Devan Mahardika, begitu nama lengkap yang ia perkenalkan kepadaku ketika kami bertemu lagi setelah masa ospek selesai. Entah hanya perasaanku atau bagaimana, kami mulai dekat dan sering bertemu sejak sama-sama terpilih mewakili sekolah untuk mengikuti lomba tarian modern. Kami berpasangan untuk mengikuti lomba itu.
Setelah beberapa hari berlalu sejak masa ospek berakhir, aku juga baru tahu kalau Devan adalah cowok populer nomer satu di SMAN 3 dan terkenal paling ganteng, pintar, dan punya body yang bagus serta senyum yang menawan. Aku curi-curi dengar dari kerumunan perempuan di dekatku saat mereka asyik bercerita mengenai Devan sambil makan di kantin.
Pantas saja dia menjadi idola semua gadis sampai berebut karena ingin bisa dekat dengannya. Kata mereka, Devan mirip sekali dengan mudanya Roy Martin. Duh, apalagi kalau ia sedang tersenyum. Menurutku justru lebih mirip dengan Nicholas Saputra.
Tak heran banyak gadis yang tergila-gila padanya, termasuk aku. Meski hanya tersimpan baik-baik di dalam hati. Ceilah. Begitu indah kurasakan ketika bisa berdua saja dengannya, menatap wajahnya, dan mendengar suaranya.
Misalnya...
"Kok senyum-senyum sendiri, Dek?" suara Devan mengagetkan dan membuatku tertunduk malu. Acara latihan menari sudah selesai dan aku leluasa menatapnya yang sedang minum sambil berjalan ke arahku. Sungguh makhluk Tuhan paling tampan yang pernah kulihat. Aku masih tersenyum malu-malu.
"Pulangnya bareng aku aja, ya? Kebetulan arah kita sama, daripada kamu kelamaan nunggu jemputan," ajaknya. Ia masih menatapku dan menunggu jawaban "Iya, mau." Padahal, tentu saja kalimat itu sudah kuteriakkan dengan lantang di dalam hati. Mulutku saja yang tidak bisa diajak berkompromi.
"Kok diam aja, sih? Mau, nggak, kuantar pulang?" tanyanya sekali lagi. Aku masih diam terpaku, mungkin salah tingkah sendiri karena akan diantar pulang oleh seorang pangeran tampan pujaan hati. Seperti mimpi saja, batinku.
"Kamu lucu, lho, kalo bengong kayak gitu. Ha ha ha." Devan tertawa melihat sikapku yang acuh dan tak memedulikan tawaran baiknya itu. "Ya udah, tunggu sebentar ya di sini. Aku mau pamitan dulu sama Andik," lanjutnya lagi. Aku mengangguk kaku.
"Mm... Makasih," hanya itu sahutanku.
Devan tersenyum tipis lalu melangkah menuju kerumunan penari lain yang masih mengobrol dengan Mas Andik, sang pelatih tari sekaligus teman baik Devan dari kelas 3 Sosial. Mereka nampak akrab sekali. Aku merasa beruntung berada di sekeliling kakak-kakak kelas dan terpilih dari sekian banyak anak baru di kelas 1 SMA. Aku tersenyum bangga karena bisa memiliki kesempatan untuk dekat dengan mereka terutama Devan, pria tampan yang berhasil mencuri hatiku.
Tapi, tiba-tiba aku berkecil hati. Siapa aku, sih...? Berani-beraninya gadis yang culun, miskin, broken home, pendek, dan berambut keriting ini jatuh cinta pada seorang idola di SMAN 3? Apalagi ketika melihat dia dikerumuni oleh gadis-gadis cantik di kejauhan sana, hingga melupakan aku yang lama menunggunya. Akhirnya aku berlalu tanpa pamit karena jemputanku—lebih tepatnya angkot langgananku—setiap pukul 4 sore seharusnya sudah tiba.
Selama di sekolah, aku memang pendiam sekali sejak masuk SMA. Tapi herannya, aku selalu terpilih setiap ada kegiatan ekstrakulikuler atau lomba-lomba di sekolah, seperti osis, menari, fashion show, pidato, renang, atau sekadar mengisi acara panggung sekolah karena kepiawaianku dalam berbicara di depan publik. Yah, pendiam tidak harus selalu jadi grogi di depan panggung, kan? Aku juga merasa seperti diberi kesempatan untuk bertemu Devan karena dia juga selalu ada bersamaku di sana. Menjadi tim yang berpasangan dua orang.
