"Fokuslah pergi untuk yang sekarang, okey? Gue benar-benar sedikit marah kemarin. Tapi saat lo kirim pesan ke gue dan menggantinya seperti ini, gue biasa aja," ucap Iqbal memulai pembicaraan mereka berdua bahkan sebelum Iqbal dan Salsha keluar dari rumah Salsha sama sekali.
"Baguslah," lega Salsha tidak memikirkah hal banyak karena Iqbal benar-benar tidak marah padanya. "Jadi, mau dengan jalur yang sebelumnya gue tawarkan kemarin lusa?" tanya Iqbal lagi, dia bertanya karena acara mereka gagal, besoknya adalah weekend yang membuat sibuk tidak bisa keluar rumah sedikitpun.
"Iya, masih sama," jawab Salsha yang berhasil menutup pintunya dan berjalan menuju mobil milik Iqbal. "Lo terlihat dalam mood baik sekarang," ucap Sasha yang menyadari Iqbal banyak tersenyum pada Salsha akhir-akhir ini. "Gue senang lo bukan milik Aldi,"
"Dan selebihnya, gue lebih leluasa untuk mencintai lo secara utuh, bukankah begitu?" Salsha terkekeh mendengarnya, dia menggelengkan kepalanya pelan tidak berpikir serius karena dia pikir Iqbal hanya melemparkan lelucon saja.
"Ayo pergi," ajak Salsha yang membuka pintu mobil Iqbal dan langsung masuk saja membuat Iqbal membasahi bibirnya sedikit gugup. "Ah, apa sekarang waktunya?" tanya Iqbal pada dirinya sendiri yang sedang gugup sekarang. "Jangan," respon Iqbal pelan lagi.
"Gue bisa ada disatu titik dimana gue menjadi brengsek nanti," sadar Iqbal terhadap Aldi yang terus-terusan mengingat dia masih memiliki satu perempuan yang bisa saja berharap banyak, namun dia menolak.
Yang Iqbal takutkan hanya. Bagaimana jika Mereka berdua lolos bersama? Bagaimana jika leluconnya kemarin benar-benar terjadi? "Aish," umpat Iqbal lirih, dia berjalan masuk ke mobilnya karena Sasha menunggu.
"Kenapa? Lo senang lagi?" tanya Salsha yang sadar jika sedak tadi Iqbal hanya berdiri di depan mobilnya sendiri dengan melamun. "Iya,"
"Gue terlalu senang sampai kehilangan akal sehat gue," jawab Iqbal yang berusaha terlihat tidak mencurigakan, baiknya Salsha tidak menganggapnya penting dan memasang sabuk pengaman miliknya dengan santai.
"Gue kira lo marah," ucap Salsha memulai pembicaraan dengan pembahasan yang cukup ringan. "Awalnya iya, tapi gue berusaha percaya kalau lo bisa menyelesaikan masalah lo sendiri. Dan melihat respon lo cepat seperti ini, gue jadi merasa ini bukan masalah besar," jawab Iqbal dengan memposisikan dirinya jika dia baik-baik saja.
Nyata nya sebenarnya bohong. Selesai dia angkat kaki dan pulang ke rumahnya sendiri dan membatalkan janjinya, hatinya dongkol dan marah besar berakhir menghubungi Bastian dan memintanya untuk bertemu dengan cepat.
Selebihnya, Iqbal hanya bisa tersenyum miring mengingatnya.
"Lo sedewasa ini ternyata," ucap Slasha membuat Iqbal terkekeh, dan membuang wajahnya sebentar ke arah yang berlawanan. "Lo berlebihan," jawab Iqbal sedikit.
"Asal lo tahu aja, sebenarnya ini hanya spontalitas gue. Entah kenapa ada saat dimana gue memang butuh menstabilkan emosi gue karena gue bisa aja emosian selama lnya juga," sambung Iqbal menjelaskan dengan rapi, Salsha menganggukan kepalanya pelan.
"Ayo turun," ajak Iqbal yang sudah mengendarai mobilnya sampai di taman kota dalam situasi yang ramai dan menyenangkan. "Syukurlah," ucap Slasha merasa sangat melegakan.
"Kenapa?" tanya Iqbal yang bingung karena respon Salsha baru saja. "Gue pikir Aldi akan ke sini dan merusak segalanya lagi," Iqbal terkekeh mendengarnya. "Apakah masalah kalian udah baik-baik aja?" tanya Iqbal memastikan jika dia dalam keadaan yang baik-baik saja pergi dengan Salsha sahabatnya. "Iya,"
"Apa sekarang juga udah bisa? Apa lo juga udah selesai move on dari Aldi?" tanya nya lagi membuat Salsha terkekeh mendengarnya. "Ya," jawab Salsha dengan jawaban yang sama karena dia berhasil.
"Ayo berpacaran," ajak Iqbal langsung saja bertanya.
