Aku terbangun pukul 2 siang ketika dokter jaga UGD menghampiriku. Setelah mengecek kondisiku dengan stetoskopnya, aku bertanya dengan tidak sabaran. "Dok, saya boleh pulang kan setelah ini?"
"Apa sudah merasa enakan? Kalau sudah, ya boleh-boleh saja." Aku mengangguk dengan bersemangat agar nampak meyakinkan, "Sudah kok, Dok!" Dokter itu tersenyum, dan mungkin berpikir heran betapa pasiennya yang satu ini sangat bersemangat untuk sembuh. "Kalau begitu, kamu sudah boleh pulang sekarang. Semoga lekas sehat, ya."
"Terima kasih, Dok."
"Ya. Saya permisi dulu," katanya.
Aku tersenyum lebar. Dokter itu berlalu pergi. Kak Devan menertawakanku, "Seneng banget dibolehin pulang sekarang?" dia bertanya. Aku hanya tersenyum dan mengangguk canggung. Kak Devan akhirnya mengantarku pulang dengan membonceng di atas motornya.
Aku berterima kasih dan langsung masuk ke dalam rumah setelah kami akhirnya sampai. Mendapati Ibu sedang melipat jemuran yang telah kering di ruang tamu, aku mendudukkan diri dan mencium tangannya. "Assalamu'alaikum, Bu."
"Wa'alaikumussalam... Cepat makan, Ibu sudah masakin sup ayam kesukaanmu," suara emas Ibu menyambut salamku. Ibu masih tidak tahu menahu tentang kejadian pagi ini karena seragam putihku yang meninggalkan bekas darah tertutup kardigan yang tadi sudah kukenakan kembali sebelum keluar dari UGD.
"Iya."
Aku segera mengganti seragam putih abu-abu baruku yang kini sedikit lusuh dan menaruhnya di tempat cucian baju. Aku merendamnya di dalam bak air yang sudah kuberi detergen. Sekujur tubuh bagian atasku masih nyeri, tapi aku masih bisa bergerak dengan leluasa meski perlahan-lahan. Aku membasuh muka, tangan, dan kaki lalu segera menikmati masakan enak Ibu yang selalu menggairahkan selera makanku. Ibu yang masih tak berubah posisi pun menemaniku yang sedang makan dengan lahapnya.
"Gimana, Nduk, ospeknya?"
Aku terdiam sejenak untuk menelan makanan. "Mm... Nggak sempat ikutan ospek, sih, Bu. Tadi waktu datang telat, aku dihukum sama kakak osis yang mengira aku pura-pura sakit. Dia suruh aku lari muterin lapangan tiga kali. Ha ha ha, mana mungkin aku kuat?" jawabku, lalu mengambil jeda untuk menelan sesuap nasi lagi dan mengambil napas. "Jadinya, sewaktu aku baru selesai satu putaran, aku pingsan deh. Hidungku mimisan, terus jahitan operasiku ada yang sobek."
"Ya Allah... Terus gimana?" tanya Ibu, penasaran dengan kelanjutannya.
"Aku langsung dilarikan ke UGD. Ada kakak kelas yang nemenin di sana sampai nganterin pulang ke rumah."
"Oh... Ya sudah kalau gitu, Nduk. Sekarang gimana kondisinya?"
"Alhamdulillah sudah baikan, Bu. Tapi masih lemes dikit sih, he he he..."
"Kalau gitu kamu nggak usah ngajar les dulu,"
"Mm... Gitu, ya?"
"Iya, istirahat aja. Nanti biar Ibu yang telepon Bu Mirna."
"Oke, deh."
***
Empat hari ospek yang menegangkan itu berlalu cepat dan tak terasa kini telah berakhir. Saatnya memilih dan memberi penghargaan untuk kakak-kakak kelas dan peserta ospek dengan prestasi dan ciri khasnya masing-masing. Kakak paling jahat adalah Kak Reza dan Kak Alika, sedangkan yang paling baik adalah Kak Devan dan Kak Santi. Yah, tentu saja Kak Devan terpilih menjadi yang terbaik karena tugasnya selalu menolong dan bersikap ramah kepada semua orang.
Uniknya, aku terpilih sebagai peserta ospek paling manja karena sering tidak mengikuti kegiatan-kegiatan ospek yang keras itu. Aku sering mengeluh tidak kuat dikarenakan penyakit paru-paruku yang memang tidak bisa dipaksa melakukan aktivitas berat. Aku pun dipanggil ke depan bergabung dengan barisan teman-teman seangkatan yang juga terpilih mendapat medali penghargaan. Ada sekitar 20 orang yang berjajar bersamaku.
