Dalam ketidakrelaan aku mengantarnya menuju liang lahat. Nyaris selama proses pemakaman, aku melamun, seperti jiwaku terbawa oleh ibu yang pergi ke surga. Aku diam menatap tanah dalam kekosongan.
Rasanya menyakitkan.
Sehari beikutnya, aku mendapat kabar soal ibu yang terjatuh di jalan saat mengantarkan pakaian pelanggan. Dokter yang menanganinya berkata kalau ibu sedang sakit dan terlalu lelah setelah bekerja keras.
Ibu pergi ke rumah bu Rahmah untuk mengantarkan hasil kerjanya sendirian. Sakit. Lelah.
Ada rasa sesal di dalam diri yang menyembul ke permukaan. Aku menggigit bibir bawah keras-keras, nyaris tak peduli ketika rasa asin mulai kurasakan di ujung lidah. Luka di bibirku tak sebanding dengan rasa sakit dan penyesalanku sekarang.
Aku benar-benar menyesal karena mengabaikan permintaanya yang terakhir. Jika saja waktu itu aku menurutinya dan mengirim baju-baju itu pada pelanggan, mungkin ibu tidak akan pergi. Jika saja ....
Sesak.
Rasanya air mataku sudah habis. Tak mampu lagi menangis.
Betapa bodohnya aku ketika lebih memilih membeli gitar dan mengabaikan apa yang ibu perintahkan.
Jari-jari mengepal erat, memaksa buku-buku kukuku memutih dan telapak tanganku terasa sakit karena terlalu kuat mencengkram kekosongan. Aku tak peduli.
Sehari sebelum acara anniversary Jennie dan teman lesku datang ke rumah untuk mengucapkan belasungkawa. Aku nyaris tak peduli dan mungkin sama sekali tidak peduli dengan kehadiran mereka.
Aku lebih banyak diam dan mengabaikan.
Jennie menyuruh yang lain pulang dan dia sedikit menenangkanku. Itu tak berhasil. Aku tetap diam. Sandi juga datang, dia meminta maaf karena merasa bersalah setelah mengajakku membeli gitar hari itu.
Namun aku segera mengoreksi kalau ini bukan salahnya.
Aku izin tidak ikut acara. Sekarang aku merasa muak dan benci ketika melihat gitar atau hal-hal berbau gitar. Benda itu kusingkirkan dari kamar, dan Sandi bilang akan menyimpannya untuk beberapa waktu ketika melihatku berniat menghancurkannya.
Aku mengurung diri. Sandi tetap menghubungiku, meski tak pernah sekali pun aku membalasnya. Telepon darinya sudah masuk ratusan kali, dan aku tak ada niat untuk mengangkatnya.
Layla juga datang ke rumah dan mengajakku untuk tinggal bersamanya jika ingin. Dia memberiku beberapa baju dan makanan. Merasa berterimakasih, aku hanya mengangguk dan menyuruhnya pergi jika sudah selesai. Aku hanya ingin sendirian.
Sehari setelah acara, Sandi datang ke rumahku. Dia memaksaku keluar dari kamar.
Awalnya aku tidak peduli, tapi ketika aku duduk di balik pintu dan dia duduk si sisi lainnya sambil bercerita betapa dia kehilangan sahabatnya itu, akhirnya aku mau membuka pintu dan membiarkannya masuk.
Sandi bilang dia paham rasa sakit yang kurasakan. Mengerti bagaimana rasanya kehilangan sosok yang berharga untuknya.
"Gue tahu," katanya setelah panjang lebar bercerita. "Selalu ada dua sisi kehidupan, San. Gue percaya hal itu." Sandi duduk di kursi kayu dekat meja belajar, sementara aku duduk di lantai, di pojok ruangan.
"Ya," jawabku singkat, menunduk, membenamkan wajah dalam dua lutut.
"Ketika gue kehilangan dia, Tuhan kirimkan elo buat bantu gue jadi lebih baik. Dengan adanya lo, gue bisa lebih baik, bisa main gitar, dan gue jadi tetep bisa mengenang sahabat gue lewat gitar yang lo ajarkan. Itu semua karena lo. Tuhan gak siapin masalah tanpa hikmah, San." Sandi berkata lagi.
"Tapi gue? Apa yang gue dapat, San selain rasa sakit dan lubang di hati?" Aku mendongak. Aku sama sekali tidak peduli jika mataku sudah basah, dan wajahku hancur disapu air mata.
"Lo punya gue. Lo punya Layla. Lo masih punya orang-orang yang sayang sama lo. Percayalah, selalu ada hikmah di balik masalah."
"Ke sini," katanya. Kedua tangannya terbuka, terarah padaku. Aku menggeleng, masih menangis di tempat sambil terus menatapnya heran. Sedih juga.
Sandi membiarkanku menangis. Dia diam di sana, sampai aku benar-benar berhenti dan tak ingin lagi mengeluarkan air mata. Rasa lemas dan lelah menyergapku dari berbagai arah. Kehabisan air mata sama beratnya dengan kehabisan tenaga.
Aku tidak yakin apa yang sedang Sandi kerjakan sampai kedua mataku benar-benar tertutup dan terlelap.
