Chereads / Ayah Tiri Suamiku / Chapter 3 - Kehangatan di Pagi Hari

Chapter 3 - Kehangatan di Pagi Hari

Ini nasib sial, sekali lagi Tuhan menempatkan pada takdir paling buruk. Setelah semua yang menimpa diri, merasa telah dientas dari sengsara. Namun, hanya berpindah pada perundungan lain. Azriel Wijaya, si manis dengan perangai buruk. Aktor yang layak mendapat penghargaan terbaik, enam bulan penuh mampu menyihir melalui karakter palsu.

Aku terkecoh, tertipu oleh setiap senyum teduh yang ramah. Kesabaran dalam menenangkan, diikuti sikap lembut penuh perhatian. Semua itu hanya muslihat, ia bahkan tidak lebih baik dari Dyo.

Bapak mertua muda pemilik janji manis dengan kenyataan pahit, target yang hendak kubuat menyesal. Akan tetapi, justru aku dikejutkan oleh anak tirinya. Bagaimana bisa tertipu oleh pesona Azriel yang kunilai tanpa kebohongan?

Aku tak boleh terusik, tetap fokus pada tujuan. Sebab, kedatanganku ke rumah ini memang untuk membalas dendam. Jadi, lebih baik tetap bersikap tenang meski berada di bawah tekanan kenyataan yang tidak diinginkan.

Jangan sampai gagal sebelum melakukan aksi balas dendam, apalagi target di depan mata. Di mana laki-laki tak tahu diri itu? Dyo sepertinya memiliki kehidupan nyaman yang tak tersentuh setelah menikahi wanita tua.

Rupanya pria itu sedang bermesraan di ruang keluarga, menjijikkan. Duo pemalas yang hanya bisa menyalurkan hasrat, tidak ingat usia. Apa keriput dan kekendoran menjadi tak kasat mata karena pesona uang yang dimiliki?

Wanita macam apa yang menikahi laki-laki seumuran putra kandungnya? Tak ada otak! Amarah dalam diri ini kian terpancing saat menyaksikan sikap tidak tahu malu yang begitu menjijikkan.

Azriel berdeham, dia terlihat sudah menelanjangiku melalui ekor mata tajam penuh selidik. Bersandar pada dinding di sebelah kanan pintu, raut muka masih lesu. Rupanya dia sedang berada di bawah pengaruh minuman keras.

Aura ketampanan yang dimiliki sedikit meredup, pengaruh alkohol masih menyisakan tanda-tanda kuat. Semalaman menghilang, baru membuat keributan ketika subuh. Apa masih kesal padaku atas semua kenyataan yang mendasari pernikahan kami?

Aku meniup napas, kesal pada sikap liarnya. Dia sama saja dengan Dyo, hanya mengedepankan aksi ranjang. Tidak peduli seperti apa hubungan kami, tetap terselimuti oleh nafsu ketika telah menginginkan kehangatan.

Kondisi hilang akal sehat membuat suami sialan itu memperlakukanku seenak hati, masuk ke dalam selimut tanpa permisi. Melakukan aksi gerilya hingga membangkitkan keinginan untuk terus dibuai kenikmatan, cukup bajingan cara yang dilakukan padaku. Tidak selaras dengan tampang manis yang ditunjukkan, kelakuan yang sangat menjijikkan.

"Kemarilah, suamimu butuh kehangatan. Kelakuan busuk mereka membangkitkan monster dalam diri, aku menginginkan belaian serupa." Dia berucap cukup keras, mengarahkan telunjuk padaku.

Pria itu bahkan mengembangkan senyum menakjubkan, kenapa dia selalu terlihat tampan dalam kondisi berantakan seperti ini? Bahkan, dalam kekesalan yang kumiliki, terselip kagum yang begitu nyata. Azriel sudah berhasil menghipnotisku.

Lebih sial lagi, dua orang di lantai bawah mengangkat wajah secara kompak. Memerhatikan kami yang terjeda oleh jarak, bisa curiga jika aku mengabaikan panggilan Azriel. Pria ini memang selalu memiliki cara unik untuk menjebakku pada situasi yang tak bisa melarikan diri.

Lebih baik melacurkan diri pada suami sendiri dibanding ketahuan sedang mengintip pasangan menjijikkan di bawah sana sedang memadu kasih. Tak ada pilihan, aku langsung mendekat. Menunjukkan sikap romantis yang secara alamiah dimiliki oleh pasangan yang baru saja menikah.

Azriel merentangkan tangan, masih melebarkan senyuman. Piyama pasangan yang kami kenakan tentu memformat penilaian serasi, seolah suami-istri saling mengasihi. Kemesraan yang bisa membuat siapa pun yang memandang menjadi iri.

Pengantin baru yang sedang menikmati masa-masa penuh gairah, kenyataannya? Tidak demikian. Kami sedang bersandiwara, memainkan peran guna meyakinkan pasangan lain yang ada di rumah ini.

Seminggu sebelumnya, aku memang sedang dalam kondisi tidak mungkin disentuh. Tamu bulanan yang cukup peka datang sebagai penyelamat, tetapi semalam ... ah! Azriel berhasil mendapatkan jatahnya meski sudah kurencanakan tidak pernah tersentuh oleh anak dari wanita yang sudah menghancurkan duniaku.

Dia memperlakukan diri ini seperti budak. Tanpa isyarat, menyerang di kala lelap. Semua terjadi begitu saja. Lalu, ia tertidur pulas tanpa melepas tubuhku.

