Chapter 16 - Dilema

Angga meletakkan bantal di belakang punggung Alana dan mengambil obat di laci samping. Alana duduk diam memandang sengit Angga.

"Kau belum menjawab pertanyaannku!"

"Ini rumahku. Tentu saja aku bisa bebas masuk di kamamr manapun, kan?"

"Tapi aku tadi sudah mengunci pintunya!" ucap Alana kesal.

Kalaupun ada kunci cadangan, bagaimana dia bisa masuk begitu saja ke kamarnya?!

"Minum obatnya dulu."

"Aku mau! Obat ini pasti beracun!" Alana berkata dengan nada yakin.

"Kau yang membeli obat ini sendiri, bukan aku ..." jawab Angga lalu menghela nafas pelan.

"... Itu juga beracun!"

"Hah. Baiklah, aku akan menjelaskan bagaimana aku bisa masuk ke kamar ini walaupun sudah dikunci setelah kau meminum obatmu."

"Setelah aku meminum obat beracun itu, apa pentingnya bagimu untuk menjelaskannya padaku?"

"Kau cukup cerewet, ya ..." Angga berkata dengan pelan, mengambil gelas air di laci samping dan memeriksa suhu air itu. Apakah tidak terlalu panas untuk diminum Alana.

"Balkon kamar ini terhubung dengan balkon kamar sebelah." ujarnya. Angga kemudian duduk di sampingnya

"..."

Alana menoleh melihat ke arah balkon dan masih terlihat tidak mempercayai ucapan pria itu.

"Kau sangat keras kepala. Kenapa kau tidak mau makan tadi? Aku sudah lama mengetuk pintu kamar setelah selesai memasak bubur, tapi kau diam dan tidak membukakan pintu. Jadi, aku pergi lewat balkon kamar sebelah" jelas Angga dengan sabar.

Alana memandangnya dengan curiga dan bertanya "Dari balkon?"

"Ya."

Alana mengerutkan kening bingung. Balkon kamar ini memang bersebelahan dengan balkon kamar Angga, tetapi setidaknya ada celah sekitar satu meter di antara balkonnya.

Gadis itu cemberut, menatap bubur yang seperti baru saja dimasak, dan melirik ke Angga. "Um ... lalu ini untukku?"

"Makan buburnya selagi panas, lalu tidurlah. Aku akan keluar dulu."

Angga bangkit dari duduknya dan berjalan keluar.

"Paman..."

Alana buru-buru memanggilnya.

"Ya?"

"Um ... Terima kasih. Hehe." Alana tersenyum menyeringai padanya, dan mengangkat mangkuk di tangannya.

Angga berjalan keluar ruangan, dan menutup pintu di belakangnya. Dia tersenyum kecil dan melihat kunci cadangan yang dia genggam. Kunci itu dilemparnya pelan dan kembali digenggamnya.

Gadis itu baik, ceroboh, bahkan naif. Dia terlalu mudah percaya.

Angga kembali ke ruang kerjanya dengan suasana hati yang baik.

______

Setelah selesai menghabiskan buburnya, Alana kembali berbaring lagi di ranjang. Dia memandang balkon di depannya dan tangannya mengepal.

Paman Jessica itu ... orang seperti apa sih dia?

Bukannya itu tadi terlalu berbahaya ya, menyebrangi balkon demi balkon begitu? Walaupun punya kaki yang panjang ...

Atau karena dia khawatir padanya?

Memikirkannya membuat Alana kembali tertidur.

Di tengah malam, Alana bermimpi. Dalam mimpi itu, perutnya semakin membesar. Semakin membesar .. membesar …. dan membesar!

Dia saat ketakutan saat seseorang berjas putih dan bertopeng berdiri di depannya yang memegang pisau bedah itu seperti tengah menunggunya dan akan membedah perutnya hingga terbuka!

Karena takut ketakutan dia berbalik dan berlari. Dia dapat mendengar langkah kaki dari orang itu dengan jelas mengikutinya. Dan dia .. tertangkap! Dia tertangkap dalam waktu singkat!

Alana membalikkan tubuhnya dan melihat orang berjas putih itu melepas topeng wajah tersenyum dari wajahnya. Ternyata itu Angga! Sosok itu memandangnya dengan pandangan menghina.

Dia menginginkan bayi ini!

"Tidak! Jangan! Lepaskan!"

Alana terbangun dari mimpi buruknya dan berteriak.

"Lana, apa kau mimpi buruk?" tanya Jessica khawatir.

Jessica duduk di sebelahnya dan ada Angga di belakang Jessica yang menatapnya dalam diam.

"Jessica ..."

"Alana, bagaimana perasaanmu sekarang? Ayo pergi ke rumah sakit. Katanya kau demam sepanjang malam."

Alana benar-benar merasa kepalanya pusing. Dia kembali mengingat sosok Angga dimimpinya yang berjas putih dan memegang pisau bedah yang tajam! Kepalanya menjadi lebih pening!

"Um ... t-tidak perlu ..." ujar Alana kemudian menutupi seluruh wajahnya dengan selimut.