Suara tepuk tangan bergemuruh saat kami tampil dan menerima sebutan-sebutan aneh: peserta paling centil, peserta paling rajin, peserta paling nurut, peserta paling manja, peserta paling lemot, peserta paling nakal, dan lain-lain. Meski begitu tak mengapa, karena menurutku sebutan ini hanya untuk seru-seruan mencairkan suasana tegang selama ospek kemarin agar berubah menjadi tawa yang menyenangkan. Apalagi ketika tiba saatnya kami berjabat tangan saling memaafkan dengan kakak-kakak panitia, serasa terhapus semua dosa-dosa mereka yang pura-pura jahat saat ospek itu.
Selain menjadi peserta paling manja selama ospek berlangsung, aku juga menjadi gadis yang dingin dan pendiam. Meski begitu, banyak yang justru menyatakan perasaan sukanya kepadaku. Aneh sekali. Sejak pertama aku mengikuti ospek di SMA ini, banyak kakak kelas yang berusaha mendekatiku dengan sikap manisnya. Ada yang menawariku makanan-minuman, menemaniku ngobrol saat jam istirahat, meminjamkan buku-buku pelajaran untuk kubawa sambil menyelipkan surat cinta di dalamnya, atau berebut ingin mengantarkanku pulang ke rumah karena ingin merebut perhatianku kepadanya. Bahkan, Kak Reza yang terkenal kejam dan paling sadis bila menghukum saat ospek itu bisa luluh tak berdaya saat menemuiku dan main ke rumah.
Saat itu, sepulang dari ospek di hari terakhir, tidak kusangka bahwa Kak Reza membuntutiku pulang dari belakang secara diam-diam. Aku baru menyadarinya ketika sedang berbalik badan untuk mengunci pagar rumah. Deg! Tentu saja aku terkejut dan ketakutan saat mendapati kakak yang paling kejam saat ospek itu tiba-tiba muncul di depan pagar. Kudapati dia membuntutiku dari belakang dengan menaiki sepeda motor Honda Mega Pro miliknya yang kini sudah terparkir rapi di bawah pohon mangga depan rumah.
"Assalamu'alaikum," sapanya kikuk. Aku masih melongo menikmati kekagetanku sampai berdebar-debar karena takut dengan kakak yang killer itu.
"Wa'alaikumussalam," jawabku lirih. "Mm, Kak Reza mau cari siapa, ya?"
"Cari kamu."
"Eh... Saya?" aku bertanya kebingungan sembari mengarahkan jari telunjuk ke diri sendiri. Mataku juga melebar dan mengerjap-ngerjap.
"Iya, kamu."
"Hah... Saya salah apa? Maaf, Kak..."
"Enggak, enggak. Kamu nggak salah apa-apa!" Dia terkekeh di tengah suasana yang mulai canggung. "Acaranya 'kan sudah game over. Aku ke sini karena pengen ketemu kamu aja. Boleh, 'kan?"
Aku tertegun beberapa saat. "Oh... Boleh, boleh, Kak. Mari masuk, Kak."
Kubukakan pagar yang belum sempat terkunci dan mempersilakannya masuk sembari berharap dalam hati agar kali ini tak ada saudara yang lain di dalam rumah. Aku khawatir nantinya mereka salah paham dan berpikir bahwa Kak Reza adalah pacarku.
"Silakan duduk, Kak. Saya mau taruh tas dulu, bentar ya," ucapku.
Ia balas mengangguk sambil tersenyum tipis. Setelah menaruh tas di dalam kamar, aku mengintai seisi rumah dan sepertinya terlihat aman tak ada siapa pun. Mungkin mereka pulang terlambat. Hanya ada Ibu yang sedang tiduran di kamarnya. Aku juga tidak berani membangunkan karena tidak tega melihat raut kelelahan di wajahnya yang teduh. Akhirnya, aku segera mencuci muka dan kaki lalu menemui Kak Reza di ruang tamu.
Setelah duduk dan hanya bergeming hingga dua menit lebih, aku hanya bisa cengar-cengir karena masih bingung dengan kedatangannya kemari. "Mm... Jadi, ada perlu apa ya, Kak?"
"Perlu sama kamu," jawabnya dengan santai.
"Eh... Iya, maksudnya saya diperlukan dalam hal apa? Apa ada tugas ospek yang belum saya kerjakan?"
"Kan sudah aku bilang, urusan ospek sudah berakhir. Jadi, kamu nggak usah menghubung-hubungkan kedatanganku dengan kegiatan ospek lagi. Please, itu cuma sandiwara aja. Aku nggak se-killer itu, kok. Aku ke sini karena pengen deket sama kamu..."
