"Dylan nggak sengaja bilang sesuatu yang mungkin menyakiti hati Lavina Ma...," aku Dylan kemudian.
Huft..sang mama hanya bisa menghembuskan nafasnya kasar. Melihat kelakuan sang anak.
"Mama nggak pernah ajarin Dylan buat nyakitin perempuan loh bahkan meski hanya lewat kata-kata. Dan Dylan harusnya sadar bahwa ketika Dylan melakukan itu, bisa saja orang lain juga memperlakukan mama dan Diandra dengan cara yang sama. Apa Dylan rela kami diperlakukan seperti itu juga?" tanya sang mama yang dijawab denga gelengan kepala oleh Dylan.
"Karena itu Bang, harusnya abang nggak memperlakukan Lavina seperti itu. Meskipun abang memang benar-benar nggak suka sama dia...," ucap sang Mama. Kali ini Dylan menganggukkan kepalanya.
Sang papa hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan sang anak. Dylan memang putranya yang cukup menurut, ia jarang memarahi anak itu karena ia tahu tanggung jawab anak itu sangat besar untuk keluarga. Terlebih mengurus perusahaan yang hampir saja bangkrut dulu karena ia sakit-sakitan.
Tapi, melihat kelakuan sang anak yang mungkin saja melewati batas makanya ia membiarkan sang istri mengambil alih tugasnya untuk meluruskan kelakuan sang anak agar tidak salah jalan seperti saat ini. Ia mendengarkan sang istri yang tengah memberi nasehat pada putranya.
Sementara itu, setelah sang Mama memberikan ceramah pada abangnya, Diandra meletakkan undangan di atas meja tepat berada diantara kue-kue dan minuman peneman mereka nonton tv. Dylan melihat hal itu pun menjadi bingung, undangan siapa? batinnya. Menyadari arti tatapan penuh tanya kakaknya itu Diandra hanya menanggapi dengan pernyataan singkat.
"Abang baca aja sendiri....," ujar Diandra. Ia kemudian mengambil putranya yang tengah tertidur dari gendongan sang Kakak untuk dipindahkannya ke box bayi di kamarnya yang berada di rumah kedua orang tuanya.
Sementara Leon mendapati sang istri beranjak dari tempat duduk disampingnya pun mengikuti kepergiannya. Hingga tersisalah Mama Diana, Papa Daniel dan Dylan yang berada di ruang keluarga. Dylan pun mengambil undangan di meja itu dan membacanya. Ia terkejut mendapati siapa nama wanita yang dicetak dengan tinta emas di undangan tersebut.
"Lavina akan segera jadi milik orang Bang. Itu undangan pertunangannya, minggu depan acaranya...," ujar sang Mama membuyarkan keterkejutan putranya.
"Dia....," Dylan tak bisa berkata-kata. Baru beberapa menit lalu ia mengejek Lavina tentang siapa gerangan lelaki yang mau dengan dirinya, dan tentu saja hal itu menoreh luka di hati Lavina. Dan kini, ia yang terkejut mendengar berita pertunangan wanita yang diejeknya beberapa menit lalu itu.
"Mungkin Lavina udah capek nungguin abang yang nggak peka-peka. Makanya ia menyetujui permintaan orang tuanya untuk menunangkan ia dengan anak rekan bisnis papanya...," jelas Sang Mama kemudian.
Dylan tak bisa berkata-kata. Ia hanya diam dan kemudian pamit pergi ke kamarnya untuk mandi dan berganti pakaian. Papa dan Mamanya pun mengiyakan. Mereka tahu bahwa mungkin ada sesuatu di hati putranya itu yang selama ini rapat ditutupinya melihat betapa terkejutnya wajah putranya tadi setelah membaca undangan pertungan anak tetanggannya itu.
"Apa Mama keterlaluan ya pa...?" tanya Mama Diana pada suaminya, Daniel selepas kepergian sang putra.
Daniel menggelengkan kepalanya sebagai isyarat jawaban atas pertanyaan sang istri.
"Papa rasa nggak, Dylan memang perlu ditegasi seperti itu Ma. Terima kasih mama mau mengambil alih tugas papa...," ujar Daniel.
"Iya karena mama tahu, papa nggak akan tega kalau mau marahi Dylan...," kekeh Diana. Ia sangat tahu bahwa sang suami sangat menyayangi putranya itu, terlebih ketika putranya menerima tanggung jawab besar yang semula diembannya.