Reynaldi mengabaikannya. Segera memanggil taksi, memakai jaketnya sendiri dan mengeluarkan dompetnya.
Tubuh Alana lemas dan gemetar. "Aku merasa pusing ... Aku tidak bisa bergerak ... sungguh ..."
Dia bersungguh-sungguh saat mengatakannya. Semangatnya tadi kini sepenuhnya hilang.
Reynaldi menyentuh dahi gadis itu dan merasa bahwa Alana masih panas dan berkeringat dingin.
"Aku benar-benar tidak ingin pergi ke rumah sakit ..." ucapnya lemah.
Reynaldi menghela nafas, berjongkok di depannya, mengulurkan tangan dan memeluknya. Dia mengelus-ngelus punggung Alana dengan lembut untuk memenangkannya. "Aku akan menemanimu pergi ke rumah sakit untuk diperiksa, itu akan membuatku lega, oke? Bukan permintaan yang besar, bukan? Aku akan selalu berada di sisimu. Kita akan segera pulang setelahnya. "
"..." Alana menekan kepalanya ke dadanya. Dirinya dapat mendengarkan bunyi detak jantung pria itu.
Melihat bahwa Alana sudah tenang, Reynaldi memintanya untuk naik ke punggungnya. Alana dengan lemah segera naik ke punggungnya.
Setelah meninggalkan ruangan, Alana segera meletakkan seluruh wajahnya di punggung Reynaldi, menyembunyikan wajahnya.
Reynaldi memasukkan kedua tangan Alana ke balik jaketnya untuk membuatnya tetap hangat.
Dia tidak memakai pakaian setebal Alana, dan dia juga tidak memakai topi. Ketika mereka sudah sampai di luar kampus, hawa dingin menusuk kulitnya.
Alana sesekali menggigil kedinginan, namun masih tetap sadar ...
"Apakah kau kedinginan, Alana?" tanya Reynaldi.
Dia mengeratkan pelukannya dan bergumam, "Jangan bicara padaku, ini sangat dingin."
Alana menggigit bibirnya erat-erat, semakin mengencangkan tangannya dan melihat hujan yang turun ...
Air hujan membasahi seluruh gedung dan jalanan di depan.
Reynaldi bergegas berjalan.
"Reynaldi, jika kau punya pacar di masa depan ... Apakah kau akan tetap baik padaku?" tanya Alana tiba-tiba dan kembali bergumam.
Reynaldi tidak menanggapi pertanyaan itu untuk waktu yang lama. Hanya terdengar bunyi deras hujan. Alana berpikir kalau pria itu tidak mendengarnya. Tiba-tiba sebuah suara memecahkan keheningan di antara mereka.
"Jika kau adalah pacarku, kau tidak perlu mengkhawatirkan masalah itu."
"…. Apa katamu?" tanya Alana.
"Bukan apa-apa! Diamlah!" tampiknya.
Alana ... benar-benar mendengarnya, dan dia mendengarnya dengan sangat jelas. Kata-kata itu begitu jelas keluar dari mulut Reynaldi. Jantungnya berdetak dengan sangat keras karenanya.
Dia merasa sangat konyol saat ini. Bibirnya dia gigit dan kemudian menyeringai geli. Takut ketahuan Reynaldi dan dia akan ditertawai.
Betapa memalukannya ini … Tanpa sadar saking gugupnya, tubuhnya bergerak dengan tidak nyaman dalam gendongan Reynaldi.
"Jangan banyak bergerak, Alana!" ucap Reynaldi karena merasakan Alana yang sedari tadi bergerak-gerak. Jalannya licin karena hujan, dia tidak ingin membuat keduanya jatuh.
Gerakan itu berhenti.
"... Oh." Alana dengan patuh berhenti bergerak. Alana hanya takut suara detak jantungnya yang berpacu dengan cepat dapat didengar oleh pria itu … Dia tidak boleh tahu kalau saat ini Alana begitu gugup.
Reynaldi menarik napas dalam-dalam, udara yang masuk ke paru-parunya sangat dingin. Bibirnya membentuk sebuah senyuman kecil.
Dia ingin menunggu lebih lama karena masih banyak waktu baginya, namun perasaan yang dirasakan ini tidak bisa Reynaldi hindarkan. Perasaan aneh yang dia rasakan untuk Alana.
______
Rumah sakit pada malam hari lebih sepi dari biasanya dan suasananya terasa lebih dingin bila dibandingkan dengan siang hari.
Sesampainya mereka di ruang gawat darurat, Alana sangat menurut. Dirinya patuh saat dokter mengukur suhu tubuh, tekanan darah, mengambil darah dan sebagainya ... Wajahnya masih memerah.
Reynaldi mengusap pelan rambutnya. "Bodoh!"
"..."
Pria itu mengatainya bodoh, namun Alana tidak menampiknya.
Setelah beberapa saat, ponselnya berdering. Dia menatap Reynaldi dan berkata, "Ini Jessica."
Reynaldi mengambil alih ponselnya dan segera menjelaskan keadaan Alana pada sahabatnya itu.
