Selamat membaca
¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶
Apartemen Queeneira
Queeniera baru saja pulang dari lembur di perusahaannya sendiri. Ia memiliki banyak tugas, saat banyaknya juga kerja sama yang berdatangan baik itu di studio miliknya, juga butiknya yang mendapat banyak pesanan rancangan gaun dan jas.
Ia tidak sedang mengeluh karena akhir-akhir ini dibuat hampir setiap malam lembur, jika hasil yang didapat sebanding dengan apa yang dikerjakan olehnya. Terlebih ini juga membuat para karyawannya semakin semangat bekerja, semangat yang juga turut menularinya.
Di dalam perjalanannya menuju lift, ia menyempatkan diri untuk mengecek handphonenya yang tadi sempat bergetar beberapa kali. Namun sayang, saat itu ia sedang tanggung dan tidak bisa menunda pekerjaan.
Ada beberapa notifikasi berupa pesan singkat dan juga pemberitahuan media sosial.
Ting!
Memasuki lift yang terbuka, Queeneira yang fokus dengan layar handphonenya tersetak kecil, saat pintu yang hampir tertutup kembali terbuka dengan seorang pria asing ikut masuk dan berdiri di sampingnya.
"Permisi," kata si pria asing dengan senyum tidak enak ke arahnya.
"Iya, tidak apa-apa," balas Queeneira dan menggeser sedikit tubuhnya, saat si pria itu berdiri terlalu dekat dengannya.
"Ah! Maaf," imbuhnya saat merasa Queeneira yang terlihat tidak nyaman.
"Tidak, tidak apa-apa," sahut Queeneira dengan segera dan terpaksa memasukkan kembali handphonenya ke dalam tasnya, kemudian membawa tas tersebut untuk ia peluk erat di dada.
"Kenapa tidak ada orang selain kami," batin Queeneira seraya merapalkan doa dalam hati, saat merasa jika tiba-tiba suasana awkward melingkupi lift di mana hanya ada mereka di dalamnya.
Matanya melirik dengan was-was kiri-kanan bergantian, antara angka yang tertera di atas dengan angka yang menunjukan lantainya, juga pria di sebelahnya yang menekan papan tombol lift 1 lantai di atasnya.
Ting!
Pintu lift akhirnya terbuka, Queeneira pun dengan segera melanjutkan langkah keluar lift sedikit tergesa. Kemudian tanpa melirik ke belakang, ia berjalan ke arah huniannya berada.
Ting!
Dan ketika ia mendengar pintu lift yang kembali tertutup, seketika helaan napas lega meluncur bebas dari belah bibirnya.
"Fyuh … Tidak biasanya aku merasa takut seperti ini. Ada apa denganku." lirih Queeneira dengan tangan mengusap dadanya pelan, menenangkan jantungnya yang sempat berdetak kencang akibat kejadian tadi.
Ia pun dengan segera mengeluarkan kartu akses untuk membuka pintu apartemennya yang terkunci. Kebetulan malam ini Andine sedang pulang ke rumah orang tuannya, besok hari libur dan Andine berkata jika dia ingin menghabiskan waktu dengan adiknya yang paling kecil, kangen.
Klik!
Ceklek!
Blam!
Masuk ke dalam apartemennya, Queeneira segera menekan saklar lampu dan seketika ruangan yang gelap pun berganti menjadi terang benderang.
Biasanya jika Queeneira pulang, ia akan di sambut dengan cengiran Andine yang merecokinya dengan pertanyaan macam-macam. Tapi, malam ini telinganya aman dari radiasi suara toa temannya yang sudah lama menemaninya itu.
Queeneira melanjutkan langkah kakinya, memasuki kamar dan menutupnya segera untuk melakukan ritualnya. Rencananya ia akan mandi, kemudian tidur hingga esok hari agar tubuhnya tetap fit, mengingat jika besok libur namun sayang masih banyak pekerjaan yang harus di selesaikannya.
