*Chapter 3*
Seminggu rasanya satu tahun. Menjalani hukuman yang sama setiap hari membuat Iki semakin tidak betah berada di pesantren. Malam demi malam dia lewati dengan menangis, merindukan bunda dan ayah yang ada di rumah. Terkadang Iki berpikir jika kedua orangtuanya tidak sayang padanya.
Iki menyalahkan bunda karena sudah membuangnya ke pesantren. Iki juga benci pada ayah karena tak pernah mendukung semua penolakannya tentang pesantren ini.
Tiap malam setelah pulang mengaji, Iki selalu menyempatkan diri keluar kamar, mendatangi sebuah saung apung yang tak jauh dari aula. Posisinya berada di sebelah kanan bangunan. Di sana Iki biasa menyendiri dan menangis.
Hanya dengan itu dia bisa mengurangi semua penderitaan yang dirasakannya. Semenjak ponselnya disita, Iki benar-benar tidak tahu harus berbuat apa untuk mengusir kejenuhannya setiap hari.
Hari-harinya terasa berat di sekolah. Iki sama sekali tidak punya teman. Mereka menjauhi Iki karena dia sudah dicap sebagai anak pembawa masalah. Siapa pun yang berurusan dengannya akan apes.
Maka dari itu tak ada yang mau bermain dengannya.
Satu-satunya teman sekamarnya juga menjauhinya. Cikal sudah sangat muak dengan Iki. Setiap kali dia bersamanya, masalah selalu saja muncul, entah apa pun itu, dan dampak buruknya pun dirasakan oleh Cikal.
Di hari pertama hukuman, Iki disuruh untuk membersihkan pekarangan asrama senior. Awalnya, sih baik-baik saja, dia masih memungut semua sampah yang berserakan dengan tertib, memasukkannya ke tong sampah yang dia seret ke mana-mana. Namun semua berubah ketika salah satu temannya menawarkan diri untuk membantu.
Tentu itu tidak Iki sia-siakan. Nyaris sepuluh menit anak lelaki bernama Zamil itu membantunya membersihkan sampah. Sampai akhirnya, ketika Iki mengikuti Zamil dari belakang, tanpa sengaja anak itu menginjak ujung sendal Zamil dan membuatnya terhuyung ke depan.
Sendal itu putus, tubuh Zamil terjerembab, dan tong sampah yang dia bawa terguling menghamburkan semua sampah. Beberapa mengenai mukanya dan membuat baju koko putihnya kotor. Zamil pun mencapnya pembawa sial.
Di hari kedua dan ketiga, saat dia memberi makan ikan, ada seorang teman yang sedang membaca kitab kuning di saung yang sama dengan Iki. Saat itu Iki tertarik untuk belajar dan membaca semua huruf arab gundul dalam kitab. Namun si anak lelaki itu bilang jika Iki harus menyelesaikan dulu kerjaanya.
Dia tak mau tangan bekas pakan ikan yang bau itu mengotori kitab kuningnya. Sampai akhirnya adegan berebut kitab pun terjadi. Pada puncaknya kitab itu sobek dan tercebur ke kolam ikan.
Dari sanalah semua mulai memberi label jika Iki anak pembawa masalah. Sial.
Setelah seminggu masa hukuman berlalu, Iki akhirnya bisa bernapas dengan lega. Meski itu tidak membuatnya lebih baik menghadapi semua kenyataan yang ada. Setiap pagi dia harus bertarung dengan tatapan dingin dan sinis dari penghuni pondok. Siangnya, dia sama sekali tidak merasa bahagia karena tak ada seorang pun yang menyapanya di kelas, dan saat malam, dia harus membisu karena Cikal mengabaikannya.
Iki melempar pakan terakhirnya ke kolam, disambut oleh riak air saat ikan menyantap, berebut makanan. Sekali tarikan napas berat mengisi kekosongan dadanya. Terasa sesak, tapi tetap Iki lakukan. Tak lama, dia mulai mengembuskan napas dengan tenang. Setenang air yang tak lagi beriak setelah pakan itu habis. Menyisakan pantulan rembulan bulat sempurna di angkasa.
Malam ini dia ingin menyendiri. Di kamar rasanya membosankan ketika Cikal terus-terusan mengabaikannya. Iki jadi jengkel sendiri. Sebenarnya Cikal itu lelaki apa perempuan, sih? Pendendam!
Padahal, setelah kejadian ponsel kemarin, Iki sudah memaafkannya. Dia sama sekali tidak mengungkit masalah itu dan menganggap jika Cikal melakukan hal yang benar.
