Berdiri dihadapan sebuah gedung tinggi yang sudah lama tidak ia pijaki. Tetapi, kali ini dirinya terpaksa melakukannya karena sesuatu yang tak diinginkannya telah terjadi. Seorang pria yang merupakan Papa kandungnya sendiri sedang berulah dan itu sangat membuatnya merasa muak.
Laki-laki itu adalah Yashelino Albert. Semua orang sedang memandang kearahnya, apalagi para pekerja perempuan dari yang muda hingga tua pun mereka menatap kearahnya dengan berbeda.
Sungguh ini adalah hari yang paling memuakkan, dimana pun ia berada pasti akan menjadi sorotan semua pasang mata dan itu sangat membuat dirinya merasa tidak nyaman.
Yas memakai kacamata hitamnya, lalu memasuki gedung yang berada dihadapannya itu dengan cepat. Ia tidak ingin semua orang memandangnya dengan begitu lama hingga dirinya saat ini sudah menaiki lift dan beruntungnya hanya ada satu orang pria yang berdiri disampingnya.
Ia menghela nafas, lalu membuka kaca matanya sebentar sebelum akhirnya dirinya memasangkannya kembali.
"Kamu anaknya pak Orland, kan?" tanya seseorang.
Mendengar suara seseorang yang bertanya membuat Yas terpaksa harus mengakui bahwa yang dimaksudkan oleh orang tersebut memanglah benar.
Akhirnya Yas pun menoleh kearah dimana seorang pria itu saat ini sedang berbicara terhadapnya. Ia memberikan senyum terbaiknya, lalu berkata, "Iya, Saya putranya. Maaf dengan Om ... Siapa ya?" ujarnya berbasa-basi.
"Oh, perkenalkan Saya Nando," ujar pria tersebut yang kini menjabat tangan kearahnya. Yas yang melihatnya langsung memberika satu tangannya dan membalas jabatannya itu.
"Senang berkenalan sama Om," ujar Yas dengan senyumannya. "By the way, Om kesini mau ketemu Papa?"
Dilihatnya pria itu yang mengangguk, membuat Yas tersenyum canggung. Dirinya terpaksa harus menunda permasalahannya dengan Orland dan menunggu sampai Nando selesai berbicara dengan papanya sendiri.
"Iya, Saya ada urusan dengan Papa kamu," jawabnya.
Yas pun mengangguk, bertepatan dengan itu akhirnya pintu lift pun terbuka dan artinya ia telah sampai dilantai paling atas dimana ruangan CEO berada. Tentunya bersama dengan sesosok pria yang merupakan tamu Orland, papanya sendiri.
Laki-laki itu membiarkan Nando berjalan lebih dulu dengan alasan ia memiliki panggilan mendadak. Memang benar Yas mendapatinya, tetapi waktunya begitu pas hingga dirinya merasa harus berterimakasih kepada seseorang yang sudah menghubunginya.
Yas berjalan sedikit menjauh dari ruangan Orland untuk mengangkat pamggilannya, "Ya, halo, gimana Fiz?" tanyanya. Ternyata yang menghubunginya adalah Sahabatnya yang paling mengerti dirinya.
"Yas, lo dimana?" tanya Alfiz.
"Gue di Perusahaan bokap," jawabnya.
Terdengar helaan nafas dari seberang sana, "Udah gue duga," ujar laki-laki itu yang membuat Yas menundukkan kepalanya merasa kesal ketika mengingat apa yang baru saja dilihatnya.
"Yas, lo gak ada niatan buat ngampus?" tanyanya yang langsung dijawab oleh laki-laki itu.
"Nanti, enggak sekarang," ujar Yas.
"Sip, gue tahu kalau lo gak mungkin gak akan dateng," ujar Alfiz yang langsung diangguki olehnya. "Lo tahu tentang video itu?"
"Udah, gue liat tadi di apart," jawabnya dengan malas.
Cukup lama mereka saling terdiam hingga sesuatu yang dikatakan Alfiz begitu membuat Yas tertegun beberapa saat.
"Yas, lo berpikiran hal yang sama gak sih sama gue?" tanya Alfiz.
"Apaan?" tanya Yas yang masih tidak mengerti.
"Lo gak heran gitu sama si James, dia kan biasanya nyari target tuh yang cewek montok, body goals gitu," ujar Alfiz. "Gue aja sampe gak bisa percaya kalau cewek yang dia targetin itu menurut gue biasa aja sih, kaya anak baik-baik."
"Aneh gak sih?" lanjutnya lagi.
Yas yang mendengarnya cukup lama diam, saat melihat video tersebut yang memperlihatkan dimana James sedang menggendong seorang gadis yang ia yakini adalah orang yang sama saat itu menghampirinya dan berakhir mendapat bullyan dari semua mahasiswi yang ada di kampus.
Apa yang dikatakan oleh Sahabatnya itu ada benarnya juga. Dari semua mahasiswi cantik yang ada di kampus, kenapa gadis itu yang James pilih?
Seharusnya ia lebih peduli lagi dan memperhatikan semua yang dilakukan oleh James, karena bagaimanapun dirinya juga memiliki rasa tanggung jawab terhadap saudaranya sendiri.
Tantenya menitipkan putranya kepada Yas, hal itu membuat seseorang sepertinya merasa bertanggung jawab atas apa yang menimpa laki-laki itu suatu saat nanti.