Kisah malam pertama yang tak berkesan, hambar. Pria ini benar-benar memperlakukan aku sesuai ucapannya, boneka hidup. Bahkan, sangat menjijikkan setiap kali teringat oleh pikiran.

Azriel menarik tubuh ke dalam pelukan, mengunci sambil memberikan sebuah kecupan singkat di bibir. Menangkup kedua pipi, tapi detik selanjutnya tatap liar menjadi sorot serius. Aku menangkapnya, sebuah keinginan yang sangat tidak terbendung.

"Apa kita melakukannya?" tanya Azriel dengan nada pelan, memindai wajahku cukup serius.

Sepertinya dia sedang mencari sesuatu, pria itu tersenyum senang. Mengarahkan wajah lebih dekat, satu sentuhan lembut hinggap di leher. Kemudian, belas mesra nan basah terasa sebagai pemicu ingin yang menggebu.

"Tanda yang manis, seharusnya kubuat lebih banyak. Apa ada di tempat lain?" Pertanyaan nakal yang begitu berani, bahkan untuk seorang lelaki yang seharusnya enggan menyentuh setelah tahu tujuan utamaku datang ke sisinya. Apa dia tak ada otak?

Segera kupukul tangan yang menarik piyama untuk mengintip sesuatu di baliknya, ia terkekeh. Sungguh keterlaluan, mendadak sosok tenang ini menjelma begitu tidak tahu malu. Jika hanya ingin memanfaatkanku, tak perlu juga meminta servis gratis.

Melakukannya tanpa cinta ... apa dia memang menganut gaya hidup bebas? Mencicipi siapa pun tanpa sebuah rasa, sedikit mengerikan jika dugaanku benar. Lelaki ini jauh lebih mengerikan dibanding Dyo.

"Apa Anabelmu tidak memuaskan, menyerang orang saat tidur merupakan sikap menjijikkan." Aku mengucapkan apa yang seharusnya dilontarkan sejak awal, pria itu hanya tertawa halus.

Sepertinya dia memang enggan melepas tubuh, terlihat dari sikapnya yang masih melingkarkan tangan di pinggang. Risi sebenarnya, tetapi akan menjadi tanda tanya besar jika dua orang yang memperhatikan ulah kami menyadari penolakan dariku. Sebab, permainan baru saja dimulai meski harus menahan perasaan muak atas sikap suamiku ini.

"Entahlah, Nona. Sejak bertemu denganmu, Anabel tampak tak menggairahkan." Pengakuannya kian memuakkan, mendadak mual melanda dengan ucapan pria ini.

Azriel masih bisa berujar santai, tak ada beban sama sekali. Seharusnya dua orang di bawah sana berhenti menonton, aku sudah muak berpura-pura nyaman begini. Sebab, situasi ini bukan bagian dari rencana.

Azriel kembali meletakkan pucuk hidung di pipi kiri, menyusuri wajah dengan ujung lancip miliknya. Sesekali memberikan kecupan, apa yang sedang dia lakukan? Pria ini sungguh pintar mengambil kesempatan dalam kesempitan.

"Hentikan sikap kurang ajarmu," bisikku dengan suara tegas, ia berhenti.

Baguslah, setidaknya menjadi patuh sudah sangat cukup. Aku berterima kasih pada sikap jinak yang ia perlihatkan. Paling tidak, tak harus mendapatkan serangan yang sama sekali tak kuinginkan.

"Aku penasaran alasan ayah tiri bodoh itu memilih wanita kaya di bawah sana, padahal kekasihnya sangat manis dan menggairahkan. Liar dan ...." Pria yang menikahiku menggantung kalimat saat aku melotot tajam, sangat tidak suka pada pembahasan kali ini.

Sial! Azriel justru memperlihatkan tampang memukau, diterpa cahaya mentari pagi yang menyusup pada celah tirai tipis jendela kamar. Kenapa harus memperlihatkan sebuah aura manis di depan mata?

Aku berdegup kencang, perasaan macam apa ini? Ada muak tak terbendung, tetapi sangat menyukai momen sekarang. Benar-benar situasi hati yang susah diterjemahkan oleh pikiran normal.

Dikunci oleh pria berstatus suami, diperlakukan mesra tanpa basa-basi, dan tersihir sekali lagi untuk menunggu sentuhan darinya. Bukan ini yang kumau, kenapa harus terjebak dalam situasi panas yang gerah? Padahal pagi masih menguasai bumi.

"Silakan tunaikan dendammu pada laki-laki itu, tapi jangan lupa kewajiban sebagai istri Azriel Wijaya. Kamu milikku, hanya aku yang berhak atas Olin Amreta." Penegasannya begitu tajam, menunjukkan kuasa penuh atas diri ini.

Dia melepas tubuh setelah kembali memberikan lumatan kecil di bibir, tak sesadis sebelumnya. Sepertinya keliaran dalam diri pria itu menguap, terkikis dingin di sekitar. Bahkan, sekarang menjadi sangat lembut.

Hanya saja, kenapa dia masih menyerang di tempat yang sama? Bahkan, enggan sungkan meski tahu ada dua pasang mata yang memerhatikan. Tampak jelas jika lelaki ini sedang menunjukkan sesuatu, apa Azriel sedang pamer kehebatan dalam memberi sebuah kepuasan?

***