Chapter 5 - Lima

Acara siang tadi menyenangkan. Kami berlomba melawan kelas les lainnya. Tim gitar selalu unggul karena lebih banyak laki-laki dibandingkan kelas les lain. Sampai-sampai di tengah dominasi laki-laki, Raisa dianggap ratu dan dipuja habis-habisan oleh kami. Semua gadis di kelas lain iri.

Makan malam dilakukan di pantai lagi. Aku mendapat dua jatah, yang satunya untuk Sandi, dan aku yang membawakannya. Dia sedang duduk di tempat yang sama sambil bemain gitar. Aku kembali menghampirinya.

"Nih makan dulu. Lo bisa masuk angin," kataku.

"Makasih. Lo baik banget." Sandi tersenyum, menaruh gitarnya di dekat batang pohon. Kami berdiri di pasir putih lembut, memenuhi mata kaki.

Kami memutuskan untuk menyantap makanan di sana, duduk di pasir berdua sambil menatap pantulan rembulan di air. Langit berawan dan sesekali menutupi cahaya rembulan yang terasa indah malam ini.

"Sandi," kataku.

"Ya?"

"Lo ... punya pacar?" tanyaku.

"Gak."

"Lo ada orang yang disuka?" tanyaku lagi.

"Gak. Enggak ada. Buat saat ini."

Sedikit terkejut mendengarnya. Aku berusaha tenang, diam dan terus melanjutkan makanku. Sandi masih anteng dengan nasi kotak dan ayam panggangnya.

"Jadi ... 'dia' itu siapa? Maksud gue ... siapa?"

Sandi sedikit mengerutkan keningnya seperti ada lipatan anak tangga di sana. Aku menelan ludah pelan. Bersusah payah memasukkan nasi ke kerongkongan.

"Sahabat. Lo udah tahu itu."

"Terus gue, apa gue juga sahabat lo?"

Sandi menoleh. "Ngomong apa, sih lo? Jelas lo sahabat gue. Lo orang paling berharga buat gue sekarang, San." Sandi menaruh kotak nasinya di pasir, merangkulku, sambil menggosok kepalaku seolah-olah aku adalah anak kecil.

Hatiku terasa berdegub kencang karena ini. Ada aura panas di sekelilingku karena baru sadar kalau Sandi sangat-sangat tampan. Jarak wajah kami hanya beberapa sentimeter saja, dan dia masih tetap mengelus kepalaku.

"O-o ... ouh ... oke. Thanks."

Beberapa jenak kami diam, saling memandang. Debur ombak di bibir pantai mengisi kepalaku, memaksaku untuk terus berfokus pada satu titik yang sedang aku perhatikan. Darah mengalir kenang dan panas. Air liurku meluncur begitu saja ketika kedua mataku menatap jakun di lehernya bergerak.

Dan dalam pengaruh hipnotis cahaya rambulan yang remang-remang, aku memberanikan diri memangkas jarak antara wajahku dengan wajahnya. Sandi masih diam sampai aku benar-benar mendaratkan ciuman di bibirnya.

Lembut. Namun sedetik kemudian terasa kasar ketika Sandi mendorongku kencang. Aku terjerembab ke belakang. Sandi berdiri, melotot dan sedikit mundur dariku.

Kedua matanya melotot. Bersamaan dengan itu, rembulan hilang ditelan awan. Menyisakan kegelapan yang mencekam menusuk dada.

Bodoh.

Apa yang sudah kulakukan?

"San ... Eksan ...." Sandi memegangi bibirnya dengan wajah terkejut.

"Sori," ucapku.

"Lo gay?"

Aku diam. Sandi makin melotot, menggeleng.

"Lo gay, kan?"

Gigiku menggemertak keras. Jika saja ada cermin, aku bisa lihat urat di leherku mengeras. Aku berdiri, tak jauh darinya dengan kedua tangan mengepal erat. Merasa menyesal dan merutuki kebodohanku telah bersikap sembrono.

"Jawab, San!" bentaknya, menghampiriku.

Tangan kekar berotot yang selalu kudambakan membelai rambutku kini malah digunakan untuk mengguncang tubuhku yang kaku, tak sanggup menjawab pertanyaanya.