Jessica memandang Angga putus asa dan berkata, "Paman, apa yang harus kulakukan jika Alana seperti ini?"

"Pergi ke dapur dan bawakan bubur."

"Baik." Jessica meninggalkan ruangan.

Angga duduk di tempat tidur, menundukkan kepalanya dan berkata dengan lembut, "Jika kau tidak patuh dan bertingkah seperti anak kecil seperti, aku akan memberi tahu Jessica tentang apa yang terjadi di antara kita pada malam itu."

"..."

Alana yang mendengarnya menegang. Kejadian yang terjadi di antara mereka?

"Aku akan mulai menghitung, kalau kau tidak bangun ... satu ... dua ... tiga--"

"Brengsek — Um!"

Alana kaget saat bibirnya bersentuhan dengan bibir pria itu. Dia langsung duduk.

"Kenapa terlalu dekat seperti itu!"

Alana menutup mulutnya, menunjuk ke Angga dan berteriak!

"Alana, apa kau mengambil kesempatan dalam kesempitan?" Angga tidak menjawab pertanyaannya, tetapi bertanya pelan, lalu mengusap bibir tipisnya dengan ibu jarinya.

Mata Alana hampir melotot karena kaget!

Apa yang dia katakan? Dia mengambil kesempatan dalam kesempitan? Dasar pria tua tidak tahu malu!

Jessica datang membawa bubur dan berkedip dengan lingung menatap keduanya. "Kenapa wajahmu merah begitu, Lana?"

Dia menyerahkan bubur itu kepada Alana dan mengulurkan tangan untuk menyentuh dahinya.

"T-tidak, bukan apa-apa ..." ujarnya dengan gagap.

Jessica memandangnya dengan cemas dan berkata, "Lebih kau harus dirawat di rumah sakit lagi. Kau selalu demam dan terlihat menyedihkan."

"Tidak apa-apa, kok. Kata dokter kemarin, ini hal yang wajar." Alana memakan buburnya sedikit, dan kemudian berkata, "Apa kita akan kembali ke asrama setelah aku selesai makan?"

"Kau tidak boleh pulang dulu ..." Jessica memandang Angga. "Paman, biarkan Alana berada di sini lebih lama lagi, ya? Bolehkan?"

"Uhuk!"

Alana menyemburkan buburnya, dan Jessica buru-buru mengambil tisu untuk menyeka sisa bubur di wajahnya.

"Hei, makan pelan-pelan."

"Uhuk!" Alana buru-buru melambaikan tangannya cepat dan menggelengkan kepalanya. Wajah kecilnya memerah lagi. "Tidak, tidak usah, Paman! Aku pulang saja ke asrama! Tidak usah!"

"Dengan keadaanmu yang masih sakit begini?" Jessica mengerutkan kening, sebenarnya dia sedikit marah pada Alana!

"Aku ... takut mengganggu dan merepotinya. Mungkin aku bisa ke rumah sakit saja untuk dirawat?"

"Tidak apa-apa, aku tidak merasa terganggu." ucap Angga.

Dapat Alana lihat pria itu masih mengelus lembut bibirnya dengan ibu jarinya. Ekspresinya penuh arti menyebabkan perasaan Alana tidak enak.

"Tidak, tidak, aku akan sangat merepotkanmu. Aku selalu terbangun di tengah malam dan berteriak! itu pasti sangat menganggumu"

Jessica memutar kedua matanya kesal dan berkata, "Apakah iya begitu! Pamanku berkata kau tidak mengganggunya sama sekali, Alana!"

"..." Alana hanya diam.

Dia tidak mengerti, dia hanya ingin menjauh dari pria itu, mengapa begitu sulit?

Jessica, kau tidak mengizinkanku untuk beristirahat sejenak saja! Dan malah membuatku bersama orang itu lagi! batinnya menjerit.

Melihat tatapan Jessica, Alana tidak berani menolak dan kembali memakan buburnya dengan diam.

_____

Angga pergi untuk bekerja, dan Jessica duduk di samping ranjang dan memandang Alana yang terlihat lemah. Dia seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi tidak bisa mengatakannya.

Melihat Jessica yang memandangnya begitu, Alana berinisiatif untuk berbicara, "... Aku tidak menginginkan anak ini."

"Apa kau benar-benar tidak tahu siapa ayah dari anak ini?" tanya Jessica

"Siapa pun itu, aku tidak menginginkannya. Anak ini hanyalah hasil dari sebuah kesalahan. Aku baru sembilan belas tahun. Tidak sanggup menanggung tanggung jawab besar ini."

"Sudahkah kau ... menemukan solusinya?"

"Apa aku harus?" ucapnya pasrah.

"Aku hanya ingin seperti dulu lagi dan kembali normal!"

"... Karena kau sudah memutuskannya, apa yang bisa kubantu?"

Jessica hanya satu tahun lebih tua dari Alana. Dan tidak tahu mengapa mereka bisa bersahabat. Dia tidak tahu apa yang harus Jessica perbuat untuk membantunya ...