Perlahan, aku membuka mata dan menutupinya dengan tangan karena merasa silau. Setelah beberapa saat memulihkan kesadaran, aku mendapati bahwa kini tubuhku sedang terbaring di dalam sebuah ruangan serba putih. Tangan kiriku juga sedang terinfus cairan yang bening dan berwarna merah muda.
Aku berusaha menggeliat. Sekujur tubuhku terasa kaku dan sangat nyeri ketika digerakkan.
"Aw..." keluhku pelan.
Seorang laki-laki di sebelah kanan nampak terkejut dari posisi duduk yang sebelumnya bersandar karena kelelahan menungguku siuman. Kursi lipat besi yang ia duduki sampai berdecit pelan dibuatnya. Kuperhatikan wajahnya lekat-lekat. Pandanganku yang semula kabur perlahan-lahan semakin jelas dan mengamatinya dengan heran. Sepertinya aku tidak asing dengan wajah laki-laki yang tampan itu.
"Eh... Udah bangun, Dek?"
"Iya," gumamku yang bahkan nyaris berbisik karena suaraku sangat serak. Kupegang kepala yang terasa sakit dan kemudian mengaduh pelan.
"Duh..."
"Kepalanya pusing?" dia bertanya cepat.
Aku mengangguk lemah.
"Oh. Bentar. Eh, jangan banyak gerak ya!" dia beranjak dari duduknya, lantas kembali dengan membawakan segelas air untuk diminumkan kepadaku. "Nih, minum dulu," ujarnya kemudian.
Aku meminum air itu beberapa teguk dengan bantuannya. Tenggorokanku yang tadinya kering kehausan kini telah basah oleh air yang menyegarkan. Aku pun menghela napas lega. Dia mengembalikan gelas itu lagi ke tempatnya yang semula.
"Eum... Makasih ya, Kak." Suaraku memecah kesunyian di antara kami.
Seseorang yang kupanggil Kakak itu tersenyum mengangguk. Ah, benar, aku belum tahu siapa namanya, tapi ini bukan saat yang tepat untuk saling berkenalan. Dengan cekatan, ia mengambil minyak kayu putih dari dalam tas untuk mengoleskannya ke kedua sisi pelipisku.
"Biar nggak pusing, coba dikasih minyak kayu putih aja." Dia tersenyum lagi. Membuat jantungku berdegup kencang dan hampir saja salah tingkah.
Aku semakin terkesima melihatnya karena teringat sesuatu. Kurasa, dia adalah senior cowok yang tadi pagi tersenyum kepadaku di lapangan ketika aku terlambat dan mendapatkan hukuman. Dan, kini aku berhadapan sedemikian dekat dengannya.
Dia tampan sekali, pikirku. Ya Tuhan. Jantungku lama-lama bisa meledak kalau terus melihat senyum manis yang menghiasi wajah tampannya sedekat ini.
Tiba-tiba, ia ingin tertawa namun seperti menahannya. "Kenapa mukanya tiba-tiba merah gitu?"
Aku gelagapan. "Enggak. Mungkin karena di sini hawanya panas, udah gitu malah mukaku dikasih minyak kayu putih sekarang."
"Ha ha ha." Melihatnya tertawa, kini aku bersikap canggung dan mengalihkan pandangan ke arah lain. "Di bawah hidung mau dikasih minyak juga?"
"Iya, boleh."
Ia mengoleskan sedikit lagi minyak kayu putih di bawah hidungku hingga napasku lebih lega setelah menghirup aroma kayu putih itu. Pusing di kepalaku mulai berangsur hilang karenanya.
"Udah enakan pusingnya?" dia bertanya setelah membiarkanku beberapa menit.
Aku mengangguk pelan, berusaha duduk. Ia dengan sigap membantu. "Ya, udah nggak sepusing yang tadi, sih."
"Oke."
"Maaf ya, Kak, udah merepotkan?" aku memberanikan diri menatap matanya yang bening itu. Tapi hanya sedetik, karena aku buru-buru menunduk saat beradu pandang dengannya. Seperti ada yang berdetak kencang di dalam dadaku.
Ia duduk kembali dan mendekatkan kursinya ke kasur pasien, terus menatapku sambil tersenyum. Tatapannya yang tajam namun lembut seakan menusuk jauh ke dalam hatiku. Sial, debaran apa yang kurasakan ini? Jangan-jangan memang aku saja yang kege-eran sendiri. Atau, mungkinkah ini... yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama?
"Nggak merepotkan kok," katanya, "memang sudah tugasku di sini dari divisi kesehatan osis. Kalau ada yang sakit waktu mengikuti kegiatan ospek, aku dan ketiga temanku yang akan menangani. Biasanya bakal kita bawa ke UKS. Cuma, sekarang aku doang yang di sini, itupun karena darurat harus dilarikan ke rumah sakit. Temanku yang lain tetap stand by di sekolah."
"Oh..." Aku manggut-manggut saja setelah mendengar penjelasannya.
"Ngomong-ngomong, Hani inget sama aku nggak? He he he." dia bertanya. Wow, dia baru saja menyebut namaku. Bagaimana bisa ia tahu? Pasti tadi sempat membaca kalung yang ada di leherku. Kalung pemberian Ayah saat aku masih kecil di hari ulang tahun yang kesembilan, memperlihatkan ukiran nama Hani dengan bentuk yang sangat cantik.
Aku mengangguk. "Yang tadi senyum ke aku, kan?"
Senyumnya merekah lebar hingga memperlihatkan giginya yang rapi. Ia menjawab, lantas menjulurkan tangannya untuk memperkenalkan diri.
