Chereads / Married With My Arrogant Friend / Chapter 26 - Lamaran Tersirat

Chapter 26 - Lamaran Tersirat

Selamat membaca

Enjoy with song Nabila Maharani__Berhenti Berharap.

{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{{

W&M Boutique And Photo Studio

Ruangan yang di peruntukan fitting baju itu ada 3 orang, dengan masing-masing kegiatan berbeda. Satu di antara ketiganya berdiri agak jauhan, dengan buku kecil di tangannya, melihat dengan batin iri ingin bisa sedekat itu, saat Bos pemilik butik berdiri berhadapan dengan sang tamu VIP yang adalagh seorang pria tampan, pengusaha muda yang sukses berkarir belum lagi dia juga lulusan universitas luar negeri ternama.

"Ah! Nona Queene beruntung sekali," batinnya iri melihat dua orang di depannya yang saat ini sedang berdiri, tanpa ada jarak di antara keduanya.

Sedangkan Gavriel,yang saat ini berdiri berhadapan dengan wanita yang dicintainya, memanfaatkan dengan sepuas-puasnya si indra penglihatan untuk merekam segala kegiatan, juga ekspresi yang dikeluarkan. Belum lagi aroma, yang mampir di hidung mancungnya saat Queene berada di dekatnya dengan jarak nyaris menempel di hadapannya.

Gavriel pov on

Kedatanganku, yang aku kira akan berakhir dengan kegagalan bisa bertemu denganya tidak benar-benar terajdi. Saat aku mendapat dukungan berupa ibu dari Queene, yang memanggil langsung anaknya untuk menemaniku.

Aku tersenyum senang saat onty menelpon dan dengan cepat memerintahkan, agar dia segera datang menemuiku.

Jujur saja, aku yakin sebenarnya jika dia pasti mengeluarkan seribu cara, untuk dia bisa menghindariku. Tapi, lihat sekarang, saat dia berdiri di hadapanku dengan Onty yang tersenyum saat melihat anaknya berdiri di berhadapanku.

Onty juga mendorongnya, hingga dia hampir saja jatuh dengan aku yang segera menangkapnya.

Terima kasih untuk onty, karena sepertinya beliau sangat menginginkan aku dan anak kesayangannya bersama.

Kemudian dia juga mulai melakukan pekerjaannya dengan professional, padahal awalnya dia seperti enggan untuk mengikuti apa keinginanku. Tapi, aku tahu jika dia bukan orang yang akan melepas tanggung jawab, apalagi aku yakin pegawai tadi menyampaikan ancamanku yang seenaknya saja bilang akan berhenti berlangganan.

Jangan ambil hati dengan apa yang aku ucapkan, itu hanya cara agar aku bisa memancingnya keluar dari zona amannya. Karena nyatanya, aku bahkan tidak yakin ingin pindah tempat untuk membuat jas-jas yang aku pakai setelah ini.

Biasanya aku hanya akan membuat pakaianku di desainer kepercayaanku, laki-laki tentu saja, karena aku tidak ingin tubuh berhargaku di sentuh sembarangan oleh tangan asing, terlebih itu untuk seekor wanita"

(Seekor? Dia kata nyamuk)

Aku hanya diam saat dia memerintahkanku untuk aku mengangkat kedua tanganku, dengan dia yang segera melingkari seutas tali alat pengukur tubuh di area perutku.

Oh … Bahkan jika dia ingin melihat perutku sekarang juga aku tidak keberatan.

Aku menggelengkan kepalaku, saat pikiran ngawur mulai meretas otak dan pikiranku ketika merasakan sengatan-sengatan kecil, melalui sentuhan jari tangannya di lengan berbalut kemeja yang aku pakai.

Sialan, ini akibatnya jika aku kebanyakan gaul dengan Alex dan pelajaran dewasa ngawurnya.

Ok, ini kali keduanya aku bisa bebas menghirup dan melihatnya dalam kedekatan nyaris tanpa jarak dengannya, sehingga aku pun mulai melantur dengan pikiran yang iya-iya. Jangan bully aku, karena aku yakin tidak akan ada laki-laki yang tidak begini, saat dia berada dekat dengan wanita yang dicintainya.

Hormon laki-laki yang sungguh sialan, datang disaat yang tidak tepat.

Saat ini dia sedang berdiri di belakangku, hendak mengukur pundak dan juga lingkar dadaku, membuatku membatin kesal tanpa di komando.

Kenapa harus dari belakang? Iya kan.

Sebuah lengan putih terulur dari belakang tubuhku, tentu saja lengannya dengan meteran baju menempel di dada kekarku. Aku juga bisa mendengarnya bergumam, saat ukuran yang sudah diukurnya berulang tidak

sama,sehingga ia ragu saat seorang pegawai yang mencatat ukuran jasku bertanya.

Tidak lama dia akhirnya pindah di hadapanku, kemudian meminta maaf sebelum maju dan mengulurkan tangannya untuk kembali melingkari bagian dadaku dengan meteran.