Di lain waktu, saat ada acara karnival di bulan Agustus, entah bagaimana aku juga terpilih menjadi maskot utama yang berjalan di barisan paling depan dan lagi-lagi berpasangan dengannya. Padahal, masih banyak gadis yang lebih tinggi dan lebih cantik dariku. Bagaimana bisa aku terpilih secara terus-menerus seperti itu?
Cewek-cewek lain, terutama para senior yang famous dan berparas cantik, sampai merasa iri kepadaku dan mempertanyakannya kepada Devan terang-terangan, "Kenapa selalu anak ini, sih, yang dipilih?! 'Kan dia pendek, kucel, keriting!" Dan dalam beberapa kesempatan, mereka sampai curi-curi waktu untuk merundungku akibat perasaan iri dan benci mereka yang meluap.
Begitulah awal kedekatanku dengan Devan. Di satu sisi, aku merasa nyaman dengan keberadaannya. Namun, entah mengapa tak ada keberanian untuk membalas sikap baik Devan apalagi perasaan cintanya yang aku pun tak tahu itu benar atau tidak. Hanya pernah kudengar desas-desus dari kakak kelas kalau Devan menaruh rasa kepadaku karena sering salah tingkah dan senyum-senyum sendiri bila sedang bersamaku atau sekadar berpapasan.
Kata mereka juga, dialah yang selalu mengajukan namaku untuk dipilih menjadi peserta lomba atau kegiatan yang nanti akan berpasangan dengannya. Ia juga sering menitipkan salam untukku melalui temannya. Kalau sudah begitu, aku hanya memasang wajah polos dan menjawab salam alakadarnya. Aku tidak tahu harus berekspresi seperti apa, tapi jauh di dalam hati, aku merasa sangat senang.
Walaupun aku mendengar gosip seperti itu, aku merasa bahwa perasaan ini hanyalah kekaguman semata dan bukan cinta. Karena, aku sendiri pun kini tidak percaya dengan cinta. Cinta itu bohong. Cinta itu bullshit. Cinta itu palsu. Di sisi yang lain, masih ada kebencian di dalam dadaku terhadap sesuatu yang bernama cinta. Sampai-sampai aku pun merasa benci dan muak setiap mendengar lagu atau film yang membawakan tema percintaan.
Akhirnya, karena itu aku dikenal sebagai cewek yang angkuh, sombong, pemalu, dan banyak lagi sebutan buruk lainnya yang sudah tersebar luas di kalangan cowok-cowok sekolah karena aku dianggap terlalu pendiam dan menarik diri dari pergaulan. Sikap dingin itu akhirnya juga membuatku tidak memiliki banyak teman. Paling tidak, hanya ada dua teman akrab yang mengisi hari-hariku di SMA: Hendrik dan Erna. Aku sudah lama kenal dan bersahabat dengan Hendrik sejak SMP, dan kebetulan sekali kami menjadi teman sekelas ketika masuk di SMAN 3. Karena ia sudah tahu hanya dialah teman yang kupunya di sekolah ini, ia pun langsung menjadi teman sebangkuku saat itu juga.
"Heh! Kok bisa sekelas, sih?" sapa Hendrik. Pagi itu, aku sedang duduk seorang diri di bangku yang salah satunya kosong tak berpenghuni. Ini adalah hari pertama masuk sekolah dan aku belum kenal dengan seorang teman pun di kelas dan juga tak berminat untuk mencari kenalan baru.
Aku yang sedang bengong seketika terkejut dan melempar senyum lebar. "Hei! Kamu masuk kelas ini juga?"
"Iya."
"Asyik!"
"Di sini kosong, nggak, nih?"
"Iyalah, kayak nggak tahu aja."
"Ha ha ha. Kasian. Ya udah, sama aku aja."
"Iya! Sini, sini."
"Lagi beruntung kamu, tuh. Coba kalau aku nggak masuk ke kelas ini. Pasti kamu nggak dapet temen sebangku." Hendrik meledekku sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.
Aku tertawa pelan. "Iya, iya. Alhamdulillah."
