Selamat membaca
¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶
Apartemen Queeneira
Setelah panggilan telepon dari Gavriel selesai, Queeneira melirik jam digital yang terpajang apik di nakas dekat tempat tidurnya.
04:58
"Huh, baru juga pukul lima pagi. Tapi dia sudah harus berangkat ke luar kota," gumam Queeneira dengan mata menatap ke arah jam dan beralih ke layar handphonya.
Layar handphone dengan gambar matahari terbit, matahari kesukaan Gavriel.
Dahinya mengernyit memikirkan saat handphonenya di tangan Gavriel. Seketika ia ingat, kelabakan jika Gavriel menyadari satu hal tentang arti gambar ini.
"Tunggu! Aku hanya berharap, jika dia tidak tahu maksud dari aku menjadikan matahari ini sebagai wallpaper handphoneku. Aku tidak ingin dia menganggap aku masih memikirkannya, meskipun iya sih. Tapi pokoknya, aku nggak mau dia menang dengan mudah," gumam Queeneira mengakui, namun juga enggan mempermudah bagi Gavriel memasuki kembali hidupnya.
"Aish, bikin pusing saja. Lebih baik aku segera mandi dan bersiap kerja," lanjut Queeneira kemudian memutuskan untuk bersiap-siap memulai aktivitasnya.
Bangun dari rebahan santainya, Queeneira menurunkan satu per satu kakinya dan memasukkannya di sandal dengan karakter kepala kelinci.
Jalan dengan sempoyongan, Queeneira sesekali menguap dengan tangan mengusak rambutnya dan berjalan ke arah kamar mandi.
Ceklek!
Blam!
Setengah jam kemudian ...
Keluar dengan aroma sabun yang menguar dari dalam sana, Queeneira menggerakan kedua tangannya menggusak rambut setengah basahnya, seraya berjalan ke arah nakas di mana ia meletakan handphonenya.
"Huh ... Biasanya juga masih tidur, pukul segini sudah mandi saja," gumam Queeneira dengan gerutuannya.
Disela-sela kegiatannya mengeringkan rambut, Queeneira berpikir tentang kegiatan Gavriel yang memang terlihat padat. Ia jadi berpikir, di sini saja dia sudah sibuk apalagi di sana.
Apakah ini, yang membuat dia juga sampai melupakannya, sampai seperti menghilang di telan bumi seperti itu?
"Entah lah, aku tidak ingin memikirkannya. Yang ada nanti aku baper sendiri," monolog Queeneira menjawab sekelebat pikirannya sendiri.
Dengan begitu ia pun membuka lemari pakaiannya, memilih pakaian kantor dan memakainya segera.
*****
Queeneira saat ini sudah siap dengan pakaian kantornya. Baju kemeja dengan warna putih, sedangkan bawahannya adalah rok mini satu jengkal di atas lututnya.
Sepatu yang terpajang di rak kaca milik Queeneira di pandanginnya satu per satu, kemudian ia memilih salah satunya dan segera memasangnya di kedua kakinya.
"Hum, siap," gumamnya senang. Ia baru saja ingin membalikkan tubuhnya membelakangi rak sepatunya, tapi sepatu yang terlihat paling berkilauan membuat langkahnya terhenti.
Kini fokusnya hanya pada sepatu pemberian Gavriel. Padahal ia selalu bilang, jika ia akan mengembalikan sepatu itu kepada pemiliknya. Namun, hingga saat ini sepatu tersebut masih betah terpajang apik di raknya.
"Huh, aku selalu lupa untuk mengembalikannya kepada dia. Baiklah, sepulangnya dia dari luar kota aku akan mengembalikanmu," kata Queeneira melihat sepatu itu, seakan-akan si sepatu mengerti dengan apa yang dikatakannya.
"Okay, sudah di putuskan. Jadi, sekarang jangan goda aku lagi, huh," lanjutnya, kemudian membalik tubuh membelakangi rak sepatu itu.
Melangkahkan kaki jenjangnya ke arah pintu keluar, Queeneira membuka pintu kamar dan keluar di sambut dengan Andine yang menatapnya kaget, membuatnya mendengkus saat melihat reaksi berlebihan temannya.
"Apa?" tanya Queeneira dengan jutek, kepada Andine yang hanya menggeleng dengan senyum polosnya.
"Tidak. Aku hanya penasaran, apa yang bisa membuatmu bangun dan bersiap kerja sepagi ini?" ujar Andine bertanya dengan kening berkerut penasaran.
Mendengkus adalah yang Queeneira lakukan (Lagi), saat merasa jika pertanyaan Andine adalah pernyataan paling mengejek di pendengarannya.