Sedangkan di asrama, setelah mendengar sahabatnya masuk rumah sakit dengan segera dia mengemas beberapa perlengkapan mandi dan pakaian untuk Alana. Saat dia berkemas, ponselnya berdering lagi ...
Jessica mendapati bahwa nomor penelepon yang tertera di layar ponselnya adalah pamannya, Angga. Dia dengan segera mengangkatnya. "Paman?"
"Besok? Um ... ya, sampai jumpa besok malam, Paman."
Jessica menutup telepon dan hendak melanjutkan mengemas barang-barang untuk Alana, telepon Reynaldi meneleponnya lagi.
Benar saja, Alana harus tinggal di rumah sakit untuk rawat inap.
"Ya, aku bisa ke sana. Kirimkan alamatnya saja padaku." ucap Jessica.
"Aku jadi merepotkanmu." Jessica dapat mendengar nada lemah pria itu dari ponselnya.
"Hey! Rey, apa maksudmu dengan ini … kau merepotkanku?" tanya Jessica menggodanya.
Jessica tahu ada sesuatu dalam nada bicara Reynaldi tadi. Tapi, kan memang Alana itu sahabatnya dan dia tidak merasa direpotkan sama sekali. Juga Alana memangs edang sakit.
Reynaldi tidak peduli dengan harga dirinya lagi dan berkata, "Tidak, aku sungguh merepotkanmu."
"Cukup! Aku tidak ingin mendengar alasanmu"
Jessica mendesis pelan lalu tersenyum. "Aku tutup teleponnya, sampai jumpa nanti."
Reynaldi dan Alana selalu bersama. Ini bukanlah hal yang aneh. Alana berkata bahwa mereka tidak berada dalam hubungan spesial, dan mengatakan bahwa dia membenci Reynaldi, tetapi ada hal yang dia curigai. Ada sesuatu di antara mereka.
Jessica berpikir bahwa jika dia bertanya nanti, pasti keduanya akan berbohong lalu memikirkan bahwa siapa diantara mereka duluan yang akan mengungkapkan perasaannya ...
Ketika dia tiba di rumah sakit, Jessica melihat Reynaldi berdiri di depan pintu kamar, dan yang dia tanyakan untuk pertama kali adalah, "Jujur, apakah itu kau atau Alana? Hah?"
Jessica melihat ekspresi aneh yang tampak di wajah Reynaldi raut wajah yang tidak diharapkannya. Dia merasa bersalah telah bertanya seperti itu.
Raut wajah itu sungguh pertanda tidak baik.
Ada aura kekhawatiran dalam diri pria itu. Jessica merasa bahwa Reynaldi seperti tengah mengkhawatirkan kekasihnya.
"Reynaldi?" panggilnya lagi karena tidak segera mendapatkan jawaban.
Reynaldi memiringkan kepalanya untuk melihatnya sebentar. Tatapan ini … Jessica mungkin tidak akan melupakan tatapan kedua mata itu. Matanya seperti menggambarkan perasaan khawatir, kebungungan, ketidakpercayaan, dan ada kepanikan di dalamnya.
"Reynaldi, ada apa? Kau membuatku takut! Jangan diam saja!"
Keheningannya membuat jessica takut.
Mengingat kondisi fisik Alana yang kurang sehat baru-baru ini, dalam sekejap, berbagai asumsi melintas di benaknya dan membuatnya bingung.
"Alana ... Kenapa?" tanyanya sekali lagi.
Reynaldi tetap mendiamkan Jessica. Ingatannya kembali pada saat setelah dirinya menerima hasil pemeriksaan Alana dan sebelum Jessica datang, dia telah lama berdiri dan diam seperti ini.
"Apa kau pacarnya?… Pacarmu hamil. Usia kandungannya sudah empat puluh hari lebih. Tubuh ibu hamil biasanya sangat rentan. Mudah sekali terserang flu dan masuk angin, walaupun sudah minum obat. Kenapa tidak datang ke rumah sakit lebih awal? Apa kau tidak tahu akan sangat berbahaya jika penyakitnya berubah menjadi pneumonia? Dia perlu dirawat inap di rumah sakit untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut ... "
Dia mengatakan dengan jelas apa yang dikatakan perawat itu, tetapi kata "hamil" membuatnya terkejut dan entah ada rasa sakit di hatinya.
Alana … hamil? Mengapa aku merasakan sakit saat mendengarnya? batin Reynaldi.
"Reynaldi!" Jessica menepuk punggung Reynaldi dengan keras! Pria itu terkejut dan segera berkata dengan lemah, "... Bukan apa-apa, flunya hanya menjadi lebih parah. Jadi, dia harus dirawat inap di rumah sakit." Reynaldi menarik napas, dan diam-diam meremas lembar pemeriksaan di tangannya dan memasukkannya ke dalam saku. Setelah berkata seperti itu, dia lalu mengambil tas di tangan jessica.
"Terima kasih sudah membawakan perlengkapan Alana. Kau pulang saja, Jessica."