Sejak SMP, aku memang tidak punya teman dari kalangan perempuan. Mereka langsung menjauh dariku setelah tahu kehidupanku mulai berantakan. Mereka tidak mau lagi berteman denganku setelah tahu aku tak lagi menjadi orang kaya seperti dulu. Yang bertahan hanya teman-teman dari kalangan lelaki, itu pun tersisa beberapa saja. Bisa dihitung dengan jari, dan salah satunya adalah Hendrik.
Sedangkan Erna, kami juga sudah saling mengenal sejak SMP, namun baru menjadi lebih akrab sejak kelas 1 SMA. Dulu, kami sama-sama tinggal di perumahan yang mewah itu. Dia sangat baik, hanya dialah satu-satunya temanku dari kalangan perempuan yang tidak menjauhiku meski mendengar kabar bahwa rumah tangga orangtuaku telah retak dan kekayaanku telah habis. Kini kami bersekolah di SMA yang sama meski berbeda kelas. Hanya Hendrik yang sekelas denganku di tahun pertama.
Sejak aku sadar bahwa aku menyimpan rasa kagum kepada Devan, aku mulai menceritakan semuanya kepada Hendrik. Curhat sama sahabat cowok, tuh, memang terbaik.
Aku sangat menyayangi Hendrik sebagai seorang sahabat baik. Suatu hari, aku dan Hendrik sempat membuat perjanjian.
"Ndrik,"
"Hm?"
"Kita ini sahabat, kan?"
"Iya."
"Janji, ya, kita bakal terus bersahabat selamanya. Nggak ada yang boleh ninggalin satu sama lain."
"Iya, janji."
"Janji juga, nggak boleh ada cinta di antara kita. Aku nggak mau kehilangan sahabat terbaikku. Kamu nggak boleh jatuh cinta sama aku, aku pun nggak boleh jatuh cinta sama kamu."
"Iya, deh."
"Janjinya mana?? Ayo, bilang janji!"
"Iya, bawel... Janji!"
SMAN 3 sangat terkenal di kalangan remaja Malang sebagai sekolah yang memiliki murid-murid berparas menawan dan kaya raya. Jadinya, mendapati ada murid sepertiku yang berpenampilan ala kadarnya dengan rambut keriting, tubuh yang pendek, dan tangan yang memikul dagangan es lilin setiap pagi, banyak teman-teman seangkatan dan kakak kelas perempuan yang melontarkan hinaan dan penindasan kepadaku.
"Minggir, minggir! Ada bebek mau lewat!" sindir salah seorang yang kukenal, Laura, teman sekelasku di kelas 1-A.
Mereka juga selalu melemparkan tatapan yang memandangku dengan remeh. Ditambah, tak jarang cibiran dan ucapan-ucapan kedengkian terdengar dari mulut mereka karena aku selalu terpilih menjadi pasangan Devan di acara-acara sekolah. Salah satunya, "Sadar diri, dong! Siapa elo?" kata mereka berulang kali, ke manapun aku pergi.
Karena selalu mendapatkan hinaan seperti itu, aku mulai terpacu untuk merubah penampilanku menjadi lebih anggun dan meluruskan rambut yang keriting tak terawat itu. Rambutku memang tak bisa menjadi lurus dengan sempurna, namun lebih ke rambut yang lurus bergelombang. Aku juga mulai mengenakan bedak tipis-tipis dan pelembab bibir agar wajahku terlihat lebih segar. Memperbaiki cara berjalan bak model yang terkenal-tentu untuk meningkatkan performaku di atas panggung juga-dan berjalan dengan gaya perempuan. Ya, sebelumnya, aku memakai gaya berjalan yang tomboy setiap aku melangkahkan kaki. Di luar panggung lomba, tentunya.
Selain memperbaiki penampilan, aku juga bertekad kembali mengejar prestasi akademik di sekolah. Aku tidak mau diremehkan. Aku tidak bisa menerima orang-orang terus menghinaku sampai lulus dari SMA. Akan kuganti hinaan mereka dengan tatapan penuh takjub dan riuhnya tepuk tangan!
