Kurasa hanya akan ada kejutan dari Azriel, nyatanya Tuhan tidak sedang ingin membuatku tenang. Bahkan, menciptakan sensasi aneh lainnya. Rasa kaget berlipat ganda harus kurasakan sekarang sembari mengerjap-ngerjap tak percaya.
Sebab, sosok mantan paling menjijikkan sudah berdiri di depan mata. Apa yang ingin dia lakukan sekarang? Kenapa harus muncul di hadapanku?
Lebih baik kuabaikan, buat apa juga meladeni pria yang sangat tidak tahu diri ini. Akan lebih baik bagiku menghindar, bukan mengenang masa lalu. Sebab, kami tak perlu berwisata ke tempo silam hanya karena bertemu kembali.
Dia hanya kenangan paling buruk, kedatanganku memang menghantuinya. Membuat Dyo tidak tenang, tentu melihatku setiap hari akan mengganggu lelaki munafik ini. Namun, untuk apa ia menghalangi jalan.
"Minggirlah, jangan mendekat padaku saat ada istrimu di rumah ini." Aku sengaja menekankan kalimat, mengingatkan dia pada sosok yang begitu diinginkan.
Hanya saja, saat hendak melewati, justru lelaki itu mencekal pergelangan tangan. Dengan cepat menyeretku, sama sekali tidak memberi kesempatan untuk menghindar. Bahkan, cukup kuat memegang sehingga terasa sakit.
"Katakan, apa tujuanmu menikahi Azriel?" Dyo menginterogasi setelah menyeretku ke kamar tamu, dia masih sama seperti dulu. Kasar dan tidak tahu mau!
Tak ada siapa pun di rumah, mungkin itulah alasan dia berani menghampiri. Istri tercintanya sedang menghadiri rapat direksi, pergi bersama sang anak. Sepertinya Azriel pun tak perlu takut pada dua sosok baru yang baru menjadi bagian dari keluarganya, lelaki itu tidak jauh berbeda dengan Dyo yang memiliki kelicikan paripurna.
Lihat saja dia sekarang, begitu arogan hanya karena menjadi suami dari wanita yang lebih layak menjadi ibunya. Dyo baru memiliki kesempatan untuk mendekat, peluang bagus yang dimanfaatkan menghakimiku. Tentu rasa penasaran menguasai pria yang benar-benar terlihat begitu kejam di mataku.
Namun, hanya ini yang bisa dia katakan. Menyudutkan seolah aku datang sebagai pengacau, tidak ingatkah pada setiap luka tertinggal? Bahkan, merasa berhak bahagia di atas penderitaan orang lain.
Dasar lelaki, hanya manis di bibir saja! Lupa akan banyak kejadian busuk yang ia lakukan, membunuh buah hati sendiri hanya demi sebuah ambisi. Bahkan, sama sekali tak menunjukkan rasa bersalah sedikit pun.
Tidak seperti Azriel, setidaknya dia mampu bertanggung jawab penuh atas apa yang dilakukan. Masih mau menempatkanku di sisinya meskipun tanpa cinta, hanya pemanfaatan karena tahu tujuan utama datang ke rumah ini. Sebab, dendam kuat mendominasi atas kelakuan buruk seorang Dyo.
"Apa perlu ditanyakan lagi?" balasku sengit, membalas tajam amarah yang ditunjukkan. "Tentu saja, menghancurkan kehidupanmu."
Dyo tertawa cukup keras, menyentuh dagu yang segera kutepis kasar. Najis sekali jika mengingat setiap kelakuan busuknya, hanya bisa menyesap keinginan. Namun, enggan menunjukkan tanggung jawab hingga akhir.
Pria yang selama ini menjadi dunia serta tumpuan harapan, mendadak menjelma Iblis paling mengerikan. Hanya demi kehidupan layak, ia tanggalkan keagungan cinta. Bahkan, meniadakan buah dari perasaan yang tulus kuberikan selama bertahun-tahun.
"Apa kamu yakin?" Dyo mendekat sekali lagi, meraih jemari dengan remasan lembut. "Ini aku, Dyo. Laki-laki yang sangat kamu cintai, bahkan sampai ke rumah ini pun diikuti. Terima kasih, masih memberikan ketulusan hingga detik ini."
Aku terpaku, dia memelukku. Anehnya, kenapa diam saja? Bukankah rasa muak yang kumiliki benar-benar tersembahkan khusus untuk pria yang sudah sangat kejam membuat sebuah kenangan busuk di kehidupan?
