20 September, jam 7 malam. Di balai kota...
Setelah mendapat kabar jika para pemberontak berhasil mengambil alih beberapa desa di kota Kretek, Baron kota Kretek memutuskan untuk mengevakuasi para tuan tanah ke balai kota yang di jaga ketat oleh pasukan polisi.
Walaupun sang Baron mengetahui tempat persembunyian dari para pemberontak, namun ia lebih memilih untuk mempertahankan ibukota daripada harus mengirim pasukan untuk membasmi mereka. Ia juga menolak usul dari para kapten tentara kerajaan yang memintanya untuk menyerahkan kasus pemberontakan yang terjadi dengan maksud untuk melindungi rakyatnya.
Di ruangan tengah balai kota. Beberapa orang sedang melakukan musyawarah.
"Sudah 3 hari para pemberontak tidak menunjukkan pergerakan. Apa yang harus kita lakukan?" ucap tuan tanah desa Sumber.
"Kita harus merebut kembali balai desa!!" teriak tuan tanah desa Dawe.
"Tuan-tuan, tenanglah." Seorang polisi mencoba menenangkan mereka.
"Bagaimana kami bisa tenang?! Para berandalan kampung sedang berkeliaran di kediaman kami dan menghabiskan makanan kami!!" sentak tuan tanah desa Salam.
"Kalian polisi yang payah. Lakukanlah sesuatu!!" sahut tuan tanah desa Prambatan.
Saat suasana menjadi ricuh, tiba-tiba datang seseorang yang berjalan memasuki ruangan.
"Diamlah, orang-orang tua payah!! Tuan Baron juga belum menemukan anak semata wayangnya! Lakukan musyawarah dengan tenang!" kata seorang kepala polisi, yang kemudian berjalan memasuki ruangan sebelah.
"Tuan, para kapten tentara kerajaan datang lagi. Apa yang harus saya lakukan?" tanya sang kepala polisi kepada sang Baron yang terlihat sedang duduk menghadap ke jendela. "Apa kita harus menyerahkan masalah pemberontakan ini kepada mereka?" imbuhnya, sedikit ragu.
Sang Baron tidak menjawab pertanyaan sang kepala polisi dan hanya termenung memandangi keluar jendela.
.
.
Sementara itu di suatu jalanan di tengah persawahan, terlihat Shiro, Dara dan Akmal yang sedang berjalan menuju ke kota.
"Dapat dari mana kau senapan itu?" kata Shiro, bertanya kepada Akmal yang sedari tadi sibuk mengotak-atik senapan.
"Halaman belakang rumahmu. Aku menemukannya saat sedang memeriksa keadaan. Kupikir bisa berguna jadi aku mengambilnya." jawab Akmal, masih sibuk mengotak-atik senapan yang ia pegang.
"Lalu... Apa kau tau bagaimana cara menggunakannya?" kata Shiro, agak cuek.
"Tentu saja. Kemarin aku berlatih menembak dengan berburu babi di hutan." jawab Akmal, dengan sigap menodongkan senapannya ke depan.
"Kau memberi makan Dara dengan daging babi hutan??!" sentak Shiro, menoleh ke arah Akmal.
"Tentu saja tidak! Aku hanya berlatih menembak." kata Akmal, dengan tegas.
"Ehm, kalau begitu tidak masalah." Shiro menoleh ke arah Dara dan berkata, "Nah, Dara.. Kenapa kau tidak bersama Cindy?"
"Uhm, saat kekacauan mulai terjadi, Cindy-chan langsung pulang untuk menghubungi ayahnya. Dia memintaku untuk mencari kalian, dan kebetulan aku menemukan kalian di tangga." jawab Dara.
"Kalau begitu baguslah. Dia akan aman di rumahnya." kata Shiro, lega.
"Ehm.. Sebenarnya.. Dia memintaku untuk mencari kalian agar kita bisa segera pergi ke rumahnya." sahut Dara, merasa bersalah karena tidak memberitahu mereka lebih cepat.
"Jadi kemungkinan besar dia kembali ke sekolah untuk mencari kita?!" sahut Shiro, merasa sedikit kesal akan sifat Cindy yang sudah dapat ia tebak.
"Benar." jawab Dara lirih, merasa khawatir dengan keadaan Cindy.
"Tenang saja. Cindy pasti akan baik-baik saja. Kita akan mencarinya." ucap Akmal, menepuk pundak Dara. "Kalau dia memang kembali ke sekolah, maka aku yakin jika saat ini dia pasti masih ada di sana. Karena lingkungan sekolah memiliki bangunan-bangunan terbesar di kota, dan disana juga terdapat banyak fasilitas untuk bertahan." imbuhnya, menjelaskan.
"Kalau begitu kita pergi ke sekolah terlebih dahulu untuk mencari sang putri yang hilang." kata Shiro, memberikan solusi.
"Menurutku, kalian berdua terlihat begitu akrab dengan Cindy-chan." kata Dara, kembali membuka pembicaraan.
