"Buka bajumu, Miss Cardia."
Suara pria itu terdengar tenang, penuh percaya diri dan tanpa keraguan. Dengan mata terbelalak, kutatap bosku—bos baruku—tanpa berkedip. Aku yakin pendengaranku mulai keliru, dan hal itu membuatku melirik ke sisi kanan dan kiriku, memastikan bahwa ada Cardia lain di ruangan ini. Namun sama seperti ketika aku masuk kesini beberapa menit lalu, ruangan ini kosong. Hanya ada kami berdua.
"Maaf?" seruku perlahan, ketika akhirnya berhasil mengangkses kemampuan verbalku.
"Aku bilang, buka bajumu." Ulang pria itu tanpa memindahkan tatapannya dari tumpukan kertas di atas meja. "Atau perlu aku yang melakukannya?" Ujarnya sembari mengangkat kepala, menatap langsung ke dalam manik mataku dengan senyum miring.
Aku masih terus terperangah menatap pria yang seakan tak mengacuhkan ekspresi terkejut di wajahku beberapa menit belakangan. Dan ketika tampaknya sudah terlalu lama keheningan mengisi atmosfir di sekitar kami, pria itu bangkit, berjalan mendekati tubuhku yang mematung di tengah ruangan dan menatapku dengan pandangan yang mampu meluluhkan seluruh wanita normal di dunia.
"Apakah instruksiku kurang jelas, Miss Cardia?" tanya pria itu tanpa berusaha menghilangkan nada geli dalam suaranya. Kini terlihat jelas bahwa dia sebenarnya menikmati wajah terkejutku. "Atau kau lebih suka jika aku yang melucuti pakaianmu?"
Kutatap pria itu lurus-lurus—malah bisa dibilang aku sedang memelototinya—dengan pandangan terluka dan tersinggung. Lebih dari itu, aku merasa sangat terhina. Kuperhatikan wajahnya yang tersenyum santai, mengamati kegarangan di wajahku tanpa sedikitpun merasa bersalah. Aku tidak peduli bahkan jika dia bosku, seandainya dia melecehkanku seperti ini, aku akan tetap melawannya.
"Tidak mau." Jawabku keras. Kukatupkan bibirku hingga membentuk garis tipis.
Mendengar jawaban dan melihat ekspresi dingin yang tercetak jelas pada wajahku, pria itu tiba-tiba saja tertawa—meskipun aku sendiri tidak mengerti apa yang lucu dari jawabanku barusan.
"Kau bahkan tidak bertanya 'mengapa' dan langsung menjawab 'tidak mau'?" tanyanya persis dihadapanku, hingga aku bisa merasakan aroma maskulin pada tubuh bosku itu.
Wajah itu tersenyum janggal, membuatku harus menahan diri untuk tidak menyumpahinya keras-keras seperti yang akan kulakukan jika orang lain yang melecehkanku. Aku berusaha setengah mati memerintahkan otakku untuk berkelakuan sopan di hadapan pria ini—Lee Donghae, pemilik PHOENIX Corporation, perusahaan yang mengurusi bidang ekspor-impor barang, serta beberapa perusahaan ternama seperti OCEANS dan FROZEN yang bergerak dalam bidang konveksi pakaian dan baru saja menandatangani kontrak kerja sama dengan Paul SmithTM yang berharga sebesar lima ratus juta dollar. Pria itu juga memiliki resor hotel terkenal di beberapa pulau di dunia. Singkatnya, dia kaya.
Aku mengerjap bingung dengan pertanyaannya dan tanpa berpikir lagi, aku mengikuti saran Lee Donghae. "Kenapa?" tanyaku berusaha untuk fokus, meskipun hidungku mengernyit—berusaha memblokir oksigen yang telah bercampur dengan aroma parfum pria itu.
Donghae mendengus geli, memutar matanya lambat-lambat dan nyengir padaku. "Secepat itukah kau berubah pikiran? Menarik sekali," komentarnya sarkastis.
Pipiku berubah merah karena malu mendengar ucapannya. Kugigit bibirku dan merutuki otakku yang lambat. Tapi, belum sempat aku menyangkal apapun, Donghae kembali bertanya.
"Ingatkan aku apa jabatanmu disini, Miss Cardia." Ucapnya sambil berjalan menuju mejanya yang hanya berjarak beberapa langkah dariku, dan menyandarkan tubuhnya di tepi meja.
Aku mengernyit cemas. Kali ini kuputar otakku lebih keras sebelum menjawab, berusaha meyakinkan diriku bahwa pertanyaan itu tidak memiliki makna ganda. "Err… sekretaris pribadi anda..?"
