Perlahan luka di hati membaik, lupa pada kejadian yang membuatku menjadi begitu membencinya. Hanya dalam beberapa menit sudah sukses membuat ingatan manis masa lalu berhamburan, enggan mengabadikan rasa muak dalam jiwa. Bahkan, menerima setiap perlakuan yang benar-benar sanggup menuntaskan dahaga akan sebuah belaian.
Ada perasaan lega, lupa pada dendam yang terencana matang. Sebab, perasaan yang terasa masih sama. Nyatanya memang susah melupakan cinta pertama yang begitu membekas dalam jejak kehidupan.
Terbius sekali lagi oleh pesona ayah mertua, dia tetap laki-laki yang berkuasa atas sadar dan tidurku. Dyo benar-benar menggeser kebencian yang memuncak, apa cintaku padanya begitu besar sampai lupa akan semua hal? Mengenai perlakuan yang begitu kejam sampai melenyapkan nyawa buah hati yang sangat kuininkan, tetapi tidak dengan kemauan lelaki yang justru melarikan diri bersama wanita lain yang sangat tua.
Semua ingatan tentangnya terhapus begitu saja, hanya rekam jejak bahagia yang tersisa. Kelakuan busuk menguap begitu saja, sama sekali tidak meninggalkan keinginan paling jahat dalam diri. Sebab, perasaanku benar-benar tak mampu berbohong.
"Jangan melakukan apa pun bersama suamimu, aku tak suka kalian menjadi sangat dekat." Dyo mengatakannya dengan begitu mesra setelah melepas lelah yang kami lalui bersama, "kamu mau menjaga perasaanku bukan?"
Licik sekali, kenapa aku harus mendengarkannya? Apa dia pikir masih bisa mengendalikan diri yang terlihat sangat murahan? Benar-benar di luar kemauan, kenapa harus menjadi terlena pada mantan super busuk yang sama sekali tidak layak dipertahankan?
"Aku hanya tak bisa menolakmu, kamu menyerang kelemahanku." Aku menanggapi dengan sinis, "jangan berharap hubungan kita bisa seperti dulu, ini kesalahan."
Dengan jelas kukatakan mengenai apa yang telah terjadi, mengambil pakaian yang berserakan di lantai. Benar-benar sebuah khilaf yang tidak layak dilakukan, setelah ini harus membersihkan diri sampai tuntas. Sebab, jejaknya di tubuh hanya akan membuat janin yang ia habisi semakin menyedihkan karena kelakuanku.
Lelaki itu selalu dipenuhi percaya diri, seolah memang aku melakukan hal ini sebagai bentuk keterikatan yang sulit dilepaskan. Bodoh sekali, kenapa aku harus menjadi manusia sampah yang masih mau menerima perlakuan binatang kejam seperti Dyo? Bahkan, pria yang jelas-jelas membunuh janin tak berdosa masih sanggup berkuasa atas hati.
Dia berkata tak suka jika melihat Azriel menyentuhku, cemburu. Memang sebuah pengakuan manis yang sangat romantis, seolah dirinya begitu kuat menjaga perasaan di hati. Akan tetapi, bagaimana dengan pernikahan yang dilakukan bersama ibu suamiku?
Jadi, aku masih di hatinya? Sedikit konyol memang, bahkan terbilang menggelikan jika harus didengarkan. Sebab, dia telah merenggut nyawa janin yang merupakan hasil hubungan kami selama ini tanpa bersalah beberapa bulan lalu. Namun, sekarang menegaskan mengenai sebuah pengakuan.
"Olin, kita sudah saling kenal. Kamu tahu aku dengan baik, sangat mengerti mengenai isi hati seorang Dyo. Jadi, terima kasih sudah mau menyusul ke rumah ini. Dengan begitu, kita masih bisa saling melepas rindu saat ingin." Kalimatnya begitu ringan, sama sekali tanpa beban.
Namun, di telingaku seolah serangan panah beracun, mematikan asa yang sudah begitu terluka. Aku mulai mengutuk diri sendiri, merasa jijik pada pikiran serta hati yang sangat munafik ini. Kenapa harus takluk pada serangan seorang lelaki busuk macam Dyo? Memalukan sekali, bagaimana kalau Azriel sampai mengetahui mengenai kelakuan kami di rumahnya?
Bahkan, saat ini pun aku sadar sesadar-sadarnya mengenai status Dyo yang sudah tidak melajang lagi. Namun, kenapa masih mau diperlakukan dengan cara rendahan? Apa otakku sudah sangat rusak sampai mau ditiduri oleh sampah macam di?