Saat aku bangun, Sandi sudah tidak ada di kamarku, meninggalkanku yang sedang terbaring di ranjang berbalut selimut. Kepalaku sakit, benar-benar sakit. Haus menggerogoti tenggorokanku. Dengan tertatih-tatih aku ke dapur mencari minum.
Keesokan harinya Sandi menghubungiku dan bilang kalau tutor Jennie mengajak semua anak didiknya ke pantai. Aku sempat menolak, tapi dia bilang tak baik berlama-lama dalam kesedihan dan terus mengurung diri sendirian.
Sandi mengirimiku sebuah video durasi pendek, sekitar dua menit lebih. Dengan enggan aku membukanya. Sampai beberapa detik melihatnya, aku dibuat bingung sendiri harus sedih atau bahagia dengan isi videonya.
Dia juga mengembalikan gitarku dan menyemangatiku lagi untuk kembali memainkannya. Sandi bilang, gitar dipilih dengan hati, dimainkan dengan perasaaan. Aku tidak boleh menyia-nyiakan apa yang sudah aku perjuangkan selama ini.
Mengensampingkan semua hal yang sudah terjadi, aku mulai menerimanya kembali.
"Nah gitu, semangat lagi. Karena dengan gitar, kehidupan lo kembali ceria," kata Sandi.
"Thanks, San. Karenamu aku menemukan lagi melodiku. Terima kasih." Aku menepuk pundaknya pelan.
Sandi sempat memprotesku karena aku menggunakan 'aku-kamu' lagi dengannya, tapi kemudian mengangguk, menyuruhku masuk ke bus lebih dulu dan cari tempat paling enak untuk menikmati pemandangan selama perjalanan.
Sebuah pulau di sisi terluar Jakarta menjadi pilihan kami. Perjalanan menggunakan bus berhenti sampai pantai, dan semua orang disuruh pindah ke kapal untuk menyeberang laut agar bisa sampai di pulau.
Sebelas anak didik Jennie dalam satu kapal.
Setelah kepergian ibu, aku mulai membiasakan diri menganggap Layla orangtuaku sendiri. Bahkan sebelum pergi ke pulau, aku pamit kepadanya.
Guncangan air laut membuatku mabuk. Beberapa kali muntah dan membuat diriku seperti orang lemah di depan semua orang. Bahkan Raisa yang seorang perempuan baik-baik saja selama perjalanan.
Kami sampai sore harinya. Semua sibuk mencari penginapan. Satu rumah diisi oleh empat orang. Aku sekamar dengan Sandi.
Acara dilanjut dengan kumpulan untuk menjelaskan apa saja yang akan dilakukan selama dua hari dua malam di sini. Sambil makan jagung bakar, kami semua mendengarkan penjelasan pemilik les musik di depan kami.
Setelah itu, semua tertidur. Aku terlelap dan bangun keesokan harinya saat matahari sudah benar-benar terang saking lelahnya perjalanan menuju pulau.
Semua orang sudah bersiap di pantai pulau untuk sarapan. Aku menyusul setelah mandi. Akan ada permainan setelah zuhur dan kami harus memenangkan permainan itu melawan kelas les musik lainnya.
Saat istirahat, aku melihat Sandi sedang bermain gitar di pantai sebelah kiri, di bawah pohon ketapang, di atas batang pohon yang terkulai lemas di pasir. Aku sekonyong-konyong menghampirinya. Dia sedikit terkejut dengan kedatanganku.
"Gak makan siang?" tanyaku.
"Belum. Gue lagi coba panggil dia ke sini," katanya, menatap ujung lautan di depan pandangan kami. Angin pantai bertiup lembut, membawa aroma garam dan amis karang kekeringan.
"Dia?"
"Ya. Gue pernah bilang, dengan main gitar, gue berusaha mengingatnya kalau dia selalu di sini, dekat gue." Sandi menunjuk dadanya dengan tangan kiri. Tersenyum ke arahku dengan wajah damai dan santai. Selembut embus angin.
"Oh ...." Aku mengangguk, kemudian membuang muka pada pantulan cahaya di air.
Aku terlalu bodoh untuk berpikir kalau diriku satu-satunya orang yang Sandi perhatikan, dan sekonyong-konyong menganggap diriku sendiri penting di matanya. Aku pikir, dengan rasa hampa atas ketiadaan itu, aku bisa mengisinya.
Nyatanya, Sandi tetaplah Sandi. Sosok yang sangat mencintai sahabatnya, dan aku bodoh, tidak sopan, tak tahu diri telah merasa diriku penting untuknya.
Dia mulai memetik senarnya. Melodi yang keluar dari gitar itu seperti benang halus yang terbang di tengah embus angin pantai. Menggelitik telinga, lembut. Menenangkan. Ada cinta dan ketulusan yang dia sampaikan di setiap melodinya.
Sandi benar-benar tulus memainkannya.
"Lo makan dulu. Bentar lagi acara dimulai," kataku, beranjak dan pergi meninggalkannya.
To be continue
Jangan lupa baca naskahku yang "The Blue" ya? Ada di wattpad, komplet.
Dan jangan lupa baca naskahku yang "Catch Me If You Can" ya? Kalian bisa baca lanjutannya di aplikasi Dreame.
Terima kasih.