"Huh, kamu bertanya apa mengejek, Andine?" sarkas Queeneira bertanya kepada Andine yang hanya bisa mengangkat bahunya tak acuh.
"Bertanya, Quee. Kalau mengejek aku hanya perlu bilang, wah! Queeneira, selamat yah kamu bisa bangun pagi," jelas Andine dengan wajah sumringah saat ia mengatakan selamat pada Queeneira.
Queeneira kembali mendengkus, saat Andine selalu bisa membalas apapun perkataanya.
"Terserah kamu, And. Kamu punya seribu jawaban, jika aku berkata satu kalimat. Huh, dasar."
Setelah mengetakan kalimatnya, Queeneira dengan segera meninggalkan Andine yang hanya terkekeh di belakangnya. Ia berjalan menuju dapur, untuk mengambil susu low fat-nya kemudian menuangkan dalam gelas bening dan meneguknya segera.
"Queene, kita langsung ke lokasi atau ke kantor dulu?" tanya Andine dari belakang punggung Queeneira, yang saat ini sedang menghadap kulkas.
"Hum," gumam Queeneira seraya menjauhkan gelas dari bibirnya, menghentikan acara minumnya dan menyeka bibirnya dengan punggung tangan.
"Kita langsung ke tempat meeting, baru deh setelah selesai kita ke kantor," lanjut Queeneira menjelaskan.
"Okay," jawab Andine cepat, dengan kepala mengangguk dan meninggalkan area dapur, menyisakan Queeneira yang kembali meminum susunya.
Skip
Siangnya setelah selesai dengan meeting di luar, Queeneira dan Andine kambali ke kantornya sendiri. Melanjutkan pekerjaan masing-masing, yang pastinya sudah menunggu keduanya untuk segera di selesaikan.
Tiba di lobby perusahaanya, Queeneira di buat heran dengan sebuah kotak dengan lambang salah satu toko kue lumayan terkenal di kotanya, yang di ulurkan oleh salah satu petugas resepsionis perusahaannya.
"Hum, dari siapa?" tanya Queeneira dengan penasaran.
"Ini, Bu. Ada suratnya," jawab si petugas, seraya mengulurkan surat kecil kepada Queeneira yang menerimanya segera.
"Okay, terima kasih," balas Queeneira, kemudian membawa kotak besar yang tadi di ulurkan oleh si resepsionis, untuk di bawanya ikut serta ke ruangannya.
Bersama Andine di sebelahnya, Queeneira sesekali membalas sapaan dari para bawahannya yang mengucapkan salam kepadanya.
"Selamat siang, Bu!"
"Selamat siang, semangat bekerja!"
Andine melihat kotak kue yang di bawa Queeneira penasaran, ia bertanya-tanya siapa seseorang yang baik hati mengirim Bos cantiknya kue dengan aroma yang sampai menembus kotak, bahkan tercium di indra penciumannya.
"Hei, Queene," bisik Andine seraya menyenggol lengan Queeneira menggunakan lengannya sendiri, membuat Queeneira terdorong ke samping kemudian dengan segera mendelikan matanya tajam, menatap Andine dengan gerutuan kesal.
"Ck, apa sih. Tidak bisa yah, kalau manggil orang pake cara normal. Nggak perlu lah, pakai acara senggol-senggolan segala."
Andine hanya bisa memasang senyum tanpa dosa, kemudian meminta maaf namun disertai kekehan yang membuat Queeneira semakin kesal.
"Sorry, Queene. Habis aku penasaran, siapa kira-kira yang mengirim kue dan surat kecil itu," ungkap Andine jujur apa adanya.
Andine ini tipe teman yang to the point kalau tidak ingin dibilang kepo-an dan inilah yang membuat Queeneira betah berteman dengan Andine. Meskipun terkadang membuatnya kesal, tapi setidaknya Andine selalu jujur dengan apa yang ada di dalam isi kepalanya.
"Astaga, And. Kamu saja yang melihat penasaran, apalagi aku yang menerimanya. Lagian kan kamu lihat sendiri, kalau aku belum membukanya. Bagaimana mungkin aku tahu," timpal Queeneira tidak habis pikir.
Terkadang Queaneira gemas dengan Andine, terkadang juga ia menyukai sikap Andine yang blak-blakan dan akan menampilkan senyum tanpa dosa, jika sudah melakukan sesuatu yang membuatnya kesal seketika.
