Selamat membaca
{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{
Sebelumnya, selagi Queeneira pergi ke toilet.
Selyn menatap dengan pandangan menuntut, tentang perubahan sikap Queeneira kepada sang kakak, sedangkan Gavriel menatap adiknya dengan sebuah rencana.
"Mas jujur deh, sebelum ini sudah bertemu belum sih dengan Mba Que?" tanya Selyn curiga, karena di lihat dari reaksi mbanya, sepertinya mbanya lebih kesal dari yang terlihat.
Gavriel hanya mengangkat bahu, enggan memberitahu namun ia tahu Selyn tidak akan menyerah, jika sudah ingin tahu sesuatu.
"Mas sudah pernah bertemu, juga sudah memberikan hadiah secara langsung. Tapi sepertinya, mbakmu itu tidak suka dengan pemberian dari Mas. Jadi, bagaimana dong. Atau Mas harus bicara empat mata dengan Que, El?" tanya Gavriel berpura-pura frustasi, sehingga Selyn yang mendengarnya melotot tidak percaya.
"Tidak mungkin ini karena hadiah Mas, ini pasti karena Mas yang salah bicara saat memberikan hadiah kepada Mba Que," tandas Selyn, dengan ucapan yang tidak sepenuhnya salah.
"Bukan perkataan El, tapi sebenarnya lebih dari itu," batin Gavriel.
"Tentu saja tidak El, maka itu Mas mau coba bicara lagi dengan Queene," timpal Gavriel dengan nada menyesal, menatap adiknya penuh dengan maksud yang di mengerti oleh Selyn segera.
"El mengerti, Mas tenang saja, pokoknya malam ini Mas harus bicara dengan Mba, Ok?" ucap Selyn, dengan Gavriel yang segera mengusap rambut adiknya sayang.
Dan di sini lah sekarang Selyn, ia yang meninggalkan keduanya segera bersembunyi dan berdiri dari kejauhan, melihat bagaimana canggungnya Mas dan Mbanya semenjak kepergiannya.
"Maafin El, Mba. El hanya ingin kalian bisa berbincang berdua, tanpa ada rasa canggung lagi," lirih Selyn bersalah.
Setelahnya Selyn pun meninggalkan tempat persembunyiannya, berjalan ke arah parkiran dan kemudian pergi dari restoran, tanpa tahu jika Queeneira sedang dalam bahaya.
Becanda.
Tidak mungkin Gavriel mengigit Queeneira, justru saat ini keduanya masih saling diam dengan atmosfer yang tiba-tiba berubah.
"Queene," panggil Gavriel setelah lama keduanya terdiam. Ia menatap cinta belum sampainya dengan sorot mata rindu, namun sayang Queeneira enggan untuk melihatnya.
"Hmm."
Huft …
Gavriel menghela napas, saat panggilannya hanya dijawab dengan gumaman kecil, belum lagi wajah cantik sahabatnya tidak menoleh sama sekali ke hadapannya.
"Oh my Godness," batin Gavriel gemas.
"Look at me, Queene. I'm talking to you, (Lihat aku, Queene. Aku sedang berbicara denganmu)" pinta Gavriel dengan nada sedikit memaksa, membuat Queeneira akhirnya menoleh meskipun dengan wajah tidak bersahabat.
"What? What do you want to talking about? (Apa? Apa yang ingin kamu bicarakan)" jawab Queeneira sinis, melihat Gavriel dengan aura permusuhan yang kentara.
"I miss you," jawab Gavriel tiba-tiba, nada yang digunakan begitu lembut, sehingga Queeneira yang mendengarnya hampir saja terlena.
Deg! Deg! Deg!
"Gavriel sialan," umpat Queeneira dalam hati.
Dengan pipi merona meski samar, Queeneira melengoskan lagi wajahnya, tidak ingin melihat ekspresi kaku Gavriel yang sedikit melunak apalagi sorot mata rindunya, yang mampu membuat jantungnya terpompa cepat.
"Curang," gerutu Queeneira masih dalam hati.
"Bullshit, (Omong kosong)" tandas Queeneira, mengeraskan hati tidak ingin tergoda dengan cepat.
