"Lea?" panggil Antariksa dengan suara sedikit kencang agar Lea dapat mendengarnya.
"Ya? Kenapa Antariksa?" tanya Lea mendekatkan wajahnya ke depan, mensejajarkan se-pundak Antariksa, hendak mendengarkan apa yang Antariksa ingin katakan.
"Gimana perjuangan lo hari ini?" tanya Antariksa menyindir Lea. Siapa lagi yang ia tanyakan jika bukan tentang Saturnus, laki-laki yang sangat Lea suka dari awal MOS SMA. Sebenarnya ada sedikit perasaan menyesal di hatinya, karena tidak mencari sekolah yang sama dengan Lea. Karena ia berbeda sekolah dengan Lea, maka dari itu Lea sampai menyukai laki-laki yang bernama Saturnus itu. Kenapa harus Saturnus yang Lea suka? Kenapa tidak dirinya?
"Perjuangan apa Antariksa?" tanya Lea tidak paham apa maksud pertanyaan Antariksa. Perjuangan? Perjuangan apa sih? Antariksa selalu saja bicara setengah-setengah, membuatnya sudah bingung menjadi bertambah bingung lagi.
"Loh? Lo sudah berhenti berjuang ya?" tanya Antariksa balik. Jujur saja, jika Lea memang sudah berhenti berjuang ia sangat senang sekali, setidaknya ada kesempatan untuknya untuk mengejar Lea lagi. Ia suka Lea dari sejak masih di bangku SD. Ia sengaja memisahkan diri dari Lea, dengan mencari sekolah yang berbeda dari sekolah yang Lea pilih, karena ingin melupakan rasa cintanya terhadap Lea. Karena ia sadar jika Lea hanya menganggapnya sekedar sahabat saja. Tapi itu tak berhasil, walaupun beda sekolah, tetap saja Antariksa tak bisa melupakan rasa cintanya terhadap Lea, hingga saat ini. Untung saja Lea tak mengetahui tentang perasaannya ini. Jika Lea tahu, mungkin persahabatannya akan hancur begitu saja.
"Heh! Berjuang apaan sih maksudnya? Kalau ngomong itu yang jelas Antariksa! Lea gak paham tahu..." ucap Lea memajukan bibirnya kedepan karena kesal. Tak habis pikir dengan Antariksa, bisa-bisanya Antariksa tak memberikannya kesempatan untuk berbicara... Lagian Antariksa sangat suka menebak-nebak sendiri. Padahal kan Lea tak paham, apa maksud Antariksa itu. Berjuang apa? Apanya yang diperjuangkan? Dasar Antariksa menyebalkan!
"Itu berjuang ngejar si siapa itu yang lo suka itu? Siapa sih namanya? Namanya mirip banget sama gue... Ah kesal gue!" sahut Antariksa tak mau menyebut nama Saturnus. Entah kenapa ia kesal jika mengingat tentang Saturnus. Karena adanya Saturnus sudah membuat rasa sayang Lea padanya setengahnya berkurang. Dari SD sampai tamat SMP, sayang Lea hanya untuknya. Namun semenjak adanya Saturnus, sayang Lea terbagi dua, bahkan si Saturnus itu yang mendapatkan rasa cinta yang Lea punya dan setengah rasa sayang Lea. Menyebalkan bukan? Antariksa bahkan dikalahkan hanya dengan seorang Saturnus saja.
"Yeee!!! Mana Lea tahu... Salah siapa buat nama bisa mirip-mirip? Kan soal nama kalian yang mirip itu bukan urusan Lea." ucap Lea menjulurkan lidahnya kedepan dan menoleh kearah Antariksa sekilas. Tidak ada yang berunah kok. Antariksa tidak sedang kesal sepertinya. Lea melihatnya raut wajah Antariksa biasa saja.
"Hm... Iya... Mungkin udah takdir, nama gue harus mirip sama orang yang sangat lo suka itu. Tapi gue kesal aja. Nama gue kan langka, tapi kok disamain juga ya? Heran gue!" sahut Antariksa masih mendumel tak jelas. Nyatanya memang begitu adanya, ia memang sangat kesal karena namanya harus semirip itu dengan Saturnus, laki-laki yang La suka. Lagian kenapa harus Saturnus yang Lea suka? Kan yang selalu ada untuk Lea adalah dirinya. Bukankah mengejar itu tidak enak?
"Gak boleh kesal-kesal Antariksa, terima aja... Mungkin memang takdirnya nama Antariksa harus semirip itu sama Saturnus. Kalau ada yang samain itu artinya gak langka Antariksa... Please deh Antariksa..." sahut Lea masih berusaha sabar menanggapinya. Ternyata Antariksa jika sudah begini sangatlah rewel, seperti anak kecil. Namun bagaimanapun juga Lea tetap sangat sayang pada Antariksa, karena Antariksa selalu ada untuknya. Antariksa selalu mementingkan dirinya, Antariksa selalu menomorsatukan dirinya.