"Maaf."

"Hn."

Kembali aku bisa melihatnya jelas, karena saat ini dia sedang fokus dengan angka di tali dengan wajah menunduk.

Nah kan, jika sepert in-

Deg! Deg! Deg!

Tungu, itu bunyi detak jantung siapa? milikku kah atau justru miliknya, yang tiba-tiba mendongakkan wajahnya, sehingga akhirnya kami pun saling tatap, karena memang sejak awal aku sudah melihatnya dengan menundukkan sedikit kepalaku.

Deg!

Detakan itu kembali, saat mata kami terkunci oleh satu tatapan saling menyelami. Aku yang menatapnya dengan rindu, sedangkan dia menatapku dengan pantulan mataku di kedua netranya.

Aku tahu dengan jelas, jika selalu ada aku, baik di hati maupun kedua bola cantikmu, Queeneiraku.

Selagi mata kami saling menyelami keindahan masing-masing, aku memberi kode dengan jari tanganku, kepada seorang pegawai yang merona melihat kami yang sama-sama diam saling menatap. Hingga akirnya, hanya ada kami berdua di ruangan tertutup khusus pelanggan fiting baju mereka.

Tanganku yang tadi memberi kode kepada si pegawai, kini mulai bergerak perlahan untuk aku letakan di pinggangnya dan menariknya lembut, sampai dia pun menempel meski ada jarak saat kedua tangannya masih memegang tali meteran.

"Gavriel," bisiknya, kemudian mencoba mendorongku kuat, hingga akhirnya terlepas, sengaja saat aku memang tidak ingin membuatnya semakin murka dengan perbuatanku yang lebih berani seperti tadi.

Dia juga menolehkan kepalanya ke belakang kemudian kembali melihatku dengan mata melotot kaget, saat tidak ada siapa-siapa di sekitar kami.

"Siska, kemana siska?" tanyanya dengan panik, kemudian dengan cepat mundur menjauhiku, membuatku terkekeh geli namun dalam hati.

Jangan sampai dia melihatku terkekeh atau dia akan semakin kesal denganku.

"Gavriel kamu gila ya, apa kamu tidak paham juga. Kalau aku tidak ing-

"Tidak ingin bertemu denganku? Tapi sayang sekali, kamu tidak bisa melarang keinginanku, Queene."

Dengan ekspresi kesalnya yang sungguh lucu menurut kedua netra penglihatanku, dia meninggalkan aku sendiri dan keluar dari ruangan dengan kaki menghentak, kelakuannya dari dulu yang tidak pernah berubah jika sedang

kesal atau marah dengan sesuatu.

"Astaga, lucu sekali."

Aku kembali memakai jas yang aku pakai, kemudian mengikuti jejaknya keluar dari ruangan ini dan aku bisa melihat dia yang duduk dengan onty Elisa, yang sepertinya bertanya tentang aku dan rancangan untukku.

"Ah! Gavriel, kemari , kita bicarakan tentang jasnya."

Aku hanya mengangguk dan berjalan mendekati tempat keduanya duduk, dengan dia yang berpura-pura melihat ke arah buku di atas meja, namun sekilas aku bisa melihat rona merah tersisa di pipinya sesaat sebelum dia menundukkan wajahnya.

Bukankah itu sangat manis?

Duduk di hadapan keduanya, onty Elisa menyuruhku untuk duduk di samping dia, sedangkan onty berkata akan pindah duduk di kursi yang aku tempati saat ini.

"Gav, pindah sini deh, biar jelas waktu Que bikin polanya."

"Mah! Kenapa harus pindah sih."

Menolehkan segera wajahku ke arah suara protesan, aku bisa melihat onty mengayunkan tangan santai, sambil membalas kalimat yang sungguh membuatku ingin terkekeh, apalagi dia tidak bisa membalasnya.

"Kamu dulu juga nempel mulu, kenapa sekarang protes sih." Setelah mengucapkan itu, onty pun berdiri dari duduknya dan berganti tempat duduk denganku, sehingga kini aku yang duduk di sebelahnya, sengaja menempelkan lenganku dengan lengannya, yang segera bergeser namun aku kembali menggeser lenganku.

"Ck, apasih, geser," bisiknya saat onty sedang melihat handphone, kemudian melihat ke arah kami kembali.

"Tadi ngomong apa, Que?"

"Eh! Tidak. Tidak ada apa-apa, Mah."

Ingin rasanya aku tertawa, saat aku mendengar kalimat tergagap ketika onty bertanya dengannya.

Ya ampun, aku ingin tertawa terbahak-bahak, saat aku tahu cara membuatnya tetap kalem jika aku sedang duduk di sampingnya seperti ini.

"Oh iya, Gavriel."

"Iya, onty?" sahutku saat beliau bertanya dengan nada penasaran yang kentara, membuatku menebak-nebak apa yang ditanyakan oleh beliau.