Donghae menatapku dengan ekspresi datar, membuat kecemasanku bertambah dua kali lipat. Aku hampir menduga bahwa Donghae akan menurunkan jabatanku atau yang paling parah, mendepakku di hari pertamaku bekerja.
"Benar," jawabnya dengan seulas senyum penuh arti.
"Kau harus tahu mengapa aku telah memecat lima orang sekretarisku dalam enam minggu belakangan, Miss Cardia, sebab aku memiliki beberapa peraturan yang harus kau ikuti." Jelasnya mengesankan.
Tangan Donghae mulai terjulur ke udara, menunjukkan angka pada setiap peraturan yang di diktekannya dengan cepat.
"Pertama, aku tidak suka melihat sekretarisku memakai pakaian yang berada dalam kategori 'tidak menarik'. Aku tidak menginginkan sekretarisku berpenampilan murahan, ber-make up terlalu tebal dan memiliki tingkah laku yang tidak sesuai. Tidak perlu cantik, yang penting menarik. Kedua, aku membayarmu $50000 setiap bulan, maka aku ingin kau mengikuti SELURUH perintahku, kemauanku dan bahkan meskipun itu hal teraneh yang ada di muka bumi. Dan ketiga: aku tidak mentolerir keterlambatan, ketidakdisiplinan dan kesalahan sekecil apapun. Aku ingin semuanya sempurna. Keempat: aku tidak ingin sekretarisku memiliki kekasih atau bahkan telah menikah, karena hal itu akan mengganggu kinerja dan keprofesionalitas-an dirimu. Dan terakhir, ada alasan mengapa aku memecat semua sekretarisku. Mereka memenuhi empat persyaratan diatas, tentu. Tapi mereka tidak bisa bertahan lebih lama pada persyaratan ke lima: aku tidak mau sekretarisku jatuh cinta padaku."
Tanpa sadar, aku menahan napasku ketika mendengar peraturan terakhir. Tentu saja mereka tidak dapat bertahan lama. Karena, mustahil bisa menghindari pesona Lee Donghae dan segala kesempurnaannya. Aku harus mengakui bahwa Donghae tidak hanya rupawan tetapi juga menggairahkan. Seakan feromon pria ini memenuhi udara, memblokir oksigen dan beracun—membunuh setiap wanita dalam radius lima meter.
Kuamati wajah Donghae yang tampan—kedua matanya berwarna cokelat muda. Tatapannya teduh dan menenangkan, tetapi dalam hitungan milidetik, sepasang bola mata itu bisa berubah menjadi keras dan kejam. Dan aku yakin, siapapun tak akan bisa lolos dari manik-manik cokelat yang sempurna miliknya.
Hidung Lee Donghae meruncing ke depan dengan porsi yang pas, membuat wajahnya sedikit tirus dan hidung itu tak disinggahi setitik jerawat pun. Tetapi yang paling menyusahkan adalah bibirnya yang tipis—dengan susah payah aku harus menahan desahanku—membentuk beberapa senyuman dan memamerkan keseksian. Otakku sedikit kehilangan kontrol dan mulai membayangkan bagaimana rasanya bibir Donghae yang begitu memikat.
Dengan gerakan tiba-tiba, Donghae kembali mendekat, berjalan dengan langkah ringan dan aku mengambil kesempatan untuk mengamati tubuh itu.
Atletis. Lee Donghae tidak memiliki kaki panjang layaknya pemain basket, tinggi badannya normal dan tidak mengurangi ketampanannya sama sekali. Aku bahkan bisa mengetahui bahwa pria itu memiliki dada bidang yang seksi, melihat betapa rendahnya leher kaus yang di kenakan Donghae di dalam jas abu-abu muda, menambah kesan sensual yang memikatku lebih kuat.
"Apa kau menerima semua persyaratan itu, Miss Cardia?" tanyanya merdu, seakan menyanyi di telingaku.
Dengan susah payah aku menelan seluruh kegugupanku dan balas memandang Donghae yang tersenyum mengejek. "Aku.. yakin bisa," ujarku sedikit ragu.
Tentu saja Donghae pasti bisa melihat keraguanku, namun ia hanya tersenyum semakin lebar. "Kalau begitu, perintah pertamaku, buka bajumu, Miss Cardia." Katanya cukup keras, kendati wajahnya masih tersenyum.
"Ke—Kenapa?"
Kening Donghae mengernyit. "Aku tidak suka pertanyaan kenapa. Ajukan pertanyaan lain." Perintahnya tegas.
Aku berpikir sebentar dan kembali bertanya, "Untuk apa?"
