"Lumayan." Komentar Lee Donghae ketika melihatku keluar dari kamar mandinya.
Aku mencelos dalam hati. Seluruh upayaku dalam lima belas menit hanya bernilai 'lumayan'?
"Ngomong-ngomong, aku suka warna eyeshadow mu. Tapi akan lebih menarik jika kau mengambil warna merah muda agar kau menghilangkan kesan monokromatis—biru cerah dari atas hingga bawah."
Donghae benar. Aku tidak sadar bahwa aku telah berpenampilan monokrom dengan memilih semua warna biru yang kusukai. Tapi semuanya sudah terlanjur. Lagipula Donghae juga tidak memintaku untuk menggantinya, bukan?
"Aku sudah membaca resume dirimu, Miss Cardia." Ujar Donghae setelah berdeham satu kali, meminta perhatianku yang berkelana. "Latar belakang pendidikanmu sangat menarik perhatianku. Disini tertulis kau lulusan terbaik Akademi Bahasa dan Sarjana Sastra Jepang, serta memahami bahasa asing lain seperti Korea, Perancis dan Arab. Mendapat sertifikasi Excellent dalam penguasaan bahasa Jerman dan memiliki kualifikasi sebagai penerjemah andal dari Diplomat Amerika. Dalam kolom Interests, kau menulis bahwa kau tertarik dengan dunia sastra, sejarah, jurnalistik dan musik. Harus ku akui, aku sangat terkesan, Miss Cardia."
Penjelasan Donghae yang penuh rasa kagum itu mau tak mau membuat senyumku terukir. Aku tak sanggup membalas tatapannya yang berbinar dan lebih memilih menatap lantai granit yang dingin.
"Tapi.. aku tidak menilai seseorang dari sisi akademisnya saja. Aku tahu bahwa kepintaranmu itu sudah terbukti dengan adanya sertifikat-sertifikat ini. Namun, kita harus menghadapi kenyataan, Miss Cardia. Seberapa pun tingginya pendidikan yang kau raih, tetap saja perananmu dalam dunia nyata lebih penting. Aku penasaran, mengapa dengan semua kemampuan yang kau miliki, kau tidak mengambil pekerjaan seperti penerjemah?"
Kurasakan kedua mata Donghae menghujamku, meminta penjelasan yang memang tidak pernah kutulis dalam CV yang kuberikan. Aku menggigit lidah dan berjuang menampilkan ekspresi datar dan menyembunyikan raut gelisah yang biasanya selalu kupasang beberapa minggu terakhir ini. Pikiranku mengabur jauh menuju laci rumahku yang sudah usang, dipenuhi lubang-lubang kecil hasil gigitan rayap. Laci mengenaskan itu berisi sesuatu yang mengubah hidupku—memaksaku mengambil jalan pintas untuk menjadi seorang sekretaris pribadi Lee Donghae yang kaya raya—yaitu tumpukan surat hutang piutang yang mencapai angka tiga ratus lima puluh juta. Jumlah hutang itu belum termasuk untuk menebus rumah dan aset-aset lain, yang jika di total akan mencapai angka dua miliar. Tapi aku hanya harus membayar hutang tiga ratus lima puluh juta itu, atau keluargaku dalam bahaya.
"Sebenarnya aku juga bekerja sebagai penerjemah lepas—"
"Tapi kau tidak menuliskannya disini." Sela Donghae cepat. Jemarinya yang panjang menunjuk ke arah CV ku.
"Benar," jawabku pelan. "Aku pikir pekerjaan itu tidak begitu menarik untuk ditulis."
"Apa yang kau terjemahkan, Miss Cardia?"
"Err.. banyak. Seperti dokumen, surat-surat dan kadang aku diminta untuk menerjemahkan tamu penting."
Donghae mengangguk sekilas dan langsung bertanya lagi. "Baiklah, kalau begitu kenapa kau tidak mengambil pekerjaan seperti penerjemah di penerbitan? Melihat kau lulusan sastra dan memiliki minat dalam dunia jurnalistik, kau pasti ingin bekerja disitu, bukan? Jangan katakan bahwa kau tidak memiliki kualifikasi, Miss Cardia. Sebab kemampuanmu pasti dicari-cari banyak perusahaan penerbitan."