"Lo bener," ujar Yas, satu tangannya mengepal kuat. "Fiz, lo cari tahu kenapa dia cari targetnya yang beda kali ini."
"Siap, Yas," ujar Alfiz, "Gue bakal cari tahu itu, lo tenang aja, gak usah khawatir."
Ketika Yas hendak mematikan panggilannya, sebuah suara seseorang yang begitu ia kenali pun membuatnya terpaksa harus menoleh dan mendapati sosok Orland yang berdiri cukup jauh dari dirinya.
Pria itu dengan gagahnya memanang kearah Yas dengan begitu dalam, meskipun ia tahu tidak akan bisa melihatnya, akan tetapi dirinya bisa merasakan hal itu. Kemudian melihatnya masuk kembali ke ruangan, dan dirinya cukup mengerti maksud darinya.
"Fiz, gue tutup dulu ya teleponnya. Nanti gue kabarin kalau udah sampe kampus," ujarnya kepada laki-laki itu.
"Eh, biar nanti gue jemput deh, ya?" ujar Alfiz.
Yas yang mendengarnya pun langsung menghela nafas dan berkata, "Oke, gue kabarin nanti," ujarnya.
Setelah itu panggilan pun terputus, ia menatap layar ponselnya sejenak sebelum akhirnya laki-laki itu memasukkannya kembali ke dalam saku celananya. Kemudian dirinya melangkahkan kaki menuju kearah sebuah ruangan dimana papanya berada.
"Pokoknya gue bakal ngancam dia kalau sampe gak mau hapus berita itu!" ujar Yas meyakinkan dirinya sendiri.
Akhirnya Yas pun sampai didepan pintu ruangan dan membukanya secara perlahan sehingga nampaklah seorang pria sedang berdiri membelakanginya dihadapan sebuah kaca yang memperlihatkan suasana kota.
"Papa tahu kedatangan kamu kesini," ujar Orland dengan suaranya yang begitu khas.
Mendengar perkataannya saja sudah sangat membuatnya merasa muak, akan tetapi Yas masih diam dan berusaha setenang mungkin. Ia lalu berjalan secara perlahan mendekati pria itu dengan kedua tangan yang mengepal kuat.
"Kenapa Papa lakuin itu?" tanya Yas dengan suara beratnya. Kedua mata laki-laki menatap tajam Orland yang saat ini sedang membelakanginya.
Sementara itu pria tersebut langsung tersenyum smirk ketika mendengar perkataan putranya. Ia sudah bisa menduganya, bahwa putranya pasti akan datang untuk mempermasalahkan tentang berita itu.
"Lakuin apa?" ujar Orland, "Apa yang papa lakuin sama kamu?"
Mendengar itu Yas semakin mengepalkan kedua tangannya, rahangnya mengeras, bahkan nafasnya sudah tidak teratur. Ia sangat marah, tetapi dirinya tak sebodoh itu untuk melakukannya.
"Jangan pura-pura gak tahu, Pa," ujar Yas dengan setenang mungkin. Ia sampai kapanpun tidak akan pernah mau dijodohkan dengan perempuan manapun.
"Kamu tahu kalau kamu itu anak satu-satunya bukan?" tanya Orland dengan suara beratnya.
Yas dapat melihat betapa angkuhnya pria yang sedang berada dihadapannya itu membelakanginya. Ia sangat benci melihatnya, semoga saja dirinya tidak memiliki sifat menurun dari papanya sendiri.
"Aku tahu, tapi aku gak mau dijodoh-jodohin kaya gini! Aku berhak menentukan pilihannya sendiri, siapa yang akan jadi pendamping aku nanti," ujar Yas penuh penekanan.
Suasana cukup hening saat ini, bahkan Orland tidak membuka mulutnya sama sekali membuat Yas benar-benar marah saat ini. Ia tidak suka dengan pria itu yang selalu menggunakannya dengan semaunya sendiri.
"Aku bukan boneka Papa, jadi tolong hapus berita yang gak bener itu!" lanjutnya lagi.
"Itu bener, apa yang salah dengan itu?" ujar Orland, kini pria itu memutar tubuhnya setelah beberapa saat membelakangi putranya. Kali ini ia bia melihat dengan jelaa bagaimana raut wajah kemarahan dari anaknya sendiri. "Kemarin kita baru aja ketemu sama keluarganya, terus gimana bisa kamu bilang kalau berita itu gak bener?"
Tatapan Yas semakin tajam ketika melihat wajah licik dari pria itu, Orland namanya. Ia kemudian menghela nafas, lalu berkata, "Asal Papa tahu, ini alasan Yas gak pernah mau tinggal di Rumah kalian lagi!" ujar laki-laki itu dengan suara beratnya.
Setelah mengatakan itu Yas pergi meninggalkan Orland seorang diri dengan rasa kecewa yang masih membekas di dalam hatinya.
Sementara itu Orland masih berdiam diri menatap kepergian laki-laki itu dengan kedua tangan yang melipat didada. Ia memandangnya dengan satu alis yang terangkat, dirinya berpikir apa yang salah dengan dirinya selama ini.
"I hate you, Dad," gumam Yas yang baru saja keluar dari ruangan dengan kecewanya.