Tersihir begitu saja hanya kaena dirinya mantan kekasih, lalu menemukan kelamahan dalam diri. Padahal sudah jelas jika ibu mertuaku telah mengikat Dyo, membuat pria itu meninggalkanku dengan sangat kejam. Hanya saja, rayuan yang manis kembali diperdengarkan sehingga keraguan dalam diri mencuat ke permukaan.
"Perempuan itu berkuasa penuh atas raga Dyo, sedang jiwa sejati masih menjadi milik Olin." Begitulah ucapannya saat aku memutuskan beranjak dari kamar terkutuk, kenapa mau saja saat diseret oleh pria kejam itu saat ia hanya menginginkan tubuhku?
Suatu kenyataan yang hebat, ibu mertua dungu itu pasti akan menyesal. Sebab, ucapan Dyo terdengar begitu serius. Apa dia mulai menyadari peran terbaikku dalam kehidupannya sekarang?
Hanya saja, ibu mertua selalu merasa dicintai oleh laki-laki yang masih menyimpan perasaan pada wanita lain. Menyedihkan bukan? Seharusnya aku merekam pengakuan tadi, lalu menyerahkan pada ibu dari lelaki yang menjadi suamiku saat ini.
'Kenapa aku tak melanjutkan adegan gila ini? Membiarkan Dyo menyentuh tubuh dan membuat dia merasa nyaman kembali, lalu menunggu waktu terbaik untuk memberinya pelajaran?' Ide-ide busuk pun mulai bermunculan dalam kembali, tertata rapi sebagai sebuah rencana yang sangat cemerlang.
Sepertinya akan sangat menarik jika mengaplikasikan setiap pemikiran jahat di balik tempurung kepala, bukan hanya memfokuskan diri pada satu tujuan semata. Dengan kembali pada Dyo, bukankah aku bisa melampiaskan kesal pada ketiganya? Bahkan, pembalasan terbaik bagi Azriel Wijaya yang sudah begitu sadis memungutku di jalanan.
Aku memutuskan untuk kembali merajut kasih dengan ayah tiri suami, merenda senyum bersama tanpa perlu takut terpisah. Seperti yang Dyo katakan, dia masih menikmati tubuhku seperti biasa. Dengan begitu, rumah tangganya akan berantakan.
Kami sudah tinggal satu atap, hanya mengatur waktu guna mewujudkan setiap keributan sesuai keinginan. Membuat jadwal temu tanpa disadari semua orang, bukankah itu ide paling bagus? Tentu saja, harus dengan perencanaan matang sesuai perhitungan akurat.
Bahkan, ibu dan akan pemilik rumah ini pun akan mengalami pembalasan telak. Mereka akan hancur bersamaan sehingga tak bisa lagi menyakiti hatiku. Sepertinya bukan ide buruk untuk segera kulakukan.
"Kamu sedang merasa kasmaran?" Suara ini berada sangat dekat di telinga, Azriel yang entah kapan datang sudah berjongkok di samping kiri.
Pria itu turut memandang pantulan masing-masing diri di cermin, ada sirat lelah. Namun, tersembunyi oleh satu keseriusan ekspresi. Sejak kapan dia di sana?
Dia mengeluarkan sesuatu dari saku sebelum berdiri di belakangku, membungkuk sambil mengalungkan kedua tangan dari arah belakang. Kepalanya sudah berjajar di sebelah kanan dengan dagu ditempelkan pada bahu, selalu begini. Sama sekali tak ada rasa sungkan meskipun telah mengaku hanya ingin memanfaatkanku.
Satu ciuman di pipi kembali dilancarkan, kenapa dia sangat gemar mencium? Sementara kedua tangan sibuk memainkan layar gawai, memaksa netra turut memperhatikan. Dia sedang apa?
Folder bertuliskan CCTV disentuh, ada tulisan huruf dan angka sebelum muncul sebuah adegan. Tentu saja mulut terbuka lebar, ada wajahku di sana. Apa yang dilakukan laki-laki gila ini sekarang?
Di sana jelas aku tampak sedang merapikan baju, diikuti Dyo yang menarik resleting celana. Di cermin, kulihat wajah Azriel membeku. Sangat jelas kalau ekspresi tersebut bukan hal yang mudah diterjemahkan.
Apa ini akhir segalanya? Kenapa harus sekarang? Bahkan, sebelum aku memulai apa pun!
***