Perlahan keringat mulai menetes di punggungku. Bagaimana mungkin aku bisa menjawab bahwa gaji seorang penerjemah sangat kecil dibandingkan bekerja di perusahaannya?
"Tadinya aku memang berniat begitu.. tetapi kemudian aku berpikir untuk mencoba pekerjaan lain sebelum menjadi seorang penerjemah tetap. Aku bermaksud melakukan pekerjaan itu ketika usiaku cukup tua untuk berhenti dari segala aktifitas yang menuntut energi dan menikmati pekerjaan itu di masa tuaku."
Kali ini hening cukup lama. Aku memberanikan diri menatap Donghae yang terdiam, sedang melakukan pertimbangan atas kebohongan samarku yang tak terdeteksi barusan. Well, bukan sepenuhnya bohong, karena aku memang berniat melakukan pekerjaan penerjemah buku ketika aku selesai melaksanakan tanggung jawabku untuk membayar semua hutang—dan aku cukup yakin aku baru akan sanggup membayar semuanya ketika umurku memasuki masa tua.
"Kedengarannya cukup logis." Ujar Donghae akhirnya. Diam-diam aku menghela napas lega dan bersyukur ia tidak bertanya apapun lagi.
"Baiklah, Miss Cardia, kita lihat seperti apa kemampuanmu menjadi sekretarisku. Persiapkan dirimu dengan baik sebab kita akan menemui salah seorang klien penting."
Aku mengangguk bersemangat dan berjalan keluar, menuju meja kerja baruku dan mengambil beberapa perlengkapan. Ada tumpukan buku dan sebuah notes kecil yang berisi jadwal Donghae hingga seminggu kedepan—tadinya notes ini milik sekretaris yang terakhir kali dipecat Donghae—dan pukul sepuluh pagi ini, Donghae memiliki sebuah janji dengan Anne J. Loombergh, "wanita Skandinavia yang angkuh". Well, setidaknya itulah yang tertulis di situ.
Kubuka satu persatu lembaran notes itu dan keningku tidak bisa berhenti berkerut. Bukan hanya "Wanita Skandinavia yang angkuh", tetapi juga ada catatan kecil seperti "Alice yang menjijikan" tepat di sebelah nama Alice McReed dan "Si Dada Palsu" persis pada nama Jennifer C. Houston. Julukan yang paling parah adalah milik seorang pria yang bernama Marven Dallagh dengan highlight kuning menyala dan sebuah kalimat tersusun diatas namanya; "Tua Bangka-mesum-cabul-tidak tahu diri".
Bukan Cuma penasaran tentang julukan-julukan itu, aku juga mendapati bahwa lebih dari separuh jadwal temu yang ada didalam notes itu mengacu pada wanita. Marven Dallagh sepertinya yang paling sering muncul diantara pria-pria lain seperti Alex Kennedy dan Kikuchi Takeshi. Namun ketika sedang mengamati rasio perbandingan kemunculan beberapa nama itu, telepon berdering keras. Pasti dari Donghae.
"Siapkan mobil," ujarnya singkat dan tanpa repot-repot menjawab salamku. Dalam hitungan detik, segera kuhubungi nomor supir yang berada di bagian belakang notes dan memintanya untuk bersiap.
"Kau tidak memerlukan tas, Miss Cardia. Cukup bawa notesmu saja." Perintah Donghae ketika keluar dari ruangannya.
Buru-buru kuraih notes dan kuletakkan tasku di dalam laci meja, lalu mengekori Donghae menuju lift. Bosku mengambil posisi di depanku, membuatku terpaksa berdiri di belakangnya dan menyaksikan punggungnya yang kokoh. Baru kusadari bahwa Donghae sudah mengganti jasnya dengan warna cokelat muda. Dan.. parfumnya juga berbeda. Apakah karena ia akan menemui seorang wanita?
Jari-jari Donghae yang panjang menyisir rambutnya yang tertata rapi, membuatnya menjadi sedikit berantakan dengan kesan seksi. Aku hampir saja tak bisa berhenti memandanginya ketika akhirnya kesunyian kami terpecah oleh kalimatnya.
"Kau mungkin belum tahu, Miss Cardia. Tapi Anne adalah salah satu klien penting dan aku tidak ingin kau membuat kekacauan apapun." Tegasnya masih memunggungiku.
