"Lo suka gue, kan?"
Pertanyaan itu sederhana, tapi aku benar-benar tidak pernah membayangkan jika mulut merah mudanya yang menggoda akan mengeluarkan itu, menyakiti perasaanku. Rasanya seperti disengat ribuan voltase listrik tepat ke dada.
Gigiku menggemertak keras. Jika saja ada cermin, aku bisa lihat urat di leherku mengeras.
"Jawab, San!"
Tangan kekar berotot yang selalu kudambakan membelai rambutku kini malah digunakan untuk mengguncang tubuhku yang kaku, tak sanggup menjawab pertanyaanya.
Aku harus jawab apa?
"San ... Eka Satria Nasution! Jawab gue. Lo suka sama gue, kan?"
Ada dua rasa sakit yang terus berdenyut di tubuhku, satu terasa menusuk di dua sisi, bahu kanan dan kiriku, satunya lagi tepat teriris di dada sebelah kanan, menyayat hati.
"Ya!" Respons yang aku berikan di luar kendali, tidak baik sama sekali. Aku bahkan nyaris berteriak memaki diri sendiri ketika melihat Sandi terjerembab ke belakang karena kudorong sangat kencang saking emosinya. "Puas? Ya, gue suka sama lo. Puas lo? Sekarang mau apa? Hah?"
Jika saja di antara kami ada orang lain yang menyaksikan, aku sudah pasti malu sampai mati karena mengakuinya terang-terangan, sekaligus menangis. Sesak.
Angin pantai malam hari berembus kencang, menerpa pipiku. Seolah mengirisnya perlahan, menyisakan rasa perih yang terus menjalar sampai ke dada. Ternyata, rasa sakit itu bukan hanya karena aku mengakui diriku menyukainya di depan orang yang paling aku dambakan, tapi juga karena melihatnya harus bersusah payah bangkit setelah kudorong kencang saking marahnya.
"Ya, gue tahu," katanya setelah bersusah payah untuk bangkit dari jatuh.
"Terus ... terus ...." Suaraku bergetar. Entah karena rembulan di ujung lautan mulai turun atau karena memang cahaya malam ini hilang, aku melihat Sandi berdiri samar-samar setelah membersihkan pantatnya dari pasir putih yang menempel di celananya.
Panas dingin. Aku tak pernah belajar mengendalikan emosiku ketika marah. Rasanya seolah-olah akal sehat dan kendali atas tubuhku memudar seutuhnya. Ingin mengutarakan apa yang kurasakan padanya saja seperti berat dan sulit.
"Ya, gue tahu---"
Dalam hitungan detik kemarahanku, jarak Sandi dengan diriku sudah tak jauh lagi, menyisakan beberapa sentimeter saja, mempermudahku melayangkan tamparan keras di pipi kirinya. Bunyi benturan kulitku dengan kulitnya bergema bagai debur ombak yang terus mengikis bibir pantai.
Hening.
Sandi membulatkan matanya, sama terkejutnya denganku yang tanpa sadar melakukan itu semua. Rahangnya yang tegas semakin terlihat kuat mengeras, dan dalam hitungan entah ke berapa, tangan itu mendorongku kencang. Memaksaku mundur.
"Eksan!" bentaknya. Aku meringis saat dadaku didorong kuat, dan ketika dia memelesat ke arahku, yang aku asumsikan akan membalas menghajarku, kedua mataku terpejam rapat-rapat.
Menunggu beberapa detik sampai setidaknya salah satu pipiku terasa kebas oleh tinjunya. Namun sampai berselang beberapa menit, rasa sakit itu tak kunjung datang.
Aku masih terpejam, menunggu.
Entah mengapa, di saat-saat seperti ini aku malah memikirkan masa lalu. Dadaku terasa sesak dibuatnya. Memikirkan saat di mana pertama kali bertemu dengannya. Pertama kali mendambanya.
"Kamu harus rajin, biar penghasilannya banyak dan tabunganmu cepet terkumpul."
"Iya, Kak." Aku mengangguk sambil menyusun ulang tembikar dari tanah liat di atas meja kayu dekat pintu masuk. Bunga berbagai warna tumbuh di atasnya.
"Gimana les kamu, lancar?" tanyanya lagi, masih menabur benih di atas tanah yang sudah penuh oleh bubuk gergaji. Wanita itu sangat teliti saat bekerja, nyaris tak menjatuhkan satu butir pun bubuk selain di atas tembikar di hadapannya.
Tanganku berhenti bergerak. Menoleh.
Aroma bunga dan pengharum ruangan rasa lemon beradu, berlomba menggelitik penciumanku.
"Ehm ... lumayan. Dua minggu lagi ada anniversary dan akan ada dua orang yang dipilih jadi perwakilan. Tampil," jawabku, menaruh tembikar terakhir yang sempat terhenti di udara karena pertanyaanya menghentikanku.
"Kamu kepilih gak?"
Aku mendelik, melihat punggungnya yang terlihat rapuh, bisa terluka kapan saja jika seseorang menyakitinya walau hanya dengan sebuah tembikar tua. Tali apron cokelatnya melilit tengkuknya yang indah, bertautan dengan anak rambut pirangnya yang berserakan.
