Chereads / Pelangi Kehidupan Mona / Chapter 48 - Tanah Ruang Angkasa

Chapter 48 - Tanah Ruang Angkasa

Keputusan Dewi membuat anak-anak senang, "Oh, ibu, Anda sangat baik, hari ini kami punya daging untuk dimakan" Rano melompat kegirangan.

Rena dan ibunya menyembelih ayam dengan cepat, memasukkan kentang ke dalamnya, dan menghangatkan nasi sisa yang sudah dingin.

Rano berdiri di dekat kompor, mencium aroma yang menggoda dan enggan untuk pergi.

"Anak baik, kamu tidak akan kenyang jika hanya melihat dan mencium aromanya. Pindahkan mejanya dan bersiaplah untuk makan."

Restu membawa putra bungsunya ke ruang utama. Eka sudah menyiapkan meja makan, dan semua anggota keluarga sedang menunggu makan malam.

Kali ini Dewi sengaja tidak mengirimkan makanan ke ibu mertuanya. Ia membiarkan anak-anak makan lebih dahulu.

Eka dan yang lainnya menatap keluar jendela beberapa kali. Takut ada orang datang dan numpang makan dengan menghabiskan menu makanan yang enak kali ini.

Hati Restu sangat sakit. Ia tahu apa yang dikhawatirkan anak-anaknya. "Anak-anak, makanlah perlahan, tidak ada yang akan datang kali ini."

Mendengar apa yang ayah katakan, anak-anak mulai makan daging perlahan-lahan. Mereka sangat menikmati dan makan dengan gigitan-gigitan kecil

"Anak-anak sedang makanlah, masih ada sisa di dalam panci" Dewi menambahkan sepotong ayam untuk anak-anak.

Eka dan Rano memberi pasangan itu potongan ayam terbesar, menghidangkannya di atas piring, "Ayah, Ibu, kalian makan juga, jangan hanya melihatnya".

Rano menggigit ayam itu dan berkata, "Ini sangat harum, jika ibu bisa makan ayam setiap hari, apakah menurutmu kita bisa mati bahagia."

Mona menelan makanan di mulutnya dan menjawab, "Saudaraku, akan ada suatu hari nanti, saat kamu berpikir jika sayuran adalah makanan yang enak karena kita sudah bosan makan ayam."

Malam ini anak- anak sangat bahagia. Mereka jarang sekali makan dengan menu lengkap, yaitu menu dengan daging. Mereka semua makan dengan kenyang dan bisa tidur bahagia kali ini.

Dewi mengeluarkan ayam yang sudah ia siapkan untuk ibu mertuanya. "Ka, kirimkan ayam ini pada nenekmu. Jika mereka bertanya, katakan jika kamu menangkap ayam di gunung", Dewi merasa aneh jika Mona yang menangkap ayam. Jadi, ia meminta Eka mengaku dirinyalah yang menangkap ayam agar keluarga neneknya tak banyak bertanya.

"Yah, aku tahu harus berkata apa" Eka mengangguk dan melangkah menuju rumah neneknya.

Ketika Rena melihat kakak laki-lakinya akan mengantarkan ayam, dia sedikit cemberut karena tidak rela, "Bu, kamu tidak takut jika paman tahu dan meminta jatah sendiri?"

Dewi tersenyum dan berkata kepada anak-anak, "Ibu tidak takut, ayam sudah dimakan, apalagi yang bisa mereka makan? Masih ada tangki air, jika mau mereka bisa meminum air di dalamnya sampai puas."

Mona dan Rano memegangi mulut kecil mereka sambil tertawa kecil. Ibu mereka melawak kali ini. Mereka tak tahu ekspresi seperti apa yang akan mereka tampakkan ketika keluarga pamannya benar-benar datang.

Restu menepuk pantat kecil gadis itu, "Gadis kecil, katakan saja pada pamanmu, ayam di rumah telah habis."

Eka kembali. Tetapi tidak lama setelah Eka kembali,Samsul dan Broto datang dengan membawa sendok.

"Saudara ketiga, ayam yang kalian kirim tidak cukup. Kami masih lapar, bisakah kami memakan beberapa potong lagi?"

Beberapa anak mengejek dan memandang mereka. Tidak lama setelah apa yang baru saja diucapkan, mereka berdua datang untuk melapor minta makan.

Dewi buru-buru berdiri, "Paman, adik ipar, ayamnya tidak banyak, jadi saya biarkan anak-anak memakannya."

Keluarga Restu sangat banyak sehingga ayam itu tak bersisa. Tetapi mereka tak percaya dan masih mencarinya. Mereka tidak menemukan apa pun, lalu pergi dengan marah.

Restu benar-benar marah kali ini. Saudara-saudaranya sangat keterlaluan. Ia sampai tak punya muka di hadapan anak-anaknya.