Aku harus jawab apa?

"San ... Eka Satria Nasution! Jawab gue. Lo gay, kan?"

Ada dua rasa sakit yang terus berdenyut di tubuhku, satu terasa menusuk di dua sisi, bahu kanan dan kiriku, satunya lagi tepat teriris di dada sebelah kanan, menyayat hati.

"Ya! Puas? Ya, gue gay. Puas lo? Sekarang mau apa? Hah?"

"Ya, gue tahu." Dia berdiri setelah kudorong dan jatuh.

"Terus ... terus ...."

"Ya gue tahu---"

Aku menamparnya dan dia meneriakiku. Secepat rasa nyeri di hati setelah menamparnya muncul, secepat itu pula Sandi memelesat ke arahku. Aku terpejam. Sejenak kupikir dia akan menghantamku.

Namun ... dia malah memelukku.

"Sori. Gue udah tahu sejak lama. Sori gue selama ini diam dan berpura-pura gak tahu." Dia masih memelukku, mengabaikan rasa sakit dan tangis sesenggukan yang keluar dari mulutku yang basah.

Dadaku naik-turun, terasa sesak sekaligus sakit. Perih.

"Terus ... terus ... kenapa ...." Aku menengadah ke angkasa, menatap rembulan yang semakin hilang. Menggigit bibir bawah supaya air mataku tetap diam di kelopak mata. Tak ingin menangis. Sandi diam, memelukku.

"Terus lo diam aja setelah gue tahu gay? Lo diam aja, hah? Sejak kapan, San? Sejak kapan lo tahu?" Aku menangis, mengguncang pundaknya kencang.

Dia diam saja sambil masih menatapku.

"Lama," jawabnya.

"Setelah lo tahu gue gay, dan lo masih bersikap kayak gitu? Manis di depan gue?"

"Lo sahabat gue. Gue bersikap sewajarnya. Lo orang berharga buat gue. Tapi bukan orang yang bisa membuat gue jatuh cinta, San. Maaf, gue normal. Gue bukan gay." Sandi melepas pelukannya, mencengkram bahuku kuat-kuat, menatapku lekat.

Aku menggeleng kencang.

Pikiranku berputar pada semua hal manis yang pernah dia lakukan untukku. Termasuk tentang video waktu itu.

"San, lo sahabat gue. Penting buat gue. Tapi hati gue bukan buat lo. Elsa lebih dulu dan akan selalu jadi pemilik hati gue. Dia sosok yang bisa buat gue jatuh cinta, San. Karenanya gue rela menyukai gitar, hal yang gue benci karena telah merenggut nyawa Elsa."

Sandi menunduk.

"Gue paham apa yang lo rasakan setelah kehilangan ibu lo. Gue tahu." Sandi melepas pegangannya dari bahuku.

Tentang video itu, berputar di ingatan.

Sehari setelah acara anniversary, Sandi mengirimiku video dirinya bernyanyi di panggung sendirian, tanpa penonton. Dia menaruh ponselnya di meja dan dia bernyanyi untukku.

Menyemangatiku.

Rasanya dada semakin sesak mengingatnya.

"Tapi gue bener-bener minta maaf karena cinta gue bukan untuk lo. Hati gak bisa dibagi dua, San ... gak." Sandi menunduk makin dalam, dan aku sesenggukan di bawah rembulan.

Ya, benar. Sandi sepenuhnya benar. Hati itu seperti pick gitar. Ada hanya untuk satu orang. Ketika kau membaginya untuk yang lain, melodi yang dihasilkan takkan harmonis. Semua akan terasa hambar dan sumbang.

Begitu juga hati ....

Ya. Sandi takkan bisa membagi hatinya untukku. Takkan. Tidak akan pernah. Karena hatinya ada, hanya untuknya. Untuk Elsa. Bukan yang lain.

Tamat.

MAAF GAJELAS. HWHWHW.

INI NASKAH REQUEST DARI SANDI. MOHON MAAF GAJEE.

Jangan lupa baca naskahku yang "The Blue" ya? Ada di wattpad, komplet.

Dan jangan lupa baca naskahku yang "Catch Me If You Can" ya? Kalian bisa baca lanjutannya di aplikasi Dreame.

Terima kasih.