"Sama-sama Lea. Memangnya lo sesuka itu ya sama Saturnus?" tanya Antariksa penuh harap.
"Iya Antariksa. Lea suka banget sama Saturnus. Suka banget. Rasa suka Lea ke Saturnus melebihi rasa suka Lea pada siapapun, termasuk ke diri Lea sendiri." sahut Lea tersenyum manis dari arah belakang Antariksa. Kenapa? Tak ada salahnya kan ia bicara begitu? Toh kata Antariksa, Antariksa hanya menyayanginya sebagai sahabat saja kan? Tidak yang lain, tidak lebih. Jadi... Menurutnya tak masalah.
"Sayang banget berarti?" tanya Antariksa lagi masih sedikit berharap. Kalisaja, Lea masih bisa di ajak bernegosiasi sedikit. Apakah Lea tak sadar jika dirinya berbohong? Apakah Lea pikir, dirinya ini tidak sakit hati? Apakah Lea tak menyadari bahwa dirinya sangat menyayangi dan mencintai Lea? Apakah Lea tak dapat merasakan bahwa dirinya ini berharap lebih pada Lea? Apakah Lea sebuta itu pada Saturnus hingga sama sekali tak ada ruang untuk Antariksa ikut masuk ke dalam hati Lea?
Lea mengangguk tegas dari belakang, yang Antariksa dapat lihat dari kaca spionnya. "Tentu saja Antariksa. Tentu saja Lea sangat sayang pada Saturnus. Sangat! Antariksa tahu kan? Kalau Lea gak bisa hidup tanpa kehadiran Saturnus? Walaupun Lea sendiri tahu, kalau Saturnus sama sekali gak pernah anggap Lea ada di hidupnya. Tapi Lea gak akan nyerah, Lea akan tetap berjuang untuk luluhin hatinya Saturnus. Sampai kapan pun itu, Antariksa. Lea akan tetap tegar dan terima kenyataan bahwa Lea... Lea belum dicintai oleh Saturnus." sahut Lea dengan jujur. Lea sama sekali tak malu mengatakannya pada Antariksa. Ia tahu Antariksa pasti selalu berpikir bahwa dirinya tak punya harga diri, tapi tak apa. Memang seperti itu kenyataannya kan? Nyatanya Lea memang kehilangan harga diri karena terlalu mengejar laki-laki dingin seperti Saturnus kan?
"Secinta itu lo sama Saturnus? Heran gue! Apa sih bagusnya Saturnus di mata lo? Gantengan juga gue..." sahut Antariksa sedikit sewot. Ia mendadak kesal. Ia tak sadar jika ia terbawa suasana. Lea terlalu mengagung-agungkan Saturnus di depannya. Kesal dan marah rasanya. Ingin sekali ia meluapkan itu semua dan mengatakan terus terang pada Lea, namun nyatanya lidahnya kelu. Antariksa hanya bisa diam. Menyedihkan sekali bukan?
"Iya Antariksa... Menurut Lea, Antariksa memang lebih tampan kok dari Saturnus." ucap Lea mengakui kebenaran nyata yang jelas-jelas semua orang tahu itu. Lea tidak mengelak akan hal itu. Nyatanya Antariksa memang lebih tampan dari Saturnus. Siapapun yang ditanya pasti akan menjawab dengan jawaban yang sama seperti apa yang dikatakannya. Jadi untuk apa Lea tidak mengakuinya? Lea tahu jawabannya. Lea tahu jika Antariksa memang laki-laki tertampan yang nyata ia lihat.
"Terus? Kenapa lo sukanya sama Saturnus? Kenapa lo gak suka sama gue aja?" tanya Antariksa to the point. Ia kesal dengan kebodohannya sendiri. Kenapa ia bisa sebodoh ini bertanya hal konyol yang tentu saja akan membuat hubungannya dengan Lea menjadi renggang. Bisa saja setelah ini... Lea akan menjauhinya kan? Tak ada yang tahu... Tak ada yang tahu, apa yang ada di pikiran Lea sekarang. Tentu saja Lea terkejut dengan pertanyaannya. Tapi ia bisa apa? Perkataan yang sudah terlontar tak bisa ia tarik kembali, sama seperti waktu yang sudah terlewati tak akan bisa terulang kembali.
"Hah?" tanya Lea setengah tak percaya. Ia merasa seperti ini adalah mimpi. Apakah benar yang ia dengar dari telinganya ini kenyataan? Antariksa barusan bilang apa? Apakah Lea sudah kehilangan pendengarannya? Tidak. Tidak mungkin. Ia yakin ia tak salah dengar. Tapi kenapa ia merasa bahwa Antariksa sedikit memaksa agar dirinya menyukai Antariksa? Bukankah Antariksa tadi mengatakan hanya sayang sebagai sahabat padanya?
