati yang lembut. Satu hal yang sama dengan pendahulunya, Ryuna.
Wanita bersurai ular itu menarik diri dari rengkuhan sosok gadis muda di hadapannya, tersenyum manis sekaligus masam untuk pertama kalinya dengan iris obsidiannya yang berkaca-kaca, " Ingin mendengar sebuah kisah Nona?" tawar sang wanita ular itu.