Sudah 2 hari ini sikap Seokjin berubah menjadi aneh, ia lebih banyak terdiam daripada berbicara panjang lebar seperti biasanya dan itu membuat Yoongi sahabatnya menatap heran sekaligus khawatir dengan keadaannya. Jungkook yang tahu apa yang terjadi pada perubahan Seokjin hanya bisa terdiam tanpa bisa berbuat apa-apa, karena pada kenyataannya Seokjin menyuruhnya untuk merahasiakan hal ini pada yang lainnya termasuk pada Yoongi.
"hahhhh" helaan nafas panjang keluar dari bibir tipisnya dengan lamban ia beranjak dari duduknya dan mulai berjalan masuk kedalam kamar. Yoongi yang melihat itu dengan cepat mengikuti Seokjin masuk kedalam kamar.
"Jinnie? Sebenarnya ada apa?? Apa kau ada masalah??"
Seokjin hanya menggeleng pelan sambil memaksakan seulas senyum palsunya, "aku tidak apa-apa hanya sedikit tidak enak badan saja"
Lantas ia menggulung dirinya dengan selimut dan memunggungi Yoongi yang masih berdiri di depan pintunya. Yoongi yang melihatnya hanya bisa menghela nafas panjang dan mulai pergi setelah menutup pintu kamar Seokjin. Seokjin yang sebenarnya tidak tidur hanya bisa membalikkan badannya menatap langit-langit kamar.
Setelah kejadian kotak hadiah tersebut, teror terus berlanjut walaupun yang datang hanya sebuah surat namun isinya tetap sama bahwa ia tidak mengetahui Namjoon sebenarnya. Seokjin diam-diam menyelidiki isi surat tersebut namun ia tidak mendapat hasil sama sekali hingga ia meragukan dirinya dan Namjoon mungkin lebih tepatnya meragukan hubungannya.
Seokjin tidak tahu apa yang ia rasakan sekarang karena setiap kali keluar dengan Namjoon ia terus disibukkan dengan teror yang menimpa dirinya tanpa berani berbicara pada Namjoon yang sebenarnya. Hingga kemarin teror itu datang lagi dan kali ini dengan sebuah foto Namjoon masuk kedalam gedung dengan memakai setelan jas rapi bersama dengan teman-temannya.
Dan itu membuat Seokjin semakin bingung karena selama ini ia tidak pernah tahu Namjoon berpakaian rapi dan formal seperti itu dan jika dilihat ia seperti sedang berada dalam rapat penting disana. Dan itu membuat Seokjin berpikir bahwa Namjoon menyembunyikan sesuatu darinya. Seokjin berusaha memejamkan matanya, kali ini ia begitu sangat lelah dengan segala masalah yang menimpanya.
☜☆☞
Namjoon baru saja selesai menghadiri rapat dewan direksi di perusahaan tambang miliknya dan baru saja sampai di Mansion. ia melonggarkan dasinya dan mulai melepas satu kancing kemejanya sedangkan jasnya ia lempar diatas ranjang miliknya. Namjoon berjalan menuju meja kerjanya dengan beberapa berkas dan laporan mengenai pekerjaannya. Namjoon secara resmi menjadi CEO di perusahaannya setelah ayahnya secara resmi mengumumkan kemunduran dirinya dan memberikannya kepada Namjoon, itulah sebabnya ia menghadiri rapat direksi bersama teman-temannya yang kebetulan adalah pemegang saham disana.
Namjoon menghela nafas panjang sambil bersandar pada kursinya, ia tengah berpikir sambil memutar bolpoinnya secara cepat. sudah dipastikan ia akan sangat sibuk dengan pekerjaan barunya ditambah lagi ia belum berani mengatakan yang sebenarnya pada Seokjin mengenai dirinya yang sebenarnya. mengingat Seokjin membuat Namjoon tersenyum samar ia sangat merindukan kekasihnya itu dan akhir-akhir ini ia menjadi sibuk dengan jadwal fashion shownya hingga mereka belum bertemu selama 2 hari ini.
ia barus saja akan beranjak pergi ke kamar mandi saat pintu kamarnya terbuka dan muncul Hoseok di depan pintu. "oh Hoseok-ah ada apa?"
Hoseok masuk kedalam dengan beberapa amplop yang ia bawa, "ayahmu menitipkan ini padaku..." Hoseok menyerahkan sebuah undangan pesta kepada Namjoon. "dan anehnya semua mendapatkan undangan tersebut"
Namjoon mengernyit menatap Hoseok bingung, "maksudmu dengan semua??"
"Jimin, Taehyung, aku dan kau serta ayah kita kecuali paman Danny yang masih berada di inggris"
Namjoon kembali menatap undangan pesta tersebut dan mulai membukanya sekilas ia membaca isi undangan tersebut dengan cepat, "pesta apa ini??"