Benar saja, dengan tekad yang sungguh-sungguh, aku dapat memutarbalikkan nilai seorang Anjani Muthia Hanan di mata seisi sekolah. Aku menggaet peringkat 1 di kelas 1-A. Memenangkan lebih banyak kegiatan lomba. Dan, Hani yang dulunya culun dan menarik diri dari pergaulan, kini mulai berubah menjadi seseorang yang murah senyum dan bisa diajak bergaul dengan yang lain.
"OH MY GOD. GUYS, ITU HANI?!" Laura menjerit histeris ketika terkejut melihatku berubah menjadi seorang gadis yang lebih cantik dari sebelumnya. Yang wajahnya tak lagi kusam dan rambutnya tak lagi keriting berantakan.
Namaku akhirnya santer menjadi buah bibir seisi sekolah dan semakin dikagumi banyak orang. Lebih banyak cowoknya, sih. Tak hanya dari sekolahku sendiri, tapi sampai ke sekolah yang lain juga. Aku tidak tahu kenapa bisa begitu.
Cewek-cewek famous yang dulunya iri denganku kini semakin iri dengan kepiawaianku membawa diri. Terutama Laura. Dia semakin membenciku karena aku semakin menjadi pusat perhatian banyak laki-laki.
Laura adalah perempuan yang dianggap bos oleh banyak orang karena sikap dan kekayaannya. Ia akrab dipanggil "Mami" oleh teman-teman. Siapa pun harus tunduk kepada perintahnya. Siapa pun juga tidak boleh menandingi kecantikan, ketenaran, dan kekayaan seorang Laura. Itulah mengapa ia jadi membenciku dengan sebenar-benarnya kebencian. Dia merasa tersaingi olehku yang di matanya bukanlah siapa-siapa. Karena itu, dia sering menggangguku di sekolah.
Gangguannya terkadang sangat parah, tapi karena aku tidak tahu harus membalas bagaimana, aku hanya membiarkannya saja. Teman-teman sekelasku banyak yang menatap iba jika Laura sudah mulai menggangguku. Kadang juga kesal karena aku tidak pernah marah kepada Laura. Terlalu sabar katanya. Tapi, karena mereka tidak berani menentang Laura, mereka pun hanya diam dan tidak ada yang membelaku.
Bahkan, Erna yang menjadi sahabat baikku itu, di sekolah harus berpura-pura tak mengenalku karena takut nantinya diganggu juga oleh Laura.
"Er, kamu kenapa, sih? Kalau lagi ketemu di sekolah, kayak nggak mau kenal sama aku gitu. Niat jadi temen, nggak, sih?" suatu hari aku mengutarakan perasaan kesalku pada Erna ketika makan bakso bersama di malam hari. Ya, gimana nggak kesal? Dia cuma mau menjadi sahabatku hanya ketika kami berada di luar sekolah. Itu semua terasa aneh.
"Kalau emang nggak mau jadi temanku, ya udah sekalian aja ngejauhin selamanya, jangan bikin aku kecewa gini," tambahku.
"Haniii... Bukannya gitu. Aku tuh takut sama Laura... Kamu tahu, kan, dia sejahat apa... Aku nggak mau digangguin juga, maafin akuu ya... Aku suka kok berteman sama kamu, suka bangettt!" rengeknya sambil menggandeng lengan kananku erat-erat. Mukanya benar-benar memperlihatkan rasa bersalah yang amat besar. Akhirnya, aku memaafkan dan memaklumi sikap acuhnya ketika di sekolah itu.
"Ya udah, deh... Kirain kamu nggak sungguh-sungguh berteman sama aku."
"Enggak, dong, aku sungguh-sungguh jadi teman kamu. Jadi sahabat kamu. Malah, kamu itu sahabat terbaikku!"
Kami saling melempar senyum dan menghabiskan bakso itu sambil diselingi candaan ringan.
Suatu hari di pertengahan semester satu, aku akhirnya mengenalkan Hendrik kepada Erna agar kami menjadi satu tim persahabatan yang lebih utuh. Hendrik dan Erna selalu mendukungku apapun dan bagaimanapun perjalanan yang kulalui untuk menjadi lebih baik. Selalu ada di sampingku menemani lika-liku perubahan seorang Hani di tahun pertama sekolah SMA. Aku sangat menyayangi mereka.
Kami bertiga mulai memberi nama untuk geng kami yang hanya beranggotakan tiga orang dan tak terkenal itu: PENYOK.