Pukul delapan malam Dylan sudah mendaratkan mobil di rumahnya. Setelah memarkir mobilnya di garasi tepat di samping mobil Leon, suami Diandra ia bergegas turun. Ia tak sabar ingin bermain dengan keponakan kecilnya, anak dari sang adik. Pasalnya, tadi ketika Diandra mengajak keponakannya itu ke kantor ia tidak bisa bermain dengan si kecil itu mengingat banyaknya berkas yang harus ia tinjau ulang sebelum menandatanganinya.
"Davin...Uncle datang....," ujarnya.
"Hiss...masuk rumah itu Assalamu'alaikum...," ujar Sang Mama. Sementara Dylan hanya cengar cengir aja mendengar nasehat sang mama.
"Iya, Assalamu'alaikum mama ku yang cantik...," ujarnya kemudian sembari mengecup kedua pipi sang mama.
"Di, keponakanku mana?" tanya Dylan pada sang adik. Adiknya tengah duduk santai menonton televisi bersama sang suami. Papanya Daniel juga ada di sana sibuk dengan surat kabarnya.
"Sedang di tidurin....," ujar Diandra nyantai.
"Lah, loe-nya aja disini. Trus yang nina boboin si Davin siapa?" tanya Dylan dengan tampang cengo.
"Liat aja sendiri di kamar bang...," ujar Leon kemudian.
"Huft...okelah....," ujar Dylan. Ia kemudian melenggang pergi menuju kamar Diandra. Ia yakin bahwa sang keponakan sedang berada di sana entah dengan siapa karena adiknya memang tidak membawa babby sitter.
Pintu kamar dibukanya. Kemudian ia hendak menghampiri sang keponakan yang sesang tertawa dengan seorang wanita. Ia mendekat dan hendak mengambil sang keponakan dari gendongan sang wanita tapi ia terkejut ketika mendapati siapa sesosok wanita yang tengah menggendong keponakannya itu dengan memberikan asi melalui botol susu kecil.
"Ngapain loe disini...?" tanya Dylan kepada wanita yang dikenalnya itu. Sang wanita tak memberi jawaban pada Dylan. Ia hanya diam saja dan memandang cuek pada lelaki itu.
"Hish....gue tanya ya, ngapain loe di rumah gue?" tanya Dylan lagi.
"Ish... lagi main. Kenapa sih? Lagipula ini rumah Om Daniel ya, bukan rumah Kak Dylan...," ucap wanita itu ketus. Kali ini ia enggan bersikap lembut pada lelaki itu.
Sudah cukup baginya bersikap baik dan lembut kepada lelaki itu karena hal yang dilakukannya itu sama sekali tidak berpengaruh. Dylan tetap saja tidak akan tertarik padanya.
Sudah bertahun-tahun ia memiliki perasaan pada lelaki itu, bahkan entah sudah berapa kali ia menyatakan perasaannya secara terang-terangan pada lelaki itu termasuk kepada kedua orang tuanya, tapi sayang lelaki yang dipujanya itu sama sekali tidak peduli bahkan mengacuhkannya.
Akhirnya ia sadar bahwa selamanya ia hanya akan dianggap sebagai anak kecil oleh lelaki itu mengingat perbedaan usia mereka yang cukup jauh. Karena itulah, ia mengubah cara bersikapnya sekarang. Ia tak akan bersikap lembut lagi pada lelaki itu.
Ia akan berusaha beraikap cuek dam tidak lagi perhatian kepada lelaki itu. Hal ini dilakukannya demi dirinya sendiri. Ia tidak ingin tersakiti lagi oleh lelaki itu. Karenanya, ia harus membuat benteng yang tangguh agar terhindar dari luka, meski nyatanya perasaannya untuk lelaki itu belum benar-benar menghilang.
"Ck...," hanya itu kata yang keluar dari bibir Dylan. Dylan pun berusaha mengambil keponakannya dari gendongan wanita itu tapi belum sampai tangannya menyentuh lengan keponakan gembulnya itu, wanita itu menepis tangannya dengan cukup keras.
"Gue mau gendong dia...," ujar Dylan dengan kesal.
"Kak Dylan baru dari luar, tangannya kotor. Cuci tangan sana dulu baru boleh gendong Davin...," ujar wanita itu.
"Ck...yang ibunya dia siapa sih, kok loe lebih galak dari ibunya....," ujar Dylan. Ia pun kemudian beranjak menuju kamar mandi di dalam kamar itu untuk mencuci tangan seperti titah wanita itu.