"Libur tidak libur sama saja, apalah daya," gumam Queeneira, seraya memasuki ruangan lembab setelah melepas blazer dan pakaian yang menempel di tubuhnya.
Blam!
Tiga puluh menit kemudian …
Rencana Queeneira batal ketika ia menerima pesan beruntun yang baru sempat dibaca olehnya, ketika ingat saat di lift ia urungkan membaca karena ada pria asing di sebelahnya.
Tebak siapa yang mengiriminya pesan dengan jumlah tak kira-kira ... Gavriel, siapa lagi.
Pesan dari Gavriel yang datang sekitar 2 jam yang lalu isinya singkat dan menyebalkan.
Belum lagi jumlahnya yang tidak kira-kira membuatnya menggerutu dan bersiap lahir-batin, jika saat nanti ia membalas akan dapat balasan lagi dengan kalimat lebih mengesalkan dari saat ini.
{Queeneira Wardhana, sedang apa?}
{P}
{Quee!}
{P}
Dan pesan-pesan lainnya yang isinya hampir sama.
"Astaga, apakah dia tidak pernah berkirim pesan dengan seorang wanita? Perasaanku sewaktu dulu, dia tidak pernah mengirimku lebih dari 5 pesan jika aku belum membalasnya. Tapi kenapa sekarang bikin sebal sih," gerutu Queeneira saat membaca chat beruntun dari Gavriel.
Puas menggulirkan jarinya hingga pesan paling akhir, ia pun membacanya dalam hati dengan wajah kesal namun bibir tersenyum salah tingkah.
"Sialan, Gavriel beraninya di pesan saja. Giliran sedang berhadapan, yang ada selalu membuatku kesal dan menghabiskan waktu dengan menggodaku," lanjut Queeneira dan memutuskan untuk membalas dengan balasan sesingkat mungkin. Seakan-akan ia tidak bersalah telah membuat Gavriel menunggu lama menerima balasan pesannya.
{Miss you, love you, really need you}
{Quee, balas pesanku atau kamu aku menerima akibatnya saat aku pulang nanti!}
Setelah memastikan jika pesannya telah terkirim, Queeneira memutuskan untuk pergi ke dapurnya, mencari sesuatu yang bisa di makannya dengan membawa handphone takut jika tiba-tiba Gavriel menghubunginya.
Sesampainya di dapur, Queeneira meletakan hanphonenya di meja makan sedangkan dirinya melangkahkan kembali kakinya menuju kulkas. Ia membuka dan menundukkan tubuhnya kemudian berjongkok, untuk melihat lebih jelas ada apa
saja yang tersisa di dalam kulkasnya.
Ia jarang berbelanja dan ia akan berbelanja jika benar-benar tidak ada apa-apa saat ia melihat isi kulkasnya alias kosong. Ia juga jarang memasak jika sedang ada di apartemennya dan lebih suka makan di luar apartemen bersama Andine.
Di dalam kulkas ada buah dan juga sekotak susu rasa cokelat, milik Andine yang suka sekali meminum susu dengan lemak tinggi, tidak sepertinya yang menyukai susu low fat.
"Huh, aku hanya makan buah malam ini? Tapi salahku sih, malas berbelanja," gumam Queeneira dan akhirnya mau tidak mau mengambil satu buah apel dengan ukuran besar, namun cukup untuk mengganjel perutnya yang tidak seberapa lapar.
Ia berjalan kembali ke arah meja, tempat ia tadi meletakkan handphone dan mengeceknya seraya duduk di kursi.
"Heh, giliran aku balas dia tidak balas. Apa dia mau balas dendam, heum," gerutu Queeneira kemudian memutuskan berdiri kembali dan berjalan menuju washtafel untuk mencuci dan mengupas buah yang ada di tangannya.
"Awas saja kalau dia menelponku," imbuhnya seraya mencuci dan mengupas kulit apel, kemudian memotongnya dengan potongan cantik, menyusunnya di piring lalu membawanya ke arah ruang tamu.