"I swear,(Aku bersumpah)" timpal Gavrile cepat. Ia mencoba mengulurkan tangannya, hendak memegang tangan Queeneira yang ada di atas meja. Namun sayang, Queeneira lebih dulu menariknya dan meletakanya di bawah kolong meja, untuk di remasnya mengurangi efek gelisahnya.
Tangan terulur Gavriel berhenti di tengah meja, kemudian dengan mengepal menahan kesal kembali ditariknya dan memegang tangkai gelas wine miliknya, meminumnya hingga tandas mencoba untuk tidak termakan rasa kecewanya.
Di tolak saat hendak memegang tangan wanita yang dicintai, siapa yang tidak kecewa.
"Fuck," batin Gavriel mengumpat.
"Kangen kamu sudah telat, Gavriel. Andai kamu ucapkan kata itu sepuluh tahun yang lalu, mungkin aku akan langsung mempercayainya," ujar Queeneira dengan nada menusuk, membuat Gavriel tertohok merasa jika ini benar memang salahnya.
"Aku tahu, aku salah. Tapi Quee-
"Kalau kamu tahu kamu salah, kenapa kamu dulu tidak mencoba barang sejenak menghubungiku, berbagi kabar denganku meskipun hanya 1 menit dari 24 jam milikmu?" sela Queene masih dengan nada tajam, membuat Gavriel terdiam menatap nanar ke arah Queeneira yang menatapnya dengan mata berkaca-kaca, kecewa.
"Saat itu banyak sekali pekerjaan dan tugas yang harus aku kerjakan dan selesaikan," jelas Gavriel dengan nada sabar, menutupi kenyataan lainnya saat ia merasa, jika Queene tidak perlu tahu semua tentangnya dan apa yang di alaminya beberapa tahun lalu, ketika ia ada di sana.
"Hanya mengirim pesan yang tidak menghabiskan waktu 20 detik, juga tidak bisa, seperti itu," tandas Queene dengan nada takjub, tepatnya tidak habis pikir.
"Queene, dengarkan aku-
"Kenapa aku harus mendengarkan kamu? Kamu yang harusnya dengarkan aku. Dengar ini, jangan pernah datang menemui aku lagi, kecuali kamu sudah sadar dengan apa saja kesalahan yang telah kamu berbuat. Mengandalkan kekuasaan untuk menghancurkan perusahaan orang, sungguh tipikal kamu sekali, aku sampai tidak mengenalimu yang sekarang. Gavriel."
"Queene, aku bisa-
"Tidak ada yang perlu di jelaskan lagi."
Lagi-lagi Queeneira menyela kalimat yang akan Gavriel ucapkan, sehingga Gavriel hampir saja menghembuskan napas frustasi namun di tahannya.
"Ok, aku antar kamu pulang," putus Gavriel mengalah, merasa jika saat ini Queene masih terlalu emosi dan akan sangat bahaya jika ia juga ikut emosi. Ia juga sadar, jika pembahasan mereka sudah terlalu sensitive.
Di sekelilingnya terlalu banyak mata juga telinga dan ia tidak ingin sampai masalah ini didengar orang yang tidak tahu masalah pokoknya apa.
"Aku bisa pulang sendiri," tolak Queeneira tegas.
"Tidak, El sudah bilang jika kamu akan pulang dengaku," tandas Gavriel lebih tegas, menatap Queeneira dengan sorot mata tak terbantahkan.
"Tapi aku menolak."
"Dan aku tidak suka ditolak."
"Aku akan pesan taks-
"Silakan, Queene. Tapi seperti yang kamu tahu, berani kamu berbuat demikan, jangan salahkan aku kal-
"Kamu bisa tidak, Gavriel. Sekali saja tidak menggunakan kekuasaan untuk mengancamku?" desis Queene dengan raut wajah menahan marah.
Hatinya takut, jika lagi-lagi karena perbuatannya orang lain yang akan kena getahnya.
"Tidak, karena begitulah permainannya, Queene."
Memandang Gavriel tidak percaya, Queene membuang wajahnya ke samping dengan perasaan kesal, bahkan napasnya tidak teratur saat ia sedang menahan rasa marahnya.
"Quee-
"Talk to my hand," sela Queeneira kemudian berdiri dengan segera dari duduknya dan meninggalkan Gavriel, yang terkekeh dalam hati karena menyaksikan sendiri perlawanan sengit dari Queeneira yang sungguh berani kepadanya.
"Benar-benar mirip seekor macan betina," batin Gavriel dengan perasaan bercampur.
Ia dengan cepat mengikuti Queene yang sudah jauh menuju pintu keluar sana, dengan kode tanpa suara kepada salah satu pelayan, pelayan itu pun mengangguk dan membiarkannya pergi.
Di luar Queeneira berjalan ke arah jalan raya, hendak menyetop taksi dan saat tangannya terayun memberhentikan sebuah taksi yang lewat, dari arah belakang ada Gavriel yang lebih dulu menangkap, membalik dan mendekap tubuh Queeneira erat.
Grep!
Ckitt!
Sebuah taksi berhenti di depan mereka, dengan kaca jendela mobil turun perlahan, memperlihatkan seorang pria paruh baya yang menjulurkan kepala, menatap canggung ke arah Gavriel, saat Gavriel sedang menahan perlawanan Queeneira di pelukanya.
"Den! Jadi nggak taksinya?" tanya si sopir taksi.
"Hn. Tidak, istri saya sedang marah dengan saya pak. Jadi dia mau pulang sendiri," jawab Gavriel dengan senyum tidak enak, ia semakin melesakan wajah Queene di dadanya, sehingga suara protesan Queene teredam dan tidak terdengar jelas.
"Oh! Iya, nggak apa-apa. Jangan lama-lama marahannya, nggak baik, dosa den," nasihat si sopir taksi, salah paham dengan apa yang dilihatnya.
"Hn. Tentu, pak," sahut Gavriel dengan anggukan kepala pelan.
Akhirnya taksi pun melaju meninggalkan Gavriel dan Queeneira, dengan Queeneira yang menginjak kaki Gavriel kuat, membuat Gavriel sedikit kesakitan dan mengangkat kakinya, kemudian menghentak-hentaknya ke tanah sebagai pereda rasa sakitnya.
Auuchh!
"Sayang, ini sakit loh," ujar Gavriel dengan wajah menyebalkan, ia menebalkan wajahnya saat Queeneira melotot garang ke arahnya.
"Sayang matamu! Aku mau pulang, Gavriel. Kenapa kamu malah membuat taksiku pergi bagitu saja dan lagi apa-apaan kamu itu, ngaku-ngaku kalau aku ini adalah istri kamu. Mabuk yah kamu," sembur Queeneira dengan satu kali tarikan napasnya, membuat Gavriel tergelak saat ingat kelakuan sang Mommy, jika sedang kesal dengan sang Daddy pasti seperti ini.
Ha-ha-ha
"Kenapa tertawa, tidak lucu, Gavriel!" sentak Queeneira semakin kesal.
"Sebaiknya kita pulang dan aku akan mengantarmu," putus Gavriel alih-alih menjawab pertanyaan Queeneira yang kesal.
"Tidak, aku akan pulang sendiri."
"Jangan keras kepala, Queene," desis Gavriel dengan nada dingin, bahkan ia juga menatap Queene dengan tajam membuat Queene diam terpaku, lalu ikut begitu saja saat Gavriel menyeretnya lembut dan berjalan ke arah mobilnya terparkir.
Gavriel membuka pintu penumpang depan, kemudian mendudukan Queeneira yang hanya diam dengan lembut, memasangkan sabuk pengaman dan setelahnya mengusap lembut pelipis Queeneira.
"Aku akan mengantarmu pulang dan kita akan bicarakan ini lagi," bisik Gavriel kemudian menutup pintu, tanpa menunggu jawaban dari Queeneira, yang hanya terdiam saat tadi merasakan usapan lembut di pelipisnya.
"Gavriel kenapa kamu berbeda, seakan aku tidak mengenalimu lagi," batin Queeneira sedih, menatap luar jendela dengan mata memerah.
Ceklek!
Memasuki mobil dengan segera, Gavriel menyempatkan diri melihat ke arah Queeneira yang wajahnya menghadap ke arah jendela, kemudian dengan helaan napas kecil ia pun duduk dengan nyaman di kursi kemudi, sekali lagi melirik baru memutuskan untuk menghidupkan mesin mobilnya.
"Kenapa kamu lagi-lagi melawanku, Queeneira," batin Gavriel memutuskan untuk fokus dengan jalanan di depannya.
Bersambung