"Ayah, apakah ayah malu? Tak apa, kami sudah paham sifat mereka. Tapi ayah tetap harus punya pendirian, jangan seperti mereka."

Eka membebaskan beban pikiran ayahnya pada saat yang tepat, "Ya, ayah harus melupakan kejadian ini. Lebih baik kita membersihkan diri, lalu tidur."

Setiap orang di keluarga Reatu mandi air panas di malam hari. Mona yang sudah berlarian sepanjang sore merasa ia harus mandi. Dewi menggosok tubuh Mona, bahkan membersihkan dan memijat lembut kaki Mona. Kaki kecil itu harus digunakan berjalan jauh kembali esok hari.

Mona melihat semua orang sedang tidur. Ia juga sudah membawa tanah dari gunung dan meletakkannya di tanah misterius yang disebutnya sebagai tanah luar angkasa. Tapi, Mona tak punya benih. Ia juga tak tahu bagaimana cara memulai bercocok tanam. Ia merasa bingung. Hanya ada tepung dan beras dan tak mungkin bisa ditanam.

Mona melihat kelinci dan ayam hutan berkeliaran di tanah itu. Untungnya, Mona belum menceritakannya kepada siapapun.

Tanah subur yang dikumpulkan dari gunung sudah memenuhi tanah ruang angkasa. Dia memperkirakan tanah itu sudah cukup untuk bercocok tanam, tapi tanah itu belum diratakan. Dia menghela nafas dan berbaring di bawah selimut lagi.

Keesokan paginya, dia bangun pagi karena ia memiliki rencana. Mona adalah orang kedua di keluarga Restu yang bangun pagi itu. Dewi mengira MOna akan ke kamar mandi. Tapi, Mona justru menyeretnya.

Apa yang terjadi selanjutnya membuat Dewi terkejut. Mona pertama-tama mengeluarkan sekantong beras dan sekantong tepung putih yang didapatkan dari ruang angkasa. Dewi heran kenapa putrinya bisa melakukan banyak hal. Mulai ada rasa takut di hatinya.

"Bu, jangan takut, ini seperti ini." Dia berbicara tentang bagaimana ia disambar petir dan bagaimana ia menemukan tanah ruang angkasanya. Bahkan, Mona menceritakan jika ia bisa mengumpulkan tanah dari gunung dengan mudah kemarin.

Dewi benar-benar tercengang kali ini. Dia belum pernah mendengar hal seperti itu sejak kecil hingga dewasa. Dewi mencoba memegang cincin yang dimaksud Mona. Ia tak tahu apakah ia akan terus memegangnya ataukah harus segera meletakkannya.

Melihat ekspresi lamban ibunya, Mona tahu bahwa Dewi benar-benar ketakutan kali ini, "Bu, percayalah. Apa yang aku katakan itu benar. Aku akan membawamu kesana dan lihatlah sendiri."

Mona menggandeng tangannya dan memasuki ruang angkasa. Dewi terkejut dengan apa yang baru saja dikatakan anak itu. Kali ini dia melihat ruang yang berbeda dari dunia tempatnya tinggal. Dia sedikit bingung, "Nak, bukankah kita sedang bermimpi? , Ini adalah ruang yang kau bicarakan? "

Beberapa tidak Dewi menguap matanya, mencubit dirinya sendiri dengan sangat keras hingga membuatnya kesakitan. Kali ini dia benar-benar percaya bahwa anak itu mengatakan yang sebenarnya.

Ada begitu banyak hal luar biasa di dunia yang sudah ditemukan anaknya ini, "Mona, biarkan aku melihat apa yang salah denganmu akibat disambar petir?".

Dewi dengan hati-hati menyentuhnya seluruh tubuh Mona. Tapi, ia tidak menemukan ada yang salah.

"Bu, aku hanya merasakan sakit dan ketakutan saat itu terjadi. Aku tidak merasakan apa-apa lagi sekarang, bukankah menurutmu seperti hidup lagi setelah mati?".

Meskipun Dewi ingin tahu lebih banyak, perasaannya masih kalut dengan kondisi Mona setelah disambar petir. Baginya, melihat anak-anak dalam kondisi baik itu sudah lebih dari cukup dibandingkan apapun.

Melihat tanah baru di angkasa, Dewi hanya bisa menggelengkan kepalanya, mengagumi sekaligus masih belum bisa mempercayainya. Ia makin sadar jika Mona sangat cerdas. Ia bisa memiliki pemikiran mengumpulkan tanah dari gunung. Apalagi tanah yang dikumpulkan Mona adalah tanah yang subur.

"Mona, apakah kamu berpikir bahwa tanaman bisa tumbuh di sini?", Dewi tak mempercayainya. Tapi tak bisa dipungkiri jika tempat itu memiliki banyak tepung, beras, dan juga hewan-hewan liar.