"Aku Devan. Kelas 3 Fisika 2."
Kusambut uluran tangannya dengan malu-malu. "Iya."
Lagi-lagi, ia tersenyum. "Aku mau telepon si Reza bentar, ya. Mau ngabarin kalo kamu udah sadar."
Aku hanya menjawabnya dengan anggukan kepala.
Selesai ia menelepon, aku menanyainya basa-basi agar suasana tidak canggung, "Sekarang aku lagi di mana, sih? Nggak sampe opname beberapa hari kan?"
"Enggak kok. Sekarang kita lagi di UGD. Kata dokter, hari ini kamu bisa pulang dan rawat jalan."
Aku terkekeh mendengarnya.
"Yee... Masuk UGD kok malah ketawa, sih," ujarnya kebingungan setelah melihat responku barusan.
"Bukan, bukan. Ini ceritanya gimana kok tiba-tiba aku udah di UGD? Kenapa nggak di UKS aja?"
"Tadi kamu pingsan di lapangan, tapi hidung dan tubuh kamu ngeluarin banyak darah. Kita semua langsung panik dan khawatir kamu kenapa-kenapa, akhirnya kita bawa kamu ke rumah sakit pake mobil darurat sekolah. Aku yang gendong kamu ke mobil dan nungguin di sini sampe kamu sadar," ujarnya panjang lebar.
Mendengar kalimat terakhirnya, aku menunduk dan tersipu malu.
"Oh... Makasih banyak ya, Kak. Maaf aku jadi ngerepotin."
Ia tersenyum. "Gapapa. Oh ya, sebelum ini, kamu habis sakit apa kalo boleh tau? Tadi suster-susternya sempet bawa kamu bentar ke ruang bedah, karena ada yang harus dijahit ulang katanya."
"Yah... Aku baru aja selesai operasi seminggu yang lalu," jawabku sembari tersenyum lemah, "dua tahun terakhir aku kena penyakit Pneumonia kronis, jadinya harus dioperasi buat sedotin cairan yang ada di dalam paru-paru."
"Ooh, pantesan tadi pingsannya sampe kayak gitu. Panik banget, lho, aku."
Srak!
Kami terkejut dan menoleh bersamaan ke sumber suara. Rupanya, seseorang yang cepat kukenali sebagai Kak Rezalah yang tiba-tiba muncul dan menyibak tirai penutup yang mengitari kasurku, napasnya tersengal-sengal seakan gumpalan kekhawatiran memenuhi dadanya hingga sesak.
"Waaah, si biangkerok akhirnya dateng, nih." sambut Kak Devan sembari berdecak kepadanya, membuat ia melirik Kak Devan sekilas. "Hani tahu nggak? Tadi mukanya langsung pucat sewaktu kamu pingsan, nyesel udah ga percaya sama kamu. Ha ha ha," tambah Kak Devan.
"Ha ha ha," aku ikut tertawa.
Kak Reza menangkupkan kedua tangannya di depan dada untuk meminta maaf kepadaku. "Deeek, maafin saya, ya. Tadi saya keterlaluan. Harusnya saya dengerin dulu penjelasan kamu, ngga seenaknya ngehukum lari gitu aja. Jadinya kamu pingsan dan makin sakit kayak gini."
"Iya, gapapa..."
"Duh, saya ngerasa nggak enak banget sama kamu, Dek. Beneran."
"Gapapa, Kak Reza. He he he."
"Ya udah, sebagai permintaan maaf dari saya, nanti saya urus semua administrasi dan biayanya, ya?"
"Iya, boleh. Makasih banyak ya, Kak."
Kak Reza menghela napas lega. "Kalau gitu saya pamit, mau langsung balik ke sekolah. Acaranya masih belum kelar. Maaf ya, saya cuma bisa nengok sebentar."
"Iya," aku menjawab.
Ia menepuk bahu Kak Devan. "Bro, aku cabut duluan."
"Yoiii," Kak Devan melambaikan tangan singkat hingga Kak Reza benar-benar pergi.
"Ngomong-ngomong, sekarang jam berapa, Kak?" tanyaku.
Setelah melirik jam tangannya sedetik, ia berkata, "Jam setengah 12. Kamu laper? Mau makan siang?"
Aku menggelengkan kepala, "Nggak... Nanti aja."
"Oke."
"Kapan kira-kira aku dibolehin pulang?"
"Mungkin nanti malam."
"Lamanya," aku menghela napas dan berpikir panjang karena takut membuat Ibu khawatir di rumah. Juga memikirkan nasib pekerjaan mengajarku–yang baru dimulai sejak dua hari lalu–dan rutinitas mengaji sore nanti.
"Kenapa?"
"Gapapa, pengennya pulang siang aja, banyak yang harus aku kerjakan setelah pulang sekolah nanti."
"Hmm... Ya udah sekarang kamu banyakin tidur aja, biar dibolehin dokter pulang siang ini."
"Iya. Tapi, Kak Devan bakal di sini terus?"
"Iya tenang aja, aku bakal tungguin kamu sampe dibolehin pulang sama dokter."
"Eh, bukannya gitu. Ngerepotin banget, Kak, pulang aja gapapa. Nanti aku bisa pulang sendiri kok."
"Ssstt. Udah, santai aja. Cepet istirahat, gih. Aku tinggal beli es teh dulu ya di depan."
Aku menghela napas panjang. "Iya."
"Dah, met istirahat." pamitnya sembari tersenyum. Aku balas tersenyum juga.