Merasa semua orang di pesantren itu memusuhinya, Iki mulai tidak nyaman. Ingin rasanya dia kembali ke rumah dan tidur di kasur empuk dan makan makanan buatan bunda.
"Iki pengin pulang, Bund. Iki pengin pulang, Yah." Iki menyandarkan punggungnya pada tiang saung, kemudian perlahan mulai turun, membiarkan pantatnya duduk di anyaman bambu.
"Iki enggak kuat di pesantren. Mereka jahat. Mereka enggak sayang sama Iki." Bocah itu membenamkan wajahnya di antara dua lutut, sambil terus sesenggukan menahan rasa sakit yang menjalar di dada.
Iki tak kuasa lagi menahan air mata.
Rasanya seminggu lebih dia menjadi anak paling cengeng di pesantren. Iki menyadarinya, kok. Dia banyak menangis dan mengeluh, tapi itu semua bukan tanpa alasan. Dia hanya pengin pulang dan tak mau lagi menjadi santri.
Sambil menangis, otaknya terus berputar mencari ide. Mengorek semua ingatan tentang cara melarikan diri sesuai dengan semua adegan yang pernah dia tonton di DVD.
Saat itulah dia mulai terbesit sesuatu di otaknya. Iki mendongak, kemudian tersenyum. Dia bangkit, menepuk pantatnya, lalu berlari sekencang kakinya bisa ke arah kamar. Iki kepikiran sesuatu!
Setelah sampai di aula, Iki mengendap-endap melewati lorong asrama senior. Takut kalau-kalau ada salah satu senior yang masih terjaga. Akan gawat jadinya jika dia ditemukan tengah malam keluyuran seperti ini.
Iki kemudian menaiki anak tangga, berlomba dengan napasnya yang kini berderu tak keruan. Sampai di depan pintu, Iki membukanya perlahan, takut jika Cikal terbangun dari tidurnya. Namun di luar dugaan, sebelum dia masuk dan membangunkan Cikal dengan napasnya yang naik-turun, sesosok bocah dengan pakaian koko lengkap sedang berdiri di depannya sambil menaruh tangan di depan dada. Menatapnya sinis.
"Dari mana aja kamu?" tanyanya datar.
"Kenapa? Ini bukan urusan kamu." Iki bersikap normal lagi karena orang yang dia khawatirkan terbangun dari tidur sudah berdiri di depannya. Setelah melepas sandal, Iki sudah terbiasa melepas dan memakai sendal di kamarnya sekarang, dia kemudian melangkah mendekati Cikal yang masih berdiri di depan ranjang.
"Kamu jangan bikin masalah terus, deh. Kamu tahu tadi ustaz ke sini? Dia nyariin kamu, dan yang kena getahnya siapa? AKU!" bentaknya membuat Iki tersentak, meringis, kemudian menatap Cikal sebal.
"Emangnya kamu peduli sama aku?" Iki mulai tak suka, dia mengganti panggilan dirinya menjadi "aku".
"Jangan egois, deh kamu. Coba dipikir pakai otak. Kalau kamu keluyuran malam-malam gini, siapa yang disalahkan? Aku. Aku sebagai teman sekamarmu!"
"Kenapa juga kamu kena marah?" Iki mengedikkan bahu pelan. Jarak mereka kurang dari lima puluh sentimeter. Iki sudah naik darah, kedua tangannya mengepal. Tatapan mulai remang, panas.
"Aku sebagai teman sekamar punya tugas dan hak mengingatkan kamu untuk enggak keluyuran malam-malam!"
"Seminggu ini ... k-kamu justru eng-nggak mau peduli sama sekali. Terus ka-karena ustaz datang ke sini, kamu jadi peduli? Ta-takut?" Iki nyaris kehabisan napas. Suaranya bergetar. Nafsu di dalam dirinya hampir menguasai tubuhnya. Sama sekali tidak terlatih menguasai emosi.
"Dasar Batu!" Cikal berbalik. Namun urung ketika Iki mencekal tangannya. Dia menarik paksa, membuat Cikal kembali berhadapan dengannya.
"Kalian semua emang jahat. Enggak pernah peduli, enggak pernah sayang sama aku. Aku cuma biang masalah buat kalian!" Iki meledak saat itu juga. Dia menangis sambil membentak Cikal. Meluapkan semua kemarahannya selama seminggu ini. Tubuhnya bergetar hebat, dibarengi dengan napas berat tersekat
"Aku berhenti jadi santri. Jangan urusi masalahku!" Iki mendorong Cikal keras, membuat lelaki itu mundur dan nyaris terjerembab jika tidak buru-buru menyeimbangkan tubuhnya.