"Gak mau tahu Lea! Pokoknya nama gue langka! Titik." sahut Antariksa keukeuh. Ia selalu membanggakan namanya sendiri karena hampir tak ada yang memiliki nama begitu di sekolahnya. Namun Saturnus memiliki nama yang sangat mirip dengannya, itu sangat membuatnya kesal. Entah kenapa tingkat kelangkaan nama Antariksa jadi berkurang.
"Iya iya Antariksa. Nama Antariksa langka deh, langka banget. Udah ah! Lagian ngapain sih bahas-bahas nama segala? Juga mau bagaimanapun Antariksa kesalnya, salah satu nama dari kalian tetap tidak bisa diubah kan?" tanya Lea telak. Benar begitu kenyataannya kan? Untuk apa memperdebatkan sebuah nama? Juga namanya tidak sama kok. Hanya mirip saja.
"Iya sih Lea, benar juga apa kata lo. Gak guna juga kalau gue bahas-bahas nama melulu, juga semuanya gak bisa diubah juga." sahut Antariksa membenarkan ucapan Lea itu. Kenapa pikirannya tak sampai kesana? Memang susah jika berbicara dengan anak yang memiliki otak secerdas Lea. Hingga selalu menempati peringkat umum di sekolahnya. Jangan dibayangkan lagi seberapa pintarnya Lea. Lea sangat jenius, menurutnya. Atau dirinya saja yang terlalu bodoh?
"Nah itu, benarkan?" tanya Lea tersenyum kecil dari balik kaca helmnya. Akhirnya ia berhasil menghasut Antariksa agar tak membahas nama lagi. Akhirnya Antariksa mau diam. Itulah yang terpenting dulu.
"Hmm... Iya Lea, makasih ya! Lo memang sahabat gue yang paling pintar!" sahut Antariksa tersenyum kecil di balik kaca helmnya. Entah kenapa rasanya sangat tenang ketika Lea mencoba menenangkannya. Ia merasa di perhatikan oleh Lea, tanpa diminta. Ia ingin Lea terus seperti itu padanya. Tapi apakah bisa? Rasanya tidak. Perhatian Lea padanya semakin hari semakin mengikis saja rasanya. Atau hanya perasaannya saja?
"Iya Antariksa sama-sama. Ya tentu saja! Lea kan memang pintar! Hehehehehehe" ucap Lea dengan sangat percaya diri dan diakhiri dengan kekehan kecil di akhir kalimatnya. Lea sangat senang jika Antariksa memujinya, memujinya dalam hal apapun. Rasanya ia memiliki perasaan bangga tersendiri ketika Antariksa memujinya.
"Iya Lea, gue memang beruntung punya sahabat sepintar lo! Setidaknya lo bisa gue manfaatin disaat gue gak bisa kerjain tugas gue... hahahaha..." ucap Antariksa dengan polosnya tanpa merasa berdosa sama sekali pada Lea.
"Iya Antariksa, buat Antariksa apa sih yang enggak? Apapun akan Lea lakukan jika Lea bisa lakukan. Lea senang kalau Lea bisa bantu Antariksa. Setidaknya Lea bisa jadi sahabat yang berguna untuk Antariksa, bukan hanya bisanya nyusahin Antariksa aja. Maaf ya Antariksa, kalau selama ini Lea hanya bisanya cuma nyusahin Antariksa saja." ucap Lea dengan suara yang pelan dan nada sedihnya. Ia merasa selalu membuat Antariksa kesusahan karenanya. Tapi Antariksa tak pernah mengeluh dan mengatakan yang sebenarnya. Antariksa selalu bilang jika dirinya baik-baik saja dan tidak apa-apa, tidka merasa di repotkan sama sekali.
"Loh kok bilangnya gitu sih Lea? Lo itu sama sekali gak pernah nyusahin gue, gue sama sekali gak pernah ngerasa di repotin sama lo kok. Gue selalu senang karena gue bisa selalu ada untuk Lo. Lo jangan sedih gitu dong ngomongnya, gue gak bisa lihat lo sedih Lea. Kalau lo sedih, gue ngerasa gagal Lea..." ucap Antariksa kebingungan. Ia tak tahu jika akan berujung seperti ini. Antariksa sangat tak bisa melihat Lea sesedih itu. Mendadak hatinya terasa hancur ketika melihat Lea bersedih, apalagi karena perkataannya.
"Gagal kenapa Antariksa?" tanya Lea berusaha tersenyum lagi, ia tak mau membuat Antariksa merasa gagal. Walaupun ia tak tahu gagal dalam hal apa yang Antariksa maksud itu.
"Gue ngerasa gagal jagain lo Lea. Kalau lo sedih, gue ngerasa bersalah, gue ngerasa gagal jagain senyum di wajah lo. Gue gak mau ngerasa gagal Lea. Please jangan buat gue ngerasa gagal Lea." ucap Antariksa dengan nada memohon. Ia hanya ingin mendengar Lea seceria tadi. Tak apa jika cerianya Lea adalah menceritakan tentang Saturnus sekalipun. Walaupun dirinya terluka mendengarnya, asalkan Lea selalu merasa bahagia. Bagi Antariksa itu sangatlah cukup.