Senyum Donghae terukir di wajahnya. " Karena tampaknya selera fashion kita tidak cocok, Miss Cardia, jadi aku mau kau segera mengganti pakaianmu."
"Apakah aku harus membukanya di depanmu?" tanyaku gugup.
Kali ini wajah Donghae memiring sedikit. Matanya berbinar terang dan bibirnya melengkung lebar. "Kau ingin membukanya di depanku?" tanyanya geli. Dan ketika melihat mataku kembali melotot garang, Donghae terkekeh kecil. "Tidak. Kau boleh membukanya di kamar mandi. Aku ingin kau mengganti pakaianmu dengan salah satu pakaian di lemari terujung kamar mandiku." Tandasnya pelan lalu berjalan kembali ke balik mejanya dengan tanpa beban.
Buru-buru kulangkahkan kakiku secepat mungkin dan masuk ke dalam kamar mandi mewah yang di lengkapi bathup dan lantai pualam. Rahangku nyaris saja jatuh melihat kemewahan sangat di utamakan di ruangan yang gagal di sebut sebagai kamar mandi ini. Aku berani menjamin ruangan ini lebih luas dari tempat tinggalku—yang hanya terdiri dari satu kamar tidur dan sebuah kamar mandi kecil.
Mataku menjelajahi setiap sudut ruangan dan menemukan lemari yang berisi pakaian-pakaian mahal. Seluruh pakaianku benar-benar sama sekali tak layak di sebut 'pakaian' jika aku membandingkannya dengan deretan koleksi pakaian mewah dan bermerek di lemari ini. Sepertiga dari isi lemari penuh oleh setelan jas dan sepatu-sepatu mengilat, sementara sisanya tergantung berpasang-pasang woman's suit yang didominasi oleh rok dan kemeja yang berdesain menarik. Di bagian atas, ada rak yang terisi berbagai macam sepatu high heels dengan tinggi dan warna beragam.
Setelah melihat-lihat dengan cepat, akhirnya pilihanku jatuh pada sebuah kemeja satin berlengan pendek dengan kerah tinggi yang memiliki renda-renda kecil di bagian dada dan rok selutut berwarna biru cerah. Namun ketika saatnya melepas pakaian tak layakku, aku kembali ragu. Kamar mandi ini sangat luas dan aku merasa tidak nyaman dengan kesunyian yang mencekam. Ada beberapa sekat yang membatasi bathup, westafel dan shower. Namun tetap saja semuanya terbuat dari kaca yang tembus pandang, memungkinkan siapapun—atau apapun—bisa melihat ke ujung ruangan dengan jelas.
Satu hal yang baru kusadari setelah hampir sepuluh menit berada di kamar mandi ini yaitu, begitu banyak kaca yang terpasang pada dinding-dinding ruangan. Mulai dari berbentuk persegi, oval bahkan penuh ukiran bergaya Versailles. Bagian dalam lemari pakaian ini seluruhnya terbuat dari kaca, membuatku bisa melihat jelas pantulan tubuhku yang kelihatan tidak menarik. Dan yah, sebenarnya aku bisa saja berganti pakaian di dalam lemari—mengingat betapa besarnya lemari itu—namun akhirnya aku tetap melepas satu persatu pakaianku dan menggantinya dengan yang baru secepat kilat.
Aku hampir menutup pintu lemari ketika kusadari ada sebuah panel di bagian dalam pintu itu dan membukanya hati-hati. Kemudian sebuah kotak berbentuk persegi panjang muncul perlahan, menampilkan perlengkapan make up dengan berpuluh-puluh gradasi warna yang memukau. Blush on, eye shadow, lipstick, eyeliner dan masih banyak lagi, tersusun rapi dan sempurna. Di atas kotak persegi itu, ada sebuah cermin yang memiliki perbesaran otomatis, sehingga penggunanya bisa merias wajah dengan nyaman tanpa perlu mendekatkan wajah ke cermin.
Kupandangi perlengkapan make up itu dengan terpesona. Rumor yang mengatakan bahwa Lee Donghae memanjakan setiap wanita ternyata benar. Dia bahkan memperhatikan detail seperti ini, membuat wanita bertekuk lutut di hadapannya.
Well, teknisnya aku harus meminta izin untuk menggunakan peralatan make-up ini, namun aku berani bertaruh bahwa Donghae akan menyuruhku balik lagi untuk merias wajah karena aku memang tidak mengenakan apapun selain lipgloss tipis dan eyeliner. Jadi, dalam sepuluh menit berikutnya, aku tenggelam dalam usaha mempercantik diri..