"Kemarin, onty lihat Queene membawa sepatu dari kamu pulang, apa itu kamu beli sengaja untuk Que pakai di acara pesta penyambutan nanti?"

"Itu-

"Mah! Kok nanya gitu?"

"Loh! Dari pada penasaran, ya mending bertanya kan."

"Tapi Mah-

"Maaf onty, sebenarnya, aku belum memberitahu Queene, jika akan ada pesta penyambutan umtukku lusa nanti, karena aku sendiri baru mengetahuinya saat datang dan lupa saat banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan."

Kedua wanita beda usia itu melihatku dengan ekspresi berbeda, Queene yang melihatku masih dengan kesal, sedangkan onty yang melihatku dengan kepala mengangguk mengerti.

"Sepertinya kamu sibuk sekali, Gavriel. Apa saat ini pun sebenarnya kamu sedang sibuk?"

Aku hanya bisa mengangguk dan memasang senyum tipis, saat onty memasang ekspresi maklum tidak seperti wanita di sampingku, yang menyembunyikan rasa kesalnya dengan ekspresi biasa saja dengan berpura-pura menggambar pola di buku polanya.

"Seperti itulah, onty. Aku hanya punya waktu hingga jam makan siang nanti, sebelum kembali ke akivitas kantor lagi," jawabku menjelaskan dengan nada tenang, dengan onty yang kembali mengangguk mengerti.

"Onty mengerti, bahkan Daddymu juga dulu seperti itu. Sampai-sampai kamu selalu bermain dengan Mommy, dibandingkan dengan Daddy sangking sibuknya."

Benar juga, aku mengingat saat dulu aku masih bocil dan sering dipanggil oleh Daddyku kid. Saat itu aku kesal dengan kesibukan Daddy, membuatku merasa bersalah saat dulu sempat mengeluh karena keabsenan Deddy

menemaniku bermain.

"Seperti itu, onty. Tiba-tiba aku merasa sedih, takut melakukan hal yang sama, jika suatu hari nanti aku memiliki anak. Iya kan, Queene?" tanyaku sambil mengalihkan wajahku untuk melihatnya.

Uhukk!

Aku terkekeh tertahan, saat aku mendengarnya tersedak dengan onty Elisa yang segera memerintahkan pegawai mengambilkan air minum.

"Ya ampun sayang, kenapa bisa batuk gitu sih. Ini di minum dulu," ucap onty, sambil mengulurkan sebotol air kemasan yang sudah terbuka, sedangkan aku mengambil kesempatan ini dengan mengusap punggungya pelan, yang kali ini tidak bisa di hindarinya saat dia sibuk meredakan batuknya.

Ha-ha-ha … Jika aku tidak menggigit pipi bagian dalamku, aku yakin jika tawaku sudah meledak saat ini juga.

Queeneira, kenapa kamu bisa selucu ini. Aku baru bertanya, belum sungguhan melamarmu.

Akhirnyanya batuk pun selesai, dengan dia yang perlahan menyingkirkan tanganku dari punggungnya.

"Jangan ambil kesempatan," bisiknya saat onty sedang berbicara dengan pegawai yang tadi membawakan Queene air mineral.

"Aku? Tidak tuh, aku hanya membantumu," jawabku dengan nada cuek, menuai dengkusan kesalnya dengan wajah melengos.

Senang sekali kamu melengos sayang.

"Ck."

"Sudah tidak sakit lagi, sayang?" tanya onty dengan dia yang mengangguk kemudian tersenyum menenangkan.

"Iya Mah. Tidak sakit lagi kok," jawabnya, sedangkan aku hanya diam menyaksikan kedua wanita ini saling membalas rasa khawatir mereka masing-masing.

"Lagian, kamu ditanya kok malah seperti kaget itu. Padahal, Gavriel kan meminta pendapatmu, iya kan Gav?" lanjut onty, kali ini aku ikut dalam obrolan keduanya saat onty bertanya denganku.

"Hum, benar onty. Bercermin dari pengalaman Daddy, tapi Gav sih yakin, suatu hari nanti saat kami punya anak, aku tidak akan melakukan itu," tandasku, menyebut kata kami dengan ambigu membuat onty membalasku dengan

tanggapan pujian dan rasa kepercayaannya.

"Ah! Sangat beruntung wanita yang nantinya dapat kamu sebagai suami dan Daddy, Gav. Karena onty yakin, jika itu kamu pasti bisa dan mungkin saja terjadi."

"Terima kasih , onty," sahutku dengan senyum kecil, sedangkan Queeneira … Entahlah, karena saat ini dia hanya menunduk, dengan tangan sibuk mencoret kertas pola. Tapi, jika saja aku tidak melihat genggaman erat di batang pensil itu, aku yakin aku tidak akan pernah tahu, jika sebenarnya dia sedang menyimpan rasa kesalnya.

Jangan khawatir, karena kamu adalah wanita yang aku maksud, Queeneku.

Gavriel pov end

Bersambung.