"Gak."
"Ah, payah."
Percakapan ini sedikit membuatku sesak. Aku sebisa mungkin tetap melayaninya karena dia atasanku, bersopan santun, dan karena dia orang yang sudah berbaik hati mau menerima anak di bawah umur dua puluh tahun bekerja di toko bunganya.
Namun saat akan menjawab, lonceng di atas pintu masuk berdenting, menyuguhkan sosok pemuda kurus jangkung, dan tampan. Kami menoleh bersamaan ke asal suara.
"Selamat datang di Layla's Florist. Ada yang bisa kami bantu?" tanyaku sembari berjalan ke arah meja kasir, menepuki tangan kotor bekas benih, dan bertingkah sebagai customer service.
Layla tersenyum melihat ketangkasanku.
"Aku cari bunga, Dek." Dia berkata, berdiri di balik meja kasir. Mungkin dia mengira jika aku anak Layla dan sekonyong-konyong memanggilku dengan sebutan adek.
"Mari lewat sini," ajakku, menuntunnya ke belakang toko, pada sebuah lahan beratap baja ringan yang penuh dengan bunga. Di tengahnya terdapat bangunan berupa joglo dihiasi bunga rambat warna-warni.
Dia tampak mengikuti dengan langkah pelan. Barangkali menilik keadaan ruangan toko yang sejuk penuh tanaman.
"Aku cari sweet pea. Gak banyak, dua sampai tiga buket cukup."
"Berkabung?" tanyaku penuh selidik, tidak sopan dan tak tahu diri.
"Ehm ... untuk sahabat."
Aku mengangguk, berpura-pura mengerti sambil membulatkan mulut, yang pada kenyataanya dia sama sekali tidak akan peduli dengan itu.
"Kalau gitu, sebelah sini," jawabku, melangkah mendahuluinya ke arah ruangan di samping lahan beratap baja ringan, pada lemari hitam di ujung ruangan.
Lelaki itu sejenak berdiri di depan lemari rangka sambil menatapi satu per satu bunga, bukan pada sweet pea yang jadi incarannya. Beberapa jenak hening, menyisakan embus napas kasar dari hidungnya yang mancung.
"Itu, tolong dua buket," tunjuknya. Lelaki itu membetulkan posisi rambut belah duanya dengan tangan kiri.
"Baik." Aku membawakannya bunga sweet pea.
Setelah memberi apa yang diinginkannya, kami kembali ke meja kasir untuk mengurus pembayaran. Saat dia merogoh dompet, aku diam menunggu sambil membetulkan posisi bunga-bunga dalam tembikar. Sesaat kemudian dia menyerahkan sejumlah uang.
"Terima kasih."
"Terima kasih. Semoga datang kembali."
Kepergiannya menyisakan keheningan saat lonceng di atas pintu perlahan berhenti berdenting. Layla mengomel lagi soal bunga-bunga yang tak disusun rapi di rak belakang karena nyaris tak terlihat, dan setelahnya aku kembali pada rutinitasku selama di toko bunga.
Oh, ya, sedikit tentangku ....
Aku bekerja sampingan di tempat Layla sepulang sekolah sebagai seorang kasir sekaligus penebar benih. Membantunya merawat toko sebisaku. Ibuku, jelas marah ketika tahu anaknya bekerja keras dan bukannya belajar. Namun semua itu tak membuatku berhenti.
Aku melakukannya untuk satu hal yang selama ini kuperjuangkan. Sesuatu yang ingin kubanggakan karena aku meraihnya dengan keringatku sendiri.
Awalnya wanita berambut pirang yang selalu dicepol itu tak mau menerimaku sebagai karyawannya, tapi lama kelamaan hatinya terbuka dan mau menerimaku, sampai repot-repot membuatkanku apron bertuliskan Eksan.
"Aku pulang duluan, Kak. Bentar lagi Raisa jemput aku," ucapku setelah membersihkan semua sisa pekerjaan dan merapikan barang-barangku. Layla hanya berdeham pelan dan memberiku uang saku untuk ongkos, katanya.
Dan ketika aku akan melewati pintu, tatapanku tertuju pada sebuah pick berwarna hitam yang tergeletak di bawah meja kasir. Benda itu berpindah tangan secepat aku melihatnya. Sambil berjongkok, menjepit benda itu dengan jempol dan telunjuk, aku memikirkan siapa pemiliknya.
Siapa orang terakhir yang datang ke toko ini? Siapa yang menjatuhkannya? Siapa pemiliknya? Sebuah pick, itu artinya dia ....
Merasa tak punya banyak waktu untuk memikirkannya, aku menaruh benda itu di saku dan pergi meninggalkan toko, karena Raisa sudah menungguku di halte.
To be continue
Jangan lupa baca naskahku yang "The Blue" ya? Ada di wattpad, komplet.
Dan jangan lupa baca naskahku yang "Catch Me If You Can" ya? Kalian bisa baca lanjutannya di aplikasi Dreame.
Terima kasih.