Rasa sakit menjalar begitu saja di dalam diri Iki. Bercampur dengan air mata yang perlahan menetes. Dia membereskan semua barangnya, memasukkannya ke koper, kemudian keluar dengan membanting pintu. Tak peduli jika penghuni lain terganggu dan keluar kamar.
Dan rencana yang sudah tersusun di otaknya harus sirna. Taktik yang dia pikirkan sejak tadi untuk keluar secara diam-diam tampaknya tidak akan pernah terjadi karena saat ini Iki berlari sambil menangis sesenggukan.
**
Iki ditemukan tertidur di bawah gapura dengan koper di sampingnya. Salah satu senior membawanya ke ruangan ustaz untuk ditangani lebih lanjut. Badannya panas parah. Demam. Iki terus saja menyebut nama bunda selama senior itu menggendongnya ke rumah bata merah.
Entah bagaimana ceritanya sampai Iki berada di gapura dengan koper terbujur kaku di ujung kepalanya.
Cikal langsung bergegas ketika mendengar kabar jika Iki sakit. Dia meminta izin tidak mengikuti kelas untuk menjenguk Iki.
"Bagaimana kabar Iki, Ustaz?" tanyanya saat sampai di depan rumah bata merah. Iki sedang diurus oleh ustaza. Dia sudah lebih baik dari sebelumnya. Namun panas tubuhnya belum juga turun.
Napasnya naik-turun setelah berlari dari kelas ke rumah bata merah. Dia cemas dengan kondisi anak menyebalkan itu, yang menggelayuti tubuhnya saat ini adalah rasa bersalah. Cikal merasa buruk karena telah melakukan pertengkaran tadi malam dengan Iki.
Andai dia tak ikut meledak, Iki tidak akan nekad keluar kamar dan mengalami hal seperti ini. Sebenarnya semalam ketika Iki memutuskan untuk pergi, dia sempat ingin mencengahnya, bahkan setelah dua puluh menit Iki keluar, Cikal berniat untuk mengajak Iki kembali ke kamar.
Namun karena dia merasa kesal juga, akhirnya mengurungkan niat dan membiarkan Iki tidur di gapura semalaman.
"Iki enggak apa-apa. Dia kena demam. Apa yang terjadi, Kal?" Ustaz menggiring Cikal untuk masuk ke rumah, tapi dia menolak. Cikal bilang dia harus segera ke kelas lagi, karena pak Dahlan tidak akan memberinya waktu cukup lama.
"Di sini saja, Ustaz. Saya harus segera ke kelas juga." Cikal meggigit bibir bawah, cemas.
"Yasudah. Jadi, apa kalian bertengkar?"
"I-iya, Ustaz."
"Ehm?" Tak mengatakan apa pun, isyarat yang ustaz berikan dengan mengangkat alis mata cukup untuk membuat Cikal paham dan melanjutkan penjelasannya.
"Semalam, setelah Ustaz pergi dari kamar, Iki baru pulang entah dari mana. Saya bertanya padanya, tapi dia malah marah-marah dan mendorong saya sambil nangis." Cikal menunduk, tak menceritakan semuanya. Tak mungkin dia bilang jika Iki keluar dari pesantren, termasuk soal semua orang yang memusuhinya.
"Yasudah, setelah pulang sekolah, kamu jenguk Iki, ya? Ajak dia ngomong baik-baik dan minta maaf." Ustaz mengelus kepala Cikal dan mempersilakan anak itu kembali ke kelas karena pelajaran sudah dimulai sejak tadi.
Meski berat, Cikal tetap mengangguk dan kembali ke kelas.
**
Kejadian itu membuat Cikal merasa buruk pada Iki. Dia sama sekali tidak menyangka jika akhirnya akan seperti itu. Jika tahu, dia tidak perlu banyak bertanya. Pada awalnya pun dia sudah bersikap tidak peduli padanya.
Andai saja, saat itu dirinya memutuskan untuk menyusulnya dan sedikit membujuk Iki kembali ke kamar, tidak akan seperti ini kejadiannya. Namun nahas, semua yang dia andaikan tidak pernah terjadi.
"Iki enggak masuk, katanya dia sakit." Indra yang duduk di belakang Cikal menepuk pundaknya pelