Penyelidikan yang terus dilakukan, semakin hari, semakin memperlihatkan titik terang. Mungkin beberapa orang masih menganggapnya abu-abu, seperti Ken. Tapi meski abu-abu, Iwata yakin sudah ada banyak kemajuan yang mereka dapatkan.
"Kenapa kalian sangat yakin kalau orang itu pelakunya?" Ken masih bersikeras dengan keyakinannya. "Dia sama sekali tidak masuk dalam karakteristik pelaku. Profesional atau dari kalangan penegak hukum."
"Kenapa dia bukan pelakunya, dan dari mana kamu yakin kalau dia bukan seorang profesional?" Huda balik bertanya.
"Dia tidak punya ketelitian, tidak punya kehati-hatian, dan tidak ada kepercayaan diri. Dia mungkin hanya orang yang terlihat putus asa dan tersesat," jawab Ken tegas. "Hubungan korban pertama dan kedua bagaimana?" tambahnya mengalihkan.
"Belum ketemu, tapi nanti pasti saya temukan," Huda menjawab dengan suara rendah.
"Cukup berdebatnya" Haikal menimpali. Anak baru, ini keputusan Komandan, jangan banyak protes!"
"Meski bukan dia pelakunya, dia pasti punya petunjuk penting. Keterlibatannya dalam kasus sangat jelas terlihat. Entah berperan sebagai kaki tangan atau hanya sebatas perantara," Iwata menambahkan. "Orang yang putus asa dan tersesat adalah tipe yang sangat mudah dimanfaatkan."
Ken tidak lagi membalas. Jelas karena apa yang Iwata katakan benar.
Dari rekaman blackbox sedan silver yang ada di area parkir kafe, Huda berhasil mengidentifikasi seseorang yang mencurigakan. Yang mengarahkan mobil Tri Agus ke tempat yang tidak terjangkau CCTV. Seseorang yang diduga sebagai pelaku atau kaki tangan pelaku. Orang itu adalah Anugrah Permana, mantan karyawan di perusahaan tempat truk yang digunakan untuk menabrak mobil korban pertama dicuri.
Tinggi orang yang terekam di blackbox sesuai dengan tinggi badan Anugrah, 183 senti. Anugrah saat itu berada di kafe bersama temannya untuk beristirahat. Dia keluar dengan alasan pergi ke toilet.
Selain tinggi badan, kesamaan yang lain adalah sama-sama kidal. Anugrah memang tidak menggunakan jaket, tapi lambang yang tertera di topi yang dikenakan sama. Kaus bagian belakang Anugrah yang sedikit tersingkap, menandakan ia buru-buru membuka jaket yang dikenakannya.
Penyelidikan Haikal dan Ken juga berujung pada Anugrah Permana. Bangunan walet yang digunakan untuk menyekap korban kedua, Anugrah mengenal pemiliknya. Beberapa kali ia ikut memanen sarang walet saat libur, juga pernah dipegangi kunci beberapa kali saat pemiliknya harus ke luar kota karena pekerjaan lain. Artinya, ada kemungkinan Anugrah Permana membuat duplikatnya.
Ketua tim, dan Iwata membawa Anugrah ke kantor polisi. Sementara Haikal dan Ken melakukan penggeledahan, Huda tetap melanjutkan penyelidikannya.
Sebelum batas waktu 24 jam berakhir, Tim Khusus harus bisa menemukan bukti permulaan yang cukup agar selanjutnya bisa mengeluarkan surat penahanan. Jika tidak, mereka harus melepaskan terduga. Tetap melakukan penyelidikan tanpa penahanan, tampaknya mengkhawatirkan. Barang bukti dan petunjuk bisa pelaku lenyapkan.
Seperti yang pernah Ken katakan, akan ada kejahatan lanjutan. Terduga akan melakukan kejahatan serupa. Meski itu masih sekadar argumen, mereka tidak ingin kecolongan dengan bertingkah ceroboh. Apalagi yang menjadi taruhannya adalah nyawa.
"Dia menyangkal semua tuduhan." Ketua tim baru kembali setelah mengintrogasi Anugrah Permana selama berjam-jam. "Alibi bagaimana?"
"Negatif," sahut Huda.
Semua orang menghela nafas bersamaan.
Sisa waktu yang mereka miliki hanya 5 jam. Dengan waktu sesingkat itu, tidak ada yang bisa mereka lakukan. Tidak ada celah. Alibi Anugrah selalu tidak terbantahkan selama penculikan dan pembunuhan terjadi. Membawa teman saat melakukan pencarian truk yang hilang ternyata untuk berjaga-jaga saat menghadapi situasi seperti ini. Menciptakan alibi yang sempurna.
Ketika pembunuhan kedua terjadi, Anugrah bersama lima orang temannya sedang menonton bersama di rumah. Liga primer Inggris. Menurut kelima temannya, Anugrah sama sekali tidak beranjak dari depan televisi meski hanya untuk pergi ke toilet atau mengambil minum.
Untuk dijadikan sebagai kaki tangan pembunuh pun bukti permulaan yang mereka kumpulkan tidak cukup. Tidak ada kunci duplikat di mana pun dalam rumah Anugrah. Selama apa pun tim menggeledah dan seteliti apa pun mereka mencari. Dan, karena wajah Anugrah tidak tertangkap langsung blackbox sedan silver yang ada di parkiran, ia dengan mudah dapat mengelak tuduhan yang di arahkan padanya.
Pemeriksaan catatan telepon juga tidak menghasilkan apa pun. Tidak ada pesan yang menyebut kata pembunuhan atau kalimat yang menggunaka kode-kode yang hanya dimengerti pengirim dan penerima pesan.
Ada beberapa kali panggilan dari nomor tidak dikenal. Awalnya terlihat sebagai harapan, tapi ternyata itu panggilan dari nomor tidak terdaftar yang sudah tidak digunakan lagi. Nomor yang tidak bisa dilacak itu kemudian hanya menjadi bagian dari penyelidikan yang tidak memberi hasil.
"Komandan, HP korban pertama semalam aktif dan... " Huda menahan kalimatnya "Sampai sekarang HP korban kedua masih aktif."
"Di mana tempatnya?" Ketua tim bertanya memburu, tiga yang lainnya ikut merapat.
Tim dibagi menjadi dua kelompok. Ketua tim dan Ken pergi ke tempat di mana sinyal ponsel kedua masih aktif, sementara Iwata dan Haikal menyelidiki tempat semalam sinyal ponsel korban pertama aktif.
Meski ditemukan hal baru, nyatanya masih jauh dari petunjuk penting yang dibutuhkan.
Tempat yang menjadi tempat terakhir sinyal ponsel korban pertama terbaca adalah kawasan perbelanjaan, sebuah pasar malam. Di sekitar tempat itu terdapat banyak toko jual-beli ponsel second. Beberapa toko di antaranya masih tutup saat didatangi.
Setelah ditelusuri lebih jauh mengenai siapa dan bagaimana ponsel bisa berakhir di sebuah toko jual-beli, penyelidikan tertuju pada seorang tunawisma, si penjual.
Si tunawisma berusia 45 tahun itu tidak bisa banyak memberi keterangan karena ia mengalami masalah dengan penglihatannya.
Kehilangan penglihatan karena kecelakaan 10 tahun lalu membuatnya kehilangan lebih banyak lagi. Pekerjaan, istri, dan anaknya. Perlahan kerabat dan temannya juga menjauh. Setelah tidak memiliki apa pun dan siapa pun untuk bergantung, ia mulai membuang harga diri dan hidup hanya mengharap belas kasih orang lain.
Hari itu seperti biasanya ia bekerja sampai malam dan tahu-tahu seseorang menjatuhkan sesuatu ke mangkok tempatnya menadah receh. Ketika mulai ia meraba, ia kemudian sadar benda yang dijatuhkan adalah ponsel.
Tidak merasa sedang membutuhkan ponsel membuatnya kemudian memutuskan untuk menjualnya saja.
Pencarian Ketua tim dan Ken berakhir sama. Pada seorang tunawisma juga. Yang juga tidak bisa memberi banyak keterangan.
Usianya 37 tahun. Lebih muda.
Ponsel didapat kira-kira ketika ia tidur sore di emperan sebuah toko yang sudah tidak buka sejak pagi. Baru bangun dan tiba-tiba menemukan ponsel keluaran terbaru di bawah tangannya, membuatnya merasa seperti baru memenangkan sebuah undian berhadiah.
"Kenapa pelakunya baru mengeluarkan ponsel-ponsel korban sekarang?" Huda bertanya ketika semua orang menghening di meja masing-masing.
Tidak ada yang menjawab.
Berganti ke menit ketiga namun masih tidak ada juga yang menjawab.
"Dua kemungkinan," Iwata angkat bicara. "Mengejek atau mengulur waktu."
"Sial!" Huda menggebrak meja kesal. "Dan sialnya lagi saya belum bisa menemukan persamaan kedua korban." Suara Huda yang mendadak tinggi, mendadak rendah juga. Menyesali dirinya.
"Kenapa kamu jadi pemarah begitu," komentar Haikal. "Seperti bukan Huda yang biasanya. Hari masih panjang, masih terlalu cepat untuk merasa frustrasi. Simpan saja frustrasimu untuk hari nanti yang lebih membutuhkan," tambahnya sembari memperbaiki kunciran rambutnya.
"Persamaan kedua korban," Ken berbicara dengan nada pelan seperti pada dirinya sendiri. "Mungkin bukan persamaan yang seperti itu. Mungkin bagian dari di masa lalu yang ada hubungan degan kejadian yang tidak disegaja."
"Kamu kira saya tidak tahu," Huda yang masih terbawa perasaannya yang buruk menjawab ketus. "Eh, apa tadi?"
"Kamu kira saya tidak tahu," balas Ken menggulang kalimat Huda dengan ketus.
"Duh! Dasar bocah tukang ngambek," Ketua tim menimpali. Iwata dan Haikal hanya tertawa-tawa, sementara Huda justru semakin menggoda, Ken semakin merasa kesal.
*****
Ada sebuah perpustakaan yang menjadi satu dengan toko buku. Di lantai bawah disediakan kafe untuk ngopi, ngeteh, atau ngejus dengan beberapa camilan ringan. Letaknya di pinggir jalan, searah menuju lapangan Bessai Berinta.
Tempat itu biasanya selalu ramai pengunjung di waktu-waktu santai, juga di hari libur pada siang dan sore hari.
Tepat di sebelahnya, sebuah toko dengan segala macam hal berbau game diperniagakan. Buka hingga sore hari. Segala macam, dari menginstal aplikasi game, majalah, kaset, perangkat-perangkat game konsol, serta aksesoris lainnya.
"Beberapa hari ini kamu enggak pernah menelepon lagi. Padahal biasanya kamu yang paling berisik pingin tahu soal kasus," kata Ken. Ia bertemu tanpa sengaja dengan Dani yang baru keluar dari toko game sematara Ken baru akan masuk ke toko buku di sebelahnya.
"Memangnya aku istrimu yang harus menghubungi setiap saat!" tukas Dani.
"Wah... masih enggak terima aku masuk Tim Khusus? Masih belum bisa move on?" Ken cekikikan. Ia sangat menikmati saat-saat bisa mengalahkan Dani dengan pukulan telak. Entah itu dalam video game atau dunia nyata.
Hening.
Dani menghela nafas.
"Kamu tahu, 'kan aku harus berhubungan langsung dengan penjahat untuk bisa mendapat alasan yang aku butuhkan," Ken mengubah nada bicaranya menjadi lebih serius.
Alasan.
Setiap kasus kejahatan yang Ken terlibat di dalamnya, ia selalu bertanya-tanya, pikirannya dipenuhi keingintahuan mengenai alasan atau motif seseorang melakukan tindak kejahatan.
Sejauh ini alasan pelaku kejahatan yang Ken temukan selain keserakahan hanya frustrasi. Seseorang yang terpaksa melakukan kejahatan, seseorang yang mengatakan tidak ada pilihan lain selain melakukan kejahatan, adalah alasan-alasan yang bagi Ken belum bisa ia terima.
Ayah Ken adalah seorang pembunuh. Kenyataan yang hanya diketahui 2, 3 orang yang mengenalnya. Kebanyakan orang hanya tahu Ken seorang yatim, tinggal bersama ibunya, anak yang rajin dan pekerja keras. Tidak lebih.
Menurut penyelidikan, ayah Ken membunuh untuk melindungi Ken, tapi kemudian menjadi lebih tidak terkendali dan membunuh lebih banyak lagi.
Ken yang baru berumur 7 tahun tidak tahu apa yang sedang terjadi atau situasi apa yang menjerat ayahnya. Ingatannya diblokir. Yang ia ingat mengenai ayahnya adalah seorang penyayang yang sangat ia banggakan.
Polisi seharusnya yang tidak mentolerir kejahatan dengan alasan apa pun. Seharusnya tidak ada alasan yang tepat untuk menjadi seorang pembunuh. Hanya saja, Ken merasa pasti ada sesuatu yang membuat ayahnya yang penyayang tiba-tiba kejam dan berdarah dingin. Ken ingin tahu alasannya.
Sejujurnya Ken masih tidak bisa menerima segala hal yang orang-orang tuduhkan pada ayahnya. Ayahnya begitu baik, begitu penyayang. Yang bahkan tidak mungkin melukai seekor binatang sekalipun.
Memang tidak ada bukti kongkrit yang mengatakan anak seorang pembunuh akan menjadi pembunuh juga. Tapi yang pasti masa lalu akan menjeratnya. Nanti, entah kapan.
"Seperti apa kasusnya?" Dani akhirnya bertanya. Lebih karena terpaksa dibanding ingin tahu.
Ken berpikir sesaat. "Seperti apa ya... Meski ada beberapa petunjuk tapi itu bukan bukti nyata. Hanya argumen yang banyak berkeliaran. Tapi entah kenapa aku yakin enggak lama lagi pasti ada kasus lanjutan?"
"Wah, seperti kehebatan Ken yang sudah-sudah, ya!" Dani berseru, merasa kagum.
"Haaah... meski kamu pikir keren bisa masuk Tim Khusus, tapi orang-orangnya sama sekali enggak menyenangkan. Unit Inafis masih yang terbaik," keluh Ken. "Mungkin karena ada di tim elit jadi semua orang berpikir diri mereka hebat."
Dani menertawakan Ken. "Kamu, kan memang masih pemula jadi memang harus kuat-kuat mental."
"Ketua timnya selalu menyebutku dengan panggilan bocah."
"Untuk usia mereka kamu memang masih seorang bocah."
"Bocah ingusan yang gampang tersinggung."
"Memang benar, 'kan?"
"Aku sudah enggak ingusan, ya. Hanya kadang-kadang kalau lagi pilek," tepis Ken cepat. "Disebut bocah tukang ngambeklah..."
"Yang itu juga memang sifatmu. Semua orang juga tahu sifat tukang marah sama gampang tersinggungmu itu sudah kayak cewek yang lagi datang bulan," Dani menimpali dengan tersenyum geli.
"Tapi prisipku enggak akan tersinggung tanpa alasan. Terus, siapa yang enggak benci diremehin, dipanggil anak baru seperti enggak punya nama, tiba-tiba diketusin gara-gara aku berpendapat waktu dia kesal."
"Wah, wah, wah! Baru berapa hari di Tim Khusus sekarang kamu sudah jadi tukang mengeluh," celetuk Dani. "Ada di tim elit itu artinya kamu memang harus lebih kuat mental, harus..."
Kalimat Dani terputus karena dering ponsel Ken. Panggilan dari nomor baru, Haikal, dan sudah pasti berkaitan dengan kasus yang tengah Tim Khusus tangani.
Tidak ada cukup waktu untuk curhat lebih lama. Ken harus segera kembali.
Sebelum meninggalkan Dani, Ken terngiang lagi kalimat Dani, 'Wah, seperti kehebatan Ken yang sudah-sudah, ya!'
Kalimat itu entah kenapa tidak terdengar seperti pujian yang membuat hidungnya kembang-kempis. Ken yang sudah di tempat parkir dan bersiap meluncur dengan kendaraan roda dua tanpa mesin miliknya, terdiam seketika.
***