"He-he … Maka itu ayo kita buruan sampai ruangan. Aku sudah tidak sabar untuk mengetahuinya," ajak Andine seraya menggengam pergelangan tangan Queeneira kemudia menyeretnya segera, menuai pekikan dari Queeneira yang terkejut akan kelakuan temannya itu.
"Andine, Hei! Jangan seret aku sembarangan!" seru Queeneira berusaha menyeimbangkan langkah kaki Andine yang ada di depannya.
"Ayolah, Quee. Aku ingin mengetahui seseorang yang mengirim kue tersebut," sahut Andine tidak merasa bersalah.
"Halah! Bilang saja kamu ingin cepat-cepat memakannya," tandas Queeneira cepat, membuat Andine yang mendengar tergelak karena itu juga salah satu alasannya.
"He-he … Iya sih, itu juga alasannya," sahut Andine cepat disela-sela kekehannya.
"Ck, dasar," dengkus Queeneira dengan kepala menggelengkan kepalanya tidak habis pikir.
Sesampainya mereka di ruangan milik Queeneira, Andine dengan segera menutup pintu rapat dan menghampiri Queeneira yang sudah duduk santai di sofa, bersiap membuka kotak dan menyimpan surat kecil itu di dalam tasnya.
"Loh! Kenapa suratnya di masukan ke dalam tas? Kan aku mau lihat juga," tanya Andine dengan nada protes yang kentara.
Queeneira mengangkat wajahnya, melihat dengan alis terangkat saat temannya protes dengan apa yang dilakukannya.
"Huh. Bukan kah yang penting kuenya, ya?" ledek Queeneira balik bertanya dengan Andine yang ganti mendengkus ke arahnya.
"Isk, aku juga kan mau tahu bagaimana isi suratnya. Romantis kah atau malah horor," kilah Andine tidak mau kalah.
"Horor bagaimana? Jangan ngaco deh, And," ujar Queeneira bingung, ia juga membuka dengan segera kotak kue itu dan seketika harum cokelat pun menyerbak kesuluruh sudut ruangan.
"Mantap! Harumnya menggiurkan, Quee. Mahal nih, pasti," gumam Andine dengan tenggorokan menelan saliva susah payah. Ia menatap kue berbentuk cantik itu dengan mata berbinar-binar, kemudian dengan segera mengambil handphonenya dan membuka aplikasi kamera.
"Foto dulu buat di pasang di instkilo, he-he," lanjutnya dengan ekspresi senang.
Queeneira pun demikian, meskipun tidak seperti Andine yang memotretnya dari berbagai mata arah angin. Tapi sebenarnya Queeneira pun terpesona dengan hiasan kue yang di kirim untuknya siang ini.
"Cantik," gumam Queeneira tanpa sadar.
"Emkoy sai, bangyau (Terima kasih, teman)" sahut Andine dengan senyum lebar dan tentunya tanpa tahu malu, membuat Queeneira yang mendengarnya tentu saja mencibir sinis, dengan tingkat kepercayaan Andine yang terlampau tinggi.
"Em hai lei a,(Bukan kamu). Kuenya yang aku maksud," sahut Queeneira menatap Andine dengan bibir tertarik membentuk senyum meledek.
"Kamu sih cantik. Tapi, kalau di lihat dari atas puncak melalui lubang pipet," lanjut Queeneira mencibir tanpa pikir panjang, menuai gerutuan dari Andine namun Andine tidak marah karena ia tahu kalau Queeneira tidak sungguh-sungguh seperti itu.
Queeneira baginya teman yang selalu mengungkapkan segalanya dengan apa adanya, sedikit galak dan ketus namun ia tahu betapa baiknya anak satu-satunya Wardhana ini.
"Hueee, Queeneira jahat," sahut Andine dengan nada manja.
"Emang. Kenapa? Mau protes?" tanya Queeneira pura-pura sewot.
"Tak, saye tak mungkin protes, Quee. Yang ada saye tidak di bagi itu kek (Kue) lezat. Nah, Queene yang baik dan cantik, bagilah sikit kek (kue) tu," timpal Andine dengan aksen melayu, mengikuti serial kartun kesukaanya sewaktu kecil, sehingga Queeneira yang mendengarnya mendengkus geli.
"Tak nak, beli lah sendiri," balas Queeneira mengikuti gaya bicara Andine yang kini tergelak di sebelahnya.
"Ha-ha-ha … Betul-betul-betul, sedap," ujar keduanya bersamaan, sehingga kekehan pun memenuhi ruangan milik Queeneira.
"Apa dia juga seperti ini dengan yang lainnya, sewaktu di Amerika sana?" batin Queeneira disela-sela kekehannya.
Bersambung