Alana merasa tertekan dalam menyembunyikan kehamilannya!
Setelah tertidur di kamarnya, keesokan paginya Alana mengalami demam ringan lagi. Membuat Jessica, yang hendak pulang ke rumah keluarga Baskoro untuk bertemu kakeknya, mengurungkan niatnya. Dia tidak berani meninggalkan Alana sendirian di kamar mereka.
Alana bersenandung lirih di ranjangnya untuk waktu yang lama dan seperti baik-baik saja. Jessica mengabaikannya, pergi ke apotek untuk membeli obat flu yang telah diresepkan oleh dokter sebelumnya. Membeli makan siang, dan menemani Alana makan.
"Ulang tahun kakekmu … Kau tidak jadi pergi?" tanya Alana.
"Aku akan pergi saat kau sudah agak baikan." Jessica juga sangat cemas. Dia khawatir ibunya akan mendapatkan masalah jika dirinya absen. Jadi, sebagai anaknya dia tidak bisa absen di acara penting ini.
Seperti dalam tradisi keluarga, setiap kakeknya ulang tahun, semua anak dan cucunya harus hadir. Orang lain juga dapat hadir. Untuk acara ulang tahun yang besar tahun ini, mereka mengundang tamu dari dalam maupun luar negeri. Hanya yang mendapat undangan saja yang dapat hadir.
Tentu saja, kadang-kadang akan ada beberapa orang yang tidak hadir, tetapi jika alasannya tidak dapat diterima oleh keluarga Baskoro, mereka akan dicap tidak menghargai keluarganya. Untuk keluarga Baskoro yang lebih muda, tidak akan baik bagi mereka jika mendapatkan cap "tidak menghargai dan menghormati" orang yang lebih tua. Di masa depan, itu akan berpengaruh besar bagi mereka sendiri dalam bisnis keluarga.
Meskipun Jessica belum cukup umur untuk mengkhawatirkan dan memikirkan bisnis keluarga, dia tahu jika kakeknya sudah kurang suka dengannya. Itu tidak terlalu masalah. Kakeknya tidak akan melakukan apa pun padanya, tetapi ibunya pasti akan memarahinya!
"Kau pergilah. Aku berjanji akan beristirahat dengan patuh."
Jessica masih ragu-ragu. Jika Alana demam seperti biasa itu tidak apa-apa. Masalahnya adalah dia sekarang sedang hamil! Kebetulan beberapa waktu yang lalu, ibunya berkata padanya kalau dia hampir meninggal karena flu ringan saat baru mengandung Jessica.
Jika sesuatu terjadi pada Alana, dia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri.
"Aku serius! Jika mau tetap berada di sini, aku akan bertambah sakit! Itu acara penting, kan? Apa kau berniat membuatku merasa bersalah ..."
Setelah gadis itu mengatakannya, Jessica masih ragu-ragu. Ponselnya juga sedari tadi tidak berhenti berdering.Dia pikir itu ibunya dan ketika ingin menutup teleponnya, ternyata pamannyalah yang menelepon. Dia bangkir berdiri dan berjalan ke pintu.
Saat sudah di luar kamar, dia langsung mengangkat panggilannya.
"Jessica! Beraninya kau menutup telepon ibumu?!"
"..."
Jessica terkejut saat mendengar suara ibunya yang menjawab dan bukan pamannya.
"Di mana kau? Jika aku tidak melihatmu dalam satu jam, kau tidak akan melihat ibumu lagi!" teriak ibunya
Jessica menyingkirkan ponselnya jauh-jauh dari telinganya. Suara cempreng ibunya membuat telinga Jessica sakit.
Ketika hendak menutup telepon, terdengar suara berat yang dia kenal. "Jessica?"
"Paman ... kenapa kau memberikan ponselmu ke ibuku ..." tanyanya.
"Apa yang terjadi. Kenapa kau tidak datang ke sink?"
Jessica cemberut, lalu dengan jujur berkata, "Alana ... demam lagi."
"..." Angga yang mendengarnya tercengang.
"Dia demam, jadi aku harus menemaninya..."
"Di asrama sekolah?" tanya Angga.
"... Ya." Jessica menjawab, dan kemudian bertanya, "Paman, menurutmu apa bisa aku membuat alasan dengan berkata kalau temanku sakit dan aku tidak bisa meninggalkannya sendirian?"
"Tunggu aku di sana, aku akan datang."
"Hah?" Jessica berkedip bingung. Sebelum sempat bicara, Angga telah menutup telepon.
Ketika Jessica masuk ke kamar kembali, Alana sudah jatuh tertidur. Dia menghela napas, memegang dagunya dan melihat wajah kecil Alana lalu memperhatikannya dengan seksama. Dia sangat iri padanya karena gadis kecil ini begitu disukai semua orang.
Angga sedang berdiri di gedung utama kampus mereka saat ini. Lobinya ramai penuh dengan orang-orang. Meskipun acaranya hanyalah sebuah pesta ulang tahun, Aditama tetap ayahnya. Semua keluarga dan kerabat dekat akan datang juga.
Dia adalah putra bungsu Aditama Baskoro. Dia juga memiliki dua saudara kandung perempuan dan seorang kakak tiri laki-laki.
Ketika lelaki ayahnya berpikir bahwa dia tidak akan pernah memiliki seorang putra seumur hidupnya, dia baru bisa mendapatkan seorang anak laki-laki di saat dirinya menginjak usia empat puluh enam tahun. Bisa dibayangkan kasih sayang dan cinta yang Angga terima lebih banyak dari saudaranya yang lain.
Ketika Angga pindah dari rumah keluarga Baskoro, dia tidak pernah menyangka akan selalu melewatkan ulang tahun ayahnya dan tidak pernah kembali ke rumah itu.