Lagi-lagi aku hanya melongo, tidak menyangka ia rela jauh-jauh kemari hanya karena alasan itu. Aku pikir ada alasan darurat atau penting yang membuatnya harus kemari menyusulku sampai rumah.
"Oke..." jawabku canggung dan berusaha menghargai kedatangannya.
"Um, Hani," panggilnya.
"Iya?"
"Boleh nggak... kalau aku jadi pacarmu?" tanya Kak Reza.
"HAH?" Mulutku menganga lebih lebar lagi dari yang sebelumnya. Seakan baru saja disambar petir, aku terkaget-kaget karena ditembak di siang bolong seperti ini. "Aku? Kakak suka sama aku?"
"Iya. Aku suka sama kamu. Boleh nggak aku jadi pacarmu?" ia bertanya untuk yang kedua kalinya. Aku masih tertegun tidak percaya. Seorang Reza yang terkenal killer itu menyatakan cintanya padaku tiba-tiba. Wow, mimpi apa aku semalam?
Masih membisu, aku sempat merasa sedih dan berbisik di dalam hati. Andai yang menyatakan itu adalah Devan, pikirku tanpa kusadari.
"Hei... Halooo? Kok malah diem ngelamun? Aku diterima, nggak?" Kak Reza melambai-lambai pelan di depan wajahku.
"Eh, apa? Oh, eh... Iya–"
"Bener?? Iya??"
"Eh, enggak! Mm-maksudnya... Iya aku ngelamun. Tapi aku tuh masih kaget, Kak. Aku bingung mau jawab apa. Tiba-tiba Kak Reza datang dan bilang suka sama aku. Sedangkan aku ini apa, Kak? Aku ini siapa, Kak?"
"No, no... Aku suka sama kamu apa adanya. Aku nggak ngelihat orang dari apapun itu tentang dia. Mungkin aku nggak tahu siapa kamu, dan nggak kenal banyak tentang kamu, tapi aku tahu kamu gadis yang baik. Aku suka kamu apa adanya." jelas Kak Reza. "Ya, mohon maaf kalau aku tiba-tiba ngomong gini, karena aku takut keduluan sama yang lain. Aku tahu persaingannya berat. Yang suka sama kamu banyak, nggak cuma aku. Ya, 'kan?"
Aku hanya meringis malu mendengarnya. Apa iya banyak yang suka sama aku? Perasaan cuma Devan, deh. Eh, tapi... Aku kok ge-er, sih? Emang Devan beneran suka sama aku? Tapi kalau iya juga nggak mungkin...
Bukannya langsung menjawab pertanyaan Kak Reza, aku justru sibuk dengan pikiranku sendiri.
"Maaf, Kak. Bukannya aku nolak pacaran sama Kakak, tapi aku bener-bener pengin fokus selama belajar di SMA. Aku pengin sukses, Kak, nggak mau terganggu sama yang namanya pacaran... Maaf, ya."
Begitulah. Aku jadi geli sendiri bila mengingat semua itu, tetapi aku tidak memanfaatkan daya tarikku dalam memikat banyak lelaki karena aku selalu bersikap dingin dan menolak semua cinta yang mendekat. Ya, pada akhirnya aku menolak Kak Reza siang itu. Ia pun berpamitan pulang ke rumah dengan tubuh yang nampak lesu.
Apa mau dikata? Alasan itu bukan hanya alasan biasa yang aku gunakan untuk menolak cinta yang datang. Aku memang benar-benar serius tidak mau terganggu dengan hal bernama pacaran agar fokus selama belajar di sekolah. Selain itu, setiap kali aku melihat laki-laki, aku jadi mengingat Ayah dan dendam itu selalu muncul kembali ke permukaan. Menghadirkan emosi dan kebencian yang sangat besar kepada sosok laki-laki.
Namun, tetap saja yang namanya perasaan tidak bisa dibohongi, yaitu ketika wajah manis Devan terbayang-bayang di sela lamunanku setiap hari. Entah itu saat di kelas ada jam kosong, jam istirahat, jam makan siang, atau di malam hari ketika menjelang waktu tidur. Ada getaran-getaran aneh yang menyerang perasaanku dan membuatku takluk ketika mengingatnya. Membuatku senyum-senyum sendiri. Ada yang berbeda ketika mengingat sosok laki-laki satu ini, seakan sosok Devan terasa spesial dan dipilih langsung oleh Tuhan untuk menyembuhkan luka lamaku.