Ia berniat menonton acara televisi, sambil menunggu balasan dan jika tidak dibalas hingga buahnya habis, maka ia akan benar-benar tidur tanpa peduli dengan kemarahan Gavriel sekalipun.
Queeneira baru saja ingin menghempaskan bokongnya di sofa, namun ia di kejutkan dering handphonenya dengan nama Gavriel sebagai pemanggil.
Senyumnya dengan cepat terulas, namun dengan cepat ia hilangkan saat ia merasa aneh. Untuk apa ia tersenyum hanya karena Gavriel akhirnya menghubunginya setelah menunggu balasan pesan yang lumayan lama.
"Hentikan itu, dia itu kamvret dan kamu tidak boleh cepat menyerah," batin Queeneira mengingatkan.
Ia pun berdehem guna menghilangkan rasa senang dengan melunturkan senyumnya, baru kemudian menekan tombol terima lalu menempelkan layar handphone tersebut di daun telinga sebelah kanannya.
Klik!
"Halo," ujar Queeneira dengan nada mencoba biasa saja, tangan lainnya menggapai garpu kecil di piring buah dan menusuk potongan apel itu kemudian memakannya.
[Kenapa baru membalas pesanku, Que?]
"Ukh, apa aku bilang. Ini pasti adalah pertanyaan pertama yang akan di tanyakan olehnya," batin Queeneira dengan bibir mencebil kesal.
"Aku baru selesai mandi," jawab Queeneira apa adanya, sambil mengunyah potongan apel dengan kunyahan pelan.
[Hn, lain kali balas pesanku, meskipun itu hanya sebuah kalimat singkat dan pemberitahuan, paham?]
"Huh, aku sudah seperti tawanan yang di penjara," batin Queeneira menggerutu.
Ya ... Queeneira, kamu memang tawanan dengan penjara emas berlebel Gavriel tepatnya.
"Hum, akan aku usahakan," balas Queeneira berusaha tidak membantah, padahal dalam hati sudah sibuk menggerutu dengan perintah seenaknya dari Gavriel saat ini.
[Hn, bukan akan tapi harus, Que. Do you understand?]
"Cih, Gavriel. Aku ini bukan istrimu, bagaimana bisa aku harus selalu menurutimu, sialan," sembur Queeneira pada akhirnya mengeluarkan sumpah serapahnya.
Rasa kesalnya sudah tidak bisa di tahannya, apalagi saat mendengar keinganan seenaknya Gavriel yang justru terkekeh di ujung panggilannya sana.
[Khe … Untuk saat ini kamu memang belum jadi istriku, Quee. Tapi, sebentar lagi dan kamu tunggu saja.]
"Mimpi! Aku tetap tidak akan mau, titik,"
[Tidak mau? Yakin?]
"Tentu saja, aku tidak mau," sahut Queeneira cepat.
[Oke, pikirkan lagi benar-benar.]
"Tidak usah berpikir. Tetap tidak mau, titik," tolak Queeneira cepat.
Karena tidak ingin panggilan telepon mereka isinya perdebatan tidak berujung, Queeneira pun mengalihkan pertanyaannya saat telinganya mendengar suara bising yang ikut masuk di indra pendengarannya.
"Gavriel," lanjut Queeneira menuai gumaman singkat seperti biasa dari Gavriel.
[Hn?]
"Kamu sedang ada di mana?" lanjut Queeneira bertanya.
[Aku? Aku sedang di pesta, kenapa? Apakah terdengar bising?]
"Iy-
Queeneira tidak jadi melanjutkan kalimatnya, saat telinganya menangkap suara wanita di panggilan mereka saat ini. Suara seorang yang memanggil nama Gavriel dengan lembut, juga balasan Gavriel yang terdengar meladeni si wanita dan ini membuatnya seketika merasakan perasaan penasaran, juga tidak suka di saat bersamaan.
"Siapa wanita itu," batin Queeneira berhenti dari mengunyah apel yang saat ini ada di dalam mulutnya.
Bersambung.