Ketika Angga tiba di lantai bawah di asrama putri, kebetulan kelas sore itu sudah selesai. Ada banyak gadis yang masuk dan keluar asrama. Setiap kali lewat dan menatap sosok Angga, mereka akan melihatnya lebih lama dan kemudian berbisik kepada orang di sebelah mereka. Dia sungguh merasa malu.
Benar, ini adalah reaksi yang seharusnya ditunjukkan dari seorang gadis berusia dua puluhan ketika melihatnya.
Alana hanya menganggapnya sebagai orang tua dan paman Jessica. Dia benar-benar membuatnya merasa frustrasi.
Jessica turun untuk berbicara dengan penjaga asrama, dan kemudian mengisi formulir pendaftaran informasi kunjungan orang luar.
"Jessica, bukankah apa dia pacarmu?" terdengar sebuah suara seorang gadis di sebelahnya.
Seorang gadis dari jurusan yang sama dengannya dan bisa dibilang cukup akrab, datang dan menyapa.
"Bukan. Dia pamanku." Begitu Jessica selesai berbicara, dia menatapnya aneh temannya yang menunjukkan ekspresi terkejut. Temannya itu kemudian tersenyum pada Angga dan bertanya, "Mengapa pamanmu sangat muda?"
Angga hanya mengangguk sopan membuat Jessica memutar kedua bola matanya.
Dia pamit dari gadis itu dan membawa Angga ke lantai empat. Dimana kamarnya berada.
Saat berada di kamar mereka, Angga melihat sekilas Alana yang sedang tidur di ranjang bawah. Dia terlihat tidur sangat nyenyak.
Angga berjalan mendekat, dia mengulurkan tangan dan memeriksa suhu di dahinya, kemudian mengecek suhu tubuhnya dengan termometer.
"Tiga puluh tujuh derajat. Dia sedikit demam ringan."
"Aku takut jika aku tinggal, Alana akan demam lagi juga tidak ada orang yang menemaninya…" Jessica berkata dengan khawatir.
"Pergilah. Aku akan mengawasinya."
"Paman, apa kau yakin?" tanya Jessica dengan terkejut.
"Apa? Kau akan membiarkannya sendirian?"
"Tidak ... tidak, hanya ..."
"Aku sudah ke sana pagi tadi dan jika kau tidak ada di sana pada malam hari, bisa kau pastikan kalau ibumu tidak akan marah lagi?" tanya Angga.
Itu benar, tapi ... Jessica tidak yakin dengan itu ..
"Tapi ... pesta ulang tahun Kakek, sebagai putranya, jika kau tidak hadir ..."
"Saat mereka bertanya, bilang saja aku sedang sakit."
"..." Alasan klasik.
"Cepat pergilah! Kenapa? Apa kau khawatir aku akan memarahi gadis kecil ini?"
Jessica buru-buru menggelengkan kepalanya cepat dan berkata, "Tidak, bukan begitu, menurutku aku bisa mengandalkamu, Paman.. Hei, oke, kalau begitu aku pergi! Jika kau butuh sesuatu, panggil aku!"
"Ssst … pelankan suaramu" pinta Angga.
Jessica menutup mulutnya, mengambil tasnya dan berjalan keluar, lalu menutup pintu.
Kamar yang terlihat luas sebelumnya, menjadi terlihat sempit saat ada seorang pria dengan tinggi hampir 1,8 meter.
Dia melirik Alana, dan kemudian mulai menelusuri kamar mereka. Tempat dua gadis kecil tinggal, dan itu jauh lebih bersih dan rapi daripada yang dia kira.
Ada dua meja di sisi kiri dan kanan pintu. Mejanya berdempetan dengan lemari.
Sebuah meja terlihat dipenuhi tumpukan buku, namun tertata rapi. Dia melirik dari kejauhan dan tahu bahwa itu adalah meja Jessica, yang seorang mahasiswi jurusan manajemen. Buku-bukunya tentang keuangan semua.
Berbeda dengan meja satunya yang sangat tidak rapi. Buku-bukunya ditumpuk dengan asal.
Ada beberapa bungkus makanan ringan, cangkir teh dan pelembab … semua berserakan.
Angga menarik kursi dan duduk, melihat ke tumpukan buku di mejanya, dan mengambil sebuah buku komik bernama "Passing by Love".
Dia membacanya dan mengetahui jika tokoh utama dari komik itu adalah anak anjing bernama Pinyu.
Tidak ada alur cerita, hanya teks sederhana dengan gambar. Dimatanya, saat melihat gambar dalam komik itu dia dengan mudah memahami isinya.
Tetapi jika berurusan dengan seorang gadis seperti Alana, mungkin juga tidak sulit untuk memahaminya.
Di usianya ini, dia jatuh cinta tapi masih bingung dengan dirinya sendiri.
Dia meletakkan komik itu dan mengambil sebuah buku dan tertawa kecil saat melihat isinya.
Ada sebuah potret. Dibawahnya terdapat tulisan: Mereka yang begitu menghargai makan! Aku salut!
Dan di samping kalimat ini, ada tulisan tangan rapi: Mereka yang tidak makan juga masih terlihat tampan!
Wajah yang tersenyum itu begitu familiar di matanya.
Dia menutup buku itu dan mengembalikannya.
Matanya menatap laci dan terdiam. Dia terpaku untuk waktu yang lama.
Apa tidak masalah kalau mengintip sedikit? Pikirnya..
Angga merasa bahwa tidak pernah dirinya memiliki rasa penasaran sebesar ini. Setelah berpikir panjang, dia akhirnya menyerah demi memuaskan rasa ingin tahunya, kemudian membuka laci——