Hoseok hanya mengangkat bahunya, "entahlah kupikir ini pesta untuk para pengusaha mengingat ayah kita juga diundang"
Namjoon mulai meletakan undangan tersebut diatas meja kerjanya, "oh baiklah... apa kau masih ingin berbicara denganku??" tanya Namjoon kepada Hoseok yang masih berada didalam kamarnya.
Hoseok hanya menggeleng singkat, "kau mau pergi??"
"hmm aku ingin menemui Seokjin" ucap Namjoon sambil berjalan menuju kamar mandi meninggalkan Hoseok sendirian disana. tak berapa lama Hoseok pun keluar dari ruangan tersebut sambil mengecek ponselnya.
☜☆☞
Seokjin sedang melamun dibalkon apartemennya saat ia mendengar suara bel pintu miliknya. ia mengernyit bingung dan sedikit takut karena mungkin saja surat teror itu datang lagi ketempatnya. dengan langkahnya yang pelan ia mulai mengambil sebuah payung didekat pintunya, tanganya bergetar saat memegang knop pintunya. dengan sedikit hebusan nafasnya dengan cepat ia membuka pintu miliknya dan bersiap memukul orang didepannya namun terhenti saat melihat Namjoon dengan wajah terkejutnya.
"Jin...Jinnie?"
Seokjin juga terkejut dan mulai menjatuhkan payungnya dengan cepat, ia mulai kebingungan takut Namjoon akan bertanya dengan tindakannya barusan. dengan cepat ia mulai berpikir mencari alasan atas tindakannya.
"ada apa itu tadi?? kenapa kau hendak memukulku dengan payung??" tanya Namjoon
"a...ah itu aku baru saja menonton film tentang pembunuhan dan penjahat jadi terbawa suasana hahaha"
Namjoon mengangkat kedua alisnya ia yakin bahwa Seokjin sedang berbohong kepadanya karena kedua telinga gadisnya berubah menjadi merah saat ia berbohong dan ia baru menyadari itu saat Seokjin sakit perut karena makan pedas dan berbohong padanya kalau ia tidak memakan makanan pedas saat itu. Namjoon saat itu sedikit kesal dan mulai menceramahi Seokjin agar tidak memakan makanan pedas.
"kenapa kau datang kesini Jun??"
Namjoon menatap Seokjin dan kembali menampilkan senyum dimplenya. ia masuk kedalam apartemen Seokjin sambil berkata, "aku merindukan kekasihku yang sibuk ini" kemudian ia memeluk Seokjin dengan sangat erat.
Seokjin yang saat itu sedang banyak pikiran dan masalah kembali luluh dengan perlakuan lembut Namjoon dan masalah yang dipikirkannya hilang seketika. Namjoon melepaskan pelukannya dan kembali menatap Seokjin.
"mau makan malam denganku diluar?"
Seokjin menggeleng kepalanya menolak, "aku sedang tidak ingin keluar. bagaimana kalau menghabiskan waktu disini saja? kita tidak pernah berkencan didalam rumah."
Namjoon tersenyum dan mengusal rambut Seokjin, "baiklah apapun yang kau inginkan. kalau begitu aku akan memesan makanan untuk makan malam kita"
Seokjin kembali menggelengkan kepalanya, "hmmm jangan aku akan memasakanmu makan malam lebih baik kita memesan ayam dan juga soda untuk camilan saat menonton film"
Namjoon membelalakan matanya terkejut dan mulai tertawa kecil ia lupa kalau gadisnya ini suka sekali makan, "hahaha oke baiklah"
mereka berduapun masuk kedalam rumah. Seokjin segera menuju dapur untuk membuat makan malam sedangkan Namjoon sedang menyiapkan sebuah film yang akan ditonton saat tangannya sedang sibuk memilih sebuah kaset film, manik matanya menangkap sesuatu yang aneh dibawah tumpukan kaset-kaset lama milik Seokjin.
dengan pelan ia menarik benda tersebut yang ternyata sebuah kertas surat, saat ia membaca tulisan yang tertera pada kertas itu Namjoon sangat terkejut karena tulisan itu ditulisan dengan darah namun bukan itu yang membuatnya terkejut. yang membuatnya sangat terkejut adalah isi surat tersebut yang mengatakan bahwa Seokjin tidak mengetahui indentitas Namjoon yang sebenarnya.
berbagai pikiran mulai memenuhi kepala Namjoon. siapa orang yang mengirim surat tersebut kepada Seokjin? kenapa Seokjin tidak bercerita tentang surat teror ini? apa ini yang menyebabkan Seokjin hampir memukulnya dengan payung? apa Seokjin tahu tentang Namjoon sebenarnya?. semua pikiran itu membuat Namjoon sedikit menyelidik asal surat tersebut dengan cepat ia memasukkan surat tersebut disaku mantelnya.
untuk saat ini Namjoon akan diam dengan apa yang ia temukan ditempat Seokjin. ia tidak akan memaksa Seokjin untuk bercerita mengenai surat ini karena ia tahu Seokjin pasti sedang bingung dengan dirinya dan sepertinya ia harus bersiap dengan resiko yang ia hadapi.