Hanya saja, tubuh tak bisa berbohong, dan masih merindukannya. Terbukti aku membeku, sama sekali tidak memberikan penolakan. Mendadak menjadi begitu munafik, menjadi manusia paling tak tahu malu.
Laki-laki tercinta kembali, memberikan dekap hangat yang sudah lama diangankan. Sentuhan yang sudah biasa kuterima datang lagi, menyusuri setiap inci tubuh. Sekalipun mulut dan pikiran menolak keras, tetapi diri ini terpasung oleh kenikmatan yang tidak bisa diterjemahkan.
Jadi, aku masih mengharapkannya? Sekuat apa pun mulut dan pikiran mengumpat, tetapi hati serta tubuh masih memaafkan. Kemunafikan yang begitu sempurna.
Aku diam saja, membiarkan Dyo menjelajahi wajah. Bahkan, memberikan respons dengan napas memburu. Sama sekali tidak jijik atas perlakuan yang diberikan.
Tanpa penolakan, justru memberikan balasan. Di mana otak warasku? Apa keinginan liar dalam diri menelantarkan harga diri?
'Sadarlah, Olin. Dia hanya pria yang tidak memiliki otak, hentikan kegilaan ini.' Aku berusaha keras menyadarkan diri, mencoba lepas dari gerayangan lelaki yang sudah menghancurkan kehidupan yang kumiliki.
Namun, sekuat apa pun mencoba, tetap saja aku menikmati. Kalah oleh sentuhan yang ia berikan, Dyo memang ahli dalam menjinakkan diri ini. Sebab, dia merupakan lelaki terhebat selama ini.
Kami benar-benar melepas rindu, aku sama sekali tak merasa jijik. Bahkan, lupa tentang semua luka yang sudah ia torehkan dengan sengaja. Ada apa dengan diri ini sampai mau saja diperlakukan begitu rendah setelah dikhianati?
Letupan kecil di balik dada memberikan tanda bahaya, seolah hati mencoba menyadarkan dengan cara terbaik. Hanya saja, aku sudah terbuai. Enggan kehilangan rasa nyaman yang kini sudah menerbitkan ingin untuk terus mendapatkan hal menyenangkan sebagai fantasi liar yang menggoda.
Kesadaran mengingatkan jika pria ini hanya pengkhianat, tetapi aku enggan kembali pada titik ingin yang sebenarnya. Malah menikmati setiap sentuhan dan perlakuan hingga lupa jika dia hanya ayah tiri suamiku. Sosok masa lalu yang tidak seharusnya kuberi peluang menyentuh diri.
"Kau masih sama, sangat menggairahkan." Inilah kalimat andalan yang sanggup membuat semangatku meningkat, benar-benar lupa akan makna sebuah harga diri. Bahkan, tidak ingat lagi pada tujuan utama datang ke rumah ini. Sebab, Dyo sudah berhasil menggiring pada momen paling kusuka, dimanja dengan sentuhan yang begitu luar biasa.
Tak ada yang bisa kulakukan selain menerima setiap perlakuan, membiarkannya menjelajah seluruh tubuh. Ini nyaman, terbilang enak karena benar-benar menggiring pada puncak kenikmatan terbaik. Akhirnya aku menemukan sensasi yang sudah lama menghilang, sebuah keinginan paling tidak layak bagi seorang mantan yang sedang mencoba balas dendam.
Aku melenguh, menerima setiap hal yang terasa begitu nikmat. Sudah tidak peduli lagi sekarang, yang terpenting menemukan sensasi luar biasa dalam mencapai kepuasan. Jika sudah berada dalam letupan peluh yang dihasilkan oleh aktivitas melelahkan, siapa pun tak ingat terhadap hal lain.
"Sayang, aku merindukanmu." Kembali terdengar omong kosong dari mulutnya, aku sudah enggan peduli karena butuh titik terbaik dari aksi gila ini.
Lebih baik cepat menuntaskan permainan, bisa ketahuan kalau masih terlena. Ini rumah Azriel, ibunya pun bisa muncul seketika, dan kami akan tampak memalukan jika sampai tertangkap basah. Jadi, aku harus fokus pada penyelesaian di tahap akhir agar benar-benar segera terbebas dari siksaan batin yang cukup gila siang ini.
***