Well, apakah dalam pandangannya aku adalah pengacau?
"Dan," sambungnya lagi. "Aku ingin kau memesan sebuah kamar di hotel Imperium Palace setengah jam setelah kita tiba kesana."
Kamar hotel?
"Kenapa?" tanyaku tanpa bisa kucegah.
Aku bisa merasakan nada keras dalam jawaban Donghae. "Sudah kubilang aku tidak suka pertanyaan 'kenapa'!" bentaknya kesal. "Apa kau bermaksud mempertanyakan otoritasku, Miss Cardia?!"
Seketika tubuhku mengerut dan menjawab dengan suara mencicit. "Ti—tidak, Sir. Maafkan saya."
"Aku tidak keberatan kau bertanya, tetapi aku benci jika kau terus menerus bertanya 'kenapa'. Bukan hakmu untuk mempertanyakan apa yang kuperintahkan padamu. Apa kau mengerti?" serunya lagi. Kali ini Donghae mengatakannya persis di hadapanku, menatapku bak seekor serigala yang mengancam domba lemah. Aku tidak heran kalau ternyata ia juga memiliki taring.
"Ya, Sir." Erangku lemah.
Mata Donghae menyipit memandangku, namun setelahnya ia berbalik, berdiri dengan aura kekesalan yang membuatku semakin mengecil di belakangnya. Pelajaran pertama hari ini: Jangan pernah ucapkan kata-kata KENAPA.
Perjalanan menuju Hotel Imperium Palace tidak memakan waktu lama. Hanya butuh lima belas menit karena kemacetan yang biasa terjadi di jam-jam seperti ini. Berulang kali kulirik Donghae dengan perasaan takut. Bahu pria itu masih mengejang kaku dan telinganya merah padam, membuatku semakin gemetaran. Apakah ia masih marah padaku?
"Bacakan jadwalku hari ini," ujar Donghae tiba-tiba, sementara matanya masih menatap jalanan.
"Err… anda punya janji makan siang dengan Mr. Marven Dallagh pada pukul satu, Sir. Lalu pada pukul tiga seperempat, ada sebuah rapat dengan perwakilan Imaginary Corporation yang membahas tentang ekuivalen saham perusahaan." Kubaca catatan yang ditinggalkan sekretaris sebelumnya dengan jelas dan cepat sambil melirik Donghae sesekali. Wajahnya masih saja datar dan dingin. Baru ketika aku selesai berbicara, Donghae berkomentar dengan kedua tangannya pada pelipis.
"Mundurkan pertemuan dengan Marven. Oh, tidak. Dia benci jika harus menungguku. Tapi, aku tidak mungkin bisa selesai pada pukul satu!" gumamnya kesal. Kemudian Donghae melirikku. "Gantikan aku, Miss Cardia. Paling tidak untuk satu jam. Kau cukup menemani Marven makan siang. Dan kalau bisa gerai saja rambutmu."
Aku tahu wajahku berkerut bingung, sebab aku sama sekali tidak mengerti apa yang dibicarakan Donghae.
Ia mendesah satu kali dan berbicara dengan nada panjang. "Aku ada..err..sebuah urusan dengan Anne dan tidak akan bisa tepat waktu untuk menemui Marven. Jadi, aku mau kau menggantikanku untuk menemani pria tua itu makan siang. Katakan padanya aku punya urusan mendadak dan akan terlambat atau dia akan kesal dan mengancam pembatalan kontrak. Kau mengerti?"
"Tapi—" Aku buru-buru menggigit lidahku sebelum kelepasan bertanya 'kenapa aku harus menggerai rambutku?' dan menggantinya dengan, "apakah aku memang harus menggerai rambutku?"
"Benar." Jawab Donghae tegas. Bisa kulihat sudut bibirnya bergetar menahan senyum. Tampaknya ia menyadari pertanyaanku yang sudah kuralat. "Marven, pria itu, meskipun usianya sudah tidak muda lagi, tetapi dia tetap seorang Casanova. Semakin menarik dirimu dihadapannya, semakin mudah baginya untuk melupakan keterlambatanku."
Sial. Ternyata dia memperalatku.
"Ya, Sir." Jawabku enggan, dan Donghae mengangguk puas.