"Tentu saja. Kita sudah berteman sejak kecil. Lagipula ayahnya sibuk karena pekerjaan dan membuatnya jarang sekali pulang ke rumah. Jadi dia sering pergi ke rumah Shiro dan menghabiskan waktunya bermain bersama kita." jawab Akmal. "Walau sebenarnya dia datang hanya karena ingin bertemu dengan kakak Shiro." imbuhnya, sedikit tertawa.
"Eeeh... Cindy-chan juga pernah merasakan indahnya jatuh cinta yaa?" kata Dara, sedikit terkagum. "Tapi kalau tidak salah, dia pernah bilang kepadaku jika ayahnya bekerja untuk negara."
"Iya, kau benar. Ayahnya adalah orang yang sangat hebat." jawab Akmal, menunjukkan ekspresi wajah kagum. "Tapi apa kau tau jika Cindy juga pernah hampir jadi adik tiri Shiro loh!" bisik Akmal.
"Heh, benarkah?? Bagaimana bisa?!" tanya Dara, terlihat sangat penasaran.
"Ayah Cindy pernah ingin menikahi bibi, tapi bibi menolaknya karena bibi tidak ingin Cindy menjadi saudara tiri Shiro." jawab Akmal, mencoba untuk menahan tawa.
"Kenapa??" tanya Dara, semakin penasaran dengan cerita Akmal.
"Karena bibi tahu jika Shiro menyukai Cindy!" kata Akmal, tertawa terbahak-bahak.
Shiro yang sedari tadi hanya terdiam dan terus berjalan tiba-tiba menendang bokong Akmal dari belakang dan berkata, "Jangan menceritakan hal-hal bodoh kepadanya!"
"Ehh, jadi itu benar, Shiro-kun?" kata Dara, menoleh kearah Shiro.
"Tentu saja benar. Aku tidak mungkin berbohong! Tapi Cindy lebih menyukai kakaknya dari pada Shiro. Kasihan sekali dia. Hahahaha." seru Akmal, terkekeh keras.
"Eehh.. Triangle love, kah? Indah sekali." kata Dara, memandangi Shiro dengan raut wajah cemburu.
Shiro yang tidak tahu harus berkata apa saat melihat Dara yang sedang cemberut pun berlari mengejar Akmal dan berteriak, "Mata empat, kubunuh kau!!"
"Dara, selamatkan aku!!" teriak Akmal, berlari menjauh dari kejaran Shiro.
.
.
Sementara itu di desa Sumber. Sekelompok misterius yang mengenakan jubah hitam dan topeng iblis terlihat sedang mencari sesuatu.
"Aku tidak dapat menemukan pedang itu." kata Veho, berjalan keluar dari rumah Shiro.
"Tentu saja. Apa kau tidak melihat api ini? Seseorang pasti telah mengambilnya." kata Shimo, duduk santai di tanah.
"Apa sebenarnya yang telah terjadi disini?" kata Veho, mencoba menginjak abu para tentara yang masih terbakar api.
"Ey, jangan sentuh abu yang terbakar itu! Api itu tidak bisa padam dan akan membakarmu hingga mati." seru Marie.
"Tidak. Api ini masih di bawah level api hitam yang sering digunakan oleh Abbas-san dulu. Walau mungkin akan tetap sulit bagi api ini untuk dapat dipadamkan." sahut Shimo
"Jin-san, kita terlambat. Pedang itu pun sudah tidak ada lagi disini. Apa yang harus kita lakukan sekarang?" kata Barg, berjalan menghampiri Jin.
"Persiapkan diri kalian untuk mati. Karena komandan pasti akan membunuh kita." kata Jin, berdiri di hadapan hutan yang habis terbakar, namun kobaran apinya masih terus membara membakar tanah.
.
Beberapa waktu kemudian, Shiro dan yang lainnya sudah sampai di depan gerbang sekolah. Suasana di wilayah sekitar yang sangat gelap dan sunyi membuat mereka penasaran dengan apa yang sebenarnya telah terjadi.
"Sunyi sekali. Aku bahkan bisa mendengar suara tikus yang berdecit di dalam got tepi jalan." kata Akmal.
"Apa-apaan ini? Tidak ada bedanya dengan di desa. Apa pemerintah sudah semiskin Akmal hingga tidak mampu membayar tagihan listrik?" kata Shiro, berdiri di tengah jalan raya dan melihat ke sekitar.
"Apa kau lupa jika kau itu juga miskin?" sahut Akmal, sedikit kesal.
"Lihat itu! Ada cahaya di lantai 2!" seru Dara, menunjuk bangunan yang di maksud.
Akmal melihat bangunan tersebut dan berkata, "Kalau tidak salah, tempat itu adalah...."
"Kantin!!" seru Shiro, kegirangan. "Ayo kita ke sana." kata Shiro, bergegas berlari menuju ke bangunan tersebut.
"Hey, tunggu aku!" teriak Akmal, berlari menyusul Shiro.
Sejenak Dara melihat ke arah barat. Ia termenung dan terlihat cemas. Hingga tidak lama kemudian ia pun mulai berlari menyusul Shiro dan Akmal yang terlihat sudah memasuki gerbang sekolah.