Chereads / Pelangi Kehidupan Mona / Chapter 44 - Hak yang Selalu Dijajah

Chapter 44 - Hak yang Selalu Dijajah

"Paman, sejujurnya, menurutku kamu juga tahu bahwa makanan yang kita makan setiap hari sudah ditakar. Kalau kamu makan, kita harus menahan lapar. Kamu tidak memang peduli apakah kita kelaparan atau tidak. Selain itu, kamu tidak pernah mengetahui kondisiku. Apakah ibu mertua memberi banyak makanan? Agak tidak wajar bagi Anda untuk melakukan ini. Jika ini terus terjadi, reputasimu akan semakin buruk. Jangan menyusahkan semua orang atau kami tidak akan mau membantumu lagi di masa depan.

Rini tak takut kali ini. "Cepat pulanglah, masih ada waktu untuk memasak sendiri. Pulang dan bersih-bersihlah dulu."

Keluarga Paman Beno sangat tersinggung. Tapi, mereka tak bisa berbuat banyak karena mereka masih perlu keluarga di masa depan. Jadi, hubungan harus kekerabatan harus tetap ditarik-ulur. Jadi, keluarga Paman Beno memilih meninggalkan rumah keluarga Broto dengan raut sedih.

Robi benar-benar kesal kali ini, "Ayah, mari kita hidup dengan benar. Saya sudah memberi tahu mandor bahwa kita akan pergi bekerja di pegunungan besok. Bagaimanapun, kita harus menghasilkan uang sendiri. Hari ini tidak ada yang mau memberi kita makan atau minum. Aku tak peduli jika ayah tak peduli lagi dengan reputasi ayah. Tapi, dengan reputasi ayah yang buruk, kami, anak-anak akan sulit jodoh. Siapa yang mau menikahkan anaknya dengan anak dari keluarga kita? Jika ayah masih terus begini, besok ketika kiriman makanan dari kampung datang, kita akan membaginya dan kita bisa hidup sendiri-sendiri."

Robi berkata dengan jelas kali ini. Dia tidak ingin orang meremehkannya. Dia harus memikirkan anak-anak dalam keluarganya. Selain itu, dia belajar dari keluarga Restu. Jika mereka bisa tinggal di gubuk dan bertahan hidup dengan makanan dari gunung, mengapa keluarganya tidak bisa melakukannya.

Sekelompok orang berjalan mundur dengan diam ketika dia mengatakan ini, memikirkan diri mereka sendiri di dalam hati mereka.

Setelah Robi sampai di rumah, ia segera mulai menyalakan api di dalam rumah. Ia berencana untuk memasak sendiri. Istrinya, Linda, setuju dengan pendekatan suaminya. Awalnya, ia dan suaminya menentang ketika semua keluarga harus makan dan minum bersama-sama dari persediaan bahan makanan yang sama. Mereka tahu jika keluarga Beno dari dulu culas. Sekarang, mereka sangat malu. Saat kekurangan mereka tidak punya keberanian meminjam bahan makanan karena Beno sudah terlalu banyak meminjam tepung jagung.

Mereka memikirkan keluarga Restu yang bisa tinggal di gubuk. Mereka juga masih punya pekarangan nenek moyang yang cukup luas. Jika semua anggota keluarga yang sudah berumah tangga berpisah, membangun rumah untuk keluarga kecilnya masing-masing, tanah itu masih cukup dibagi.

Pasangan itu telah mendiskusikannya dan mereka akan pergi bekerja besok. Mereka akan pergi membeli barang-barang untuk membuat gubuk setelah selesai masak.

Restu dan Dewi membawa anak-anak bersembunyi hari ini. Mereka belum pulang hingga larut malam. Eka dan yang lainnya masih membawa ranting serta jerami untuk memasak. Mereka sangat lega karena tidak satu pun keluarga Paman Beno yang menunggu di depan pintu. Malam ini mereka bisa istirahat dengan tenang.

Setelah makan, Dewi sengaja merebus air untuk keluarganya mandi. Satu per satu dari keluarga itu mandi sebelum tidur agar tubuh mereka lebih segar.

Namun, tiba-tiba ada gerimis di tengah malam. Hujan semakin deras dan mereka segera bangun. Mereka mengamankan jerami dan ranting, jika tidak tidak akan yang bisa digunakan untuk memasak besok.

Dewi tidak bisa tertidur lagi. Hujan membuatnya sangat kedinginan dan hampir tidak bisa bernapas. Ia hanya bisa bersandar di atas bantal, posisinya membuat tubuhnya sedikit lebih nyaman.