°°°
"Jangan memaksa gue menjadi bodoh seperti lo juga!" Belum saja Tania berbicara sebagai kakak untuk Kania justru Kania sudah kelewatan sadar dengan pembahasan yang sedang ingin dia bahas.
"Kenapa? Sadarlah, posisi lo bukan di sini. Ayo, kembalilah. Gue akan meminta Iqbal memesankan tiket pesawat untuk kembali ke Vietnam," Kania memutar bola matanya malas, dia diam dengan kepala yang sudaha banyak berpikir soal sesuatu.
"Kenapa gue harus kembali?" tanya Kania meminta penjelasan pada kakaknya. "Lo yang minta gue untuk datang, dan beri gue alasan kenapa gue harus pualng," sambung Kania mendesak kakaknya untuk memberinya penjelasan.
"Karena gue menyerah soal Aldi," jawab Tania agar adiknya paham jika urusannya sudja selesai, sudah waktunya Kania juga untuk pulang. Kania menggigit bibirnya sedikit gugup, dia berat, dia tidak bisa.
Semuanya belum selesai, hubungannya hancur dan dia pulang dengan tangan kosong? Harga diri Kania akan terinjak di sana. Kania menggelengkan kepalanya sangat kuat dan serius.
"Gue menolak," jawab Kania untuk kakaknya. "Cristan udah lama minta putus, dan hubungan gue hancur juga karena kalian dan gue enggak bisa menjaganya karena jarak, apa kakak bisa bertanggung jawab soal ini?" tanya Kania membuat kakaknya terdiam.
"Jadi, apa rencana lo selanjutnya," tanya Tania yang penasaran dengan keinginan adiknya serta sikap ambisinya terhadap sesuatu.
"Iqbal," jawab Kania dengan hanya satu kata dengan tegas. "Iqbal?" tanya Tania sedikit mengulangnya.
"Jangan bilang kalian--?" Kania terkekeh melihat wajah kakaknya yang terkejut namun masih bisa paham apa maksud dari dirinya. "Iya," jawab Kania cepat.
"Siapa yang memulai? Jangan percaya ke Iqbal, lo tahu jelas dia seberapa tulusnya Iqbal menyukai Salsha, jangan terpedaya sama Iqbal kalau sebenarnya lo udah tahu menyeluruh soal dia," cegah Tania sebagai kakak yang menasihati adiknya agar tidka terluka.
"Sayangnya sudah terjadi," jawab Kania membuat kakaknya benar-benar tidak bisa protes sedikitpun. "Apa isinya?" tanya Tania sangat penasaran.
"Kita balikan," jawab Kania lugas saja. "Jika gue lolos tes nya," Tania terkekeh mendengar ucapan adiknya yang tidak main-main. "Apa lo belajar saat itu?" Kania menggelengkan kepalanya cepat. "Sama sekali enggak, perjanjian ada hanya limabelas menit sebelum tes berlangsung," Tania bisa menghela nafasnya lega mendengarnya.
"Gue sangat yakin lo akan gagal," jawab Tania yang mendukung kegagalan adiknya untuk yang pertama kalinya, Kania menggelengkan kepalanya cepat. "Gue menjawab dengan serius saat itu," jawab Kania memlerjelas dia sangat banyak berusaha.
"Presentasinya adalah empatpuluh sembilan persen, jadi gue masih sedikit cemas," lanjut Kania membuat kakaknya tidak bisa berbicara sedikitpun.
"Apa lo serius mau kembali ke Iqbal? Bukankah hubungan kalain berakhir buruk? Gue yakin Iqbal membenci lo karena lo pergi," sambung Tania yang masih meragukan kepintaran adiknya.
"Entah, dia harus beetanggung jawab," ucap Kania tidak yakin. "Cristan pergi karena lo, tapi yang mengatur kepulangan gue adalah Iqbal. Dia harus bertanggung jawab soal ini," lanjutnya lagi.
Tania menghela nafasnya berat, dia tidak yakin dan sangat menentang hubungan adik kakak tersebut.
"Lo akan membuat Iqbal kembali ke lo sebagai pertanggung jawaban Cristan peegi dari lo?" Kania menganggukan kepalanya menjawab. "Iya,"
"Apapun kosekuensinya, gue benci single," Tania yang mendengar prinsip adiknya hanya bisa terkekeh.
"Beehentilah, gue mundur untuk Aldi, dan saat lo mulai memperjuangkan Iqbal, gue rasa lo juga akan membuang banyak waktu," cegah Tanja ingin mengajak adiknya untuk mundur saja. Namun Kania masih beridir tegak di kakinya dan semangatnya.
"Gue akan terus berusaha keras melakukan apapun," tolak Kania pada kakaknya dengan ambisi yang besar. "Menyerahlah, semua usaha lo akan percuma,"
"Mereka (Salsha dan Iqbal) terlalu kuat untuk dipisahkan,"