"Lupakan saja Lea. Anggap aja gue lagi ngelantur tadi. Gue minta maaf udah bicara seperti itu Lea... Lo jangan jauhi gue ya? Gue gak bisa kalau lo jauhin. Gue... Gak biasa gak ada lo. Lo tahu itu kan?" ucap Antariksa sedikit gugup. Ia tak ingin kehilangan Lea. Ia tahu jika ia sudah kehilangan Lea sebagai cintanya, setidaknya ia ingin mempertahankan Lea sebagai sahabatnya. Tak salah bukan?
"Loh? Lea gak ada kok niat mau jauhi Antariksa. Antariksa kan sahabat Lea. Antariksa bebas mau bicara apa saja sama Lea, Lea terima banget kok. Lea selalu terbuka untuk Antariksa. Antariksa gak perlu khawatir gitu ya..." ucap Lea menenangkan Antariksa yang ia tahu sedikit berbeda. Apakah Antariksa setakut itu jika ia menjauhinya? Padahal Lea tak ada punya niat seperti itu, darimana datangnya pikiran Antariksa itu?
"Iya Lea. Makasih udah maafin gue. Gue... Gue hanya... Sudah lah lupakan." sahut Antariksa tak melanjutkan perkataannya. Ia pikir lebih baik ia diam, agar tidak banyak salah bicara. Antariksa merasa bahwa dirinya sudah mulai gila, gila karena tidak bisa menerima ini semua. Ia hanya ingin Lea mencintainya balik, sudah lama ia menunggu dan memendam perasaan ini, namun Lea sama sekali tak pernah melihatnya. Apakah jalan cintanya akan tetap berakhir seperti ini? Mencintai sendirian? Bertepuk sebelah tangan? Mungkin saja iya...
"Antariksa... Antariksa dengerin Lea mau?" tanya Lea mendekat dan mencondongkan tubuhnya ke depan mendekati Antariksa yang sibuk mengendarai motornya.
"Mau... Apa Lea? Jangan buat gue penasaran Lea." sahut Antariksa menoleh sekilas kesamping. Rasanya begitu gugup ketika Lea mendekatkan tubuhnya semakin dekat. Padahal ini hanya Lea. Bukankah Lea dan dirinya sudah terlalu lama mengenal? Harusnya rasa gugup itu tak ada, namun kenapa masih ada? Apakah ini ada kaitannya karena ia menyukai dan menyayangi Lea? Hingga membuatnya selalu merasa jantungan jika dirinya dan Lea berada di jarak yang begitu dekat.
"Antariksa gak ada salah. Antariksa gak perlu minta maaf sama Lea, gak ada yang perlu dimaafkan Antariksa. Memangnya apa salah Antariksa? Coba sebutkan sekarang! Gak ada kan? Antariksa gak bisa jawab kan?" ucap Lea menggelengkan kepalanya pelan. Ia tak tahu, di bagian mananya Antariksa salah? Kenapa Antariksa merasa begitu bersalah? Apakah Antariksa diam-diam menyukainya? Tidak. Tidak mungkin. Mana mungkin laki-laki sesempurna Antariksa menyukainya? Tapi bagaimana jika Antariksa memang menyukainya? Lalu jika itu benar-benar terjadi, apa yang harus ia lakukan? Masa ia tega menolak Antariksa? Tapi ia juga tak bisa menerima Antariksa kan? Kan yang ada di hatinya hanya nama Saturnus saja.
Saturnus Alexius Gyama. Laki-laki yang mengajarkannya banyak hal tentang perjuangan. Perjuangan mengejar cinta dari seseorang yang kita cintai. Walaupun tak pernah berbalas. Seperti hujan yang ikhlas jatuh ke bumi. Seperti hujan yang ikhlas dijatuhkan berkali-kali, dan ikhlas ditarik lagi ke awan lalu dijatuhkan kembali. Seperti itulah Lea mencintai Saturnus. Seperti itulah cara Lea memperlakukan Saturnus dengan sangat istimewa. Lea... Lea begitu menyayangi Saturnus, Lea menyayangi Saturnus, Lea menyukai Saturnus, Lea mencintai Saturnus lebih dari apapun juga di dunia ini. Lea tak pernah merasakan ini sebelumnya, hanya Saturnus yang bisa membuatnya segila ini.
Lea tak kekurangan apapun. Banyak laki-laki yang memujanya, mencarinya, mengejarnya, namun nyatanya semua tak terlihat olehnya, hanya Saturnus yang Lea mau. Hanya respon Saturnus yang ia tunggu, bukan yang lain. Ia tak butuh semuanya, ia sudah berusaha menjadi perempuan yang biasa saja, agar tidak terlalu terlihat multi talenta, namun tidak bisa. Lea terlalu aktif. Lea terlalu bersemangat. Bersemangat dalam hal apapun, termasuk mengejar Saturnus. Sampai kapan ini semua akan berakhir? Sampai kapan kepalanya hanya dipenuhi oleh senyum kaku yang selalu Saturnus tunjukkan padanya?