Restu tahu apa yang dialami istrinya. Dengan cepat ia mengenakan jaket tebal untuknya. "Restu, tidurlah dulu, sekarang sudah larut. Aku masih memikirkan sesuatu dan aku akan baik-baik saja saat pagi nanti."

Restu melingkarkan lengannya di pinggang istrinya, dan perlahan tertidur.

Ketika mereka bangun di pagi hari, anak-anak tahu bahwa kemarin malam telah turun hujan. Tetapi, pagi itu adalah hari yang cerah. Mereka tidak melihat siapa pun yang tidak ingin mereka lihat di pagi hari. Suasana hati keluarga merasa sangat baik pagi ini.

Pagi-pagi sekali, Restu keluar dan berlari di tanah warisan yang akan ia garap. Ia berencana untuk mulai membeli pupuk kandang dan pupuk dasar, semua harus siap dalam dua hari. Paman ketiganya juga ikut mengukur tanah dan kemudian berbicara sebentar dengan Restu.

Kondisi keluarga paman ketiga ini memang lebih baik. Tapi keluarganya tak punya malu. Dia selalu saja berhasil mengelabui nenek kalau perkara harta.

Restu mencoba tetap bersikap baik dengan paman ketiganya ini, meski sebenarnya hatinya tidak.

Dewi sudah selesai memasak. Eka dan Rabo datang untuk memanggil Restu pulang dan mengajaknya makan malam. Melihat ladang mereka siap digarap, anak-anak bersorak riang dan mulai membicarakan apa yang akan mereka tanam.

Mona teringat sesuatu, "Ayah, apakah ada sisa biji bunga matahari yang Anda tanam? Jika masih ada sisa, Ayah bisa membawanya kemari dan menanamnya di pinggir kebun sayur. Jika sudah berbunga, kita bisa menggoreng bijinya."

Permintaan anak tersebut tentunya tidak menjadi masalah bagi Restu. Orang-orang yang pulang ke rumah usai bekerja memang selalu memberikan jajanan kepada anaknya.

"Sayang, tunggulah, Ayah akan membawa pulang beberapa biji matahari hari ini."

Siang hari, Restu membawa segenggam biji bunga matahari. Anak-anak dengan bersemangat mengambil cangkul kecil untuk menggali lubang di dan menanam benih. Mereka juga menanam beberapa di samping gudang kecil, jangan terlalu banyak, takut jadi omongan orang.

Pasangan itu mengambil pupuk kandang dan menyebarkannya di taman. Pasangan ini tak sabar menunggu esok hari untuk membeli benih, menanam sayur di kebun mereka sendiri dan makan sayur segar setiap hari.

Keesokan paginya, ketika pasangan itu mulai menanam sayur-mayur di punggung bukit, mereka menyadari bahwa tanah yang dialokasikan untuk keluarga mereka tampaknya tidak sesuai dengan kesepakatan. Mereka adalah petani yang biasa bekerja di ladang, jadi mereka yakin pasti ada yang salah dengan ukuran ladang.

Dewi sedikit bingung, dan bergumam di mulutnya. Restu juga merasa aneh, "Wi, aku yakin aku tidak salah hitung. Tapi, sepertinya kita kehilangan dua baris tanah. Aku sudah lama bertani, tapi bagaimana mungkin ini terjadi? ."

Rano dan saudara perempuannya melihat kondisi ini, dan mereka benar-benar tidak pernah menduganya. "Ayah, jangan bingung, keluarga pamanlah yang mengurangi bagian kita."

Pasangan itu semakin bingung. "Bagaimana kalian berdua tahu tentang itu?" Dewi merasa pendapat dua anaknya itu tak masuk akal.

Rano menggelengkan kepala kecilnya dengan penuh kemenangan, "Bu, ketika tanah sedang diukur, saya meminta mandor untuk menandai batu di luar dinding, aku takut ada yang tidak beres."

Kata-kata anak itu memberikan pemahaman kepada pasangan itu. Tetapi, bagaimana bisa paman ketiga melakukan hal ini, itu yang membuat pasangan itu tak habis pikir.

Mereka kehilangan dua baris tanah, itu jumlah yang tidak sedikit. Mereka harusnya bisa memanen lusinan kubis dari tanah yang hilang itu. Tapi, pasangan ini malas membuat keributan dengan kerabat.

"Bu, jangan khawatir, aku akan bilang pada mandor. Katakan saja ada yang tak beres dan biarkan dia datang dan melihat." Mengetahui kesulitan orang tuanya, Eka membawa adik laki-lakinya ke rumah Mandor untuk meminta bantuan.

Dewi tampak sedih, "Rstu, menurutmu apa yang harus kita lakukan?" Bagaimanapun, ini adalah paman ketiga dari pihak keluargamu, dan agak tidak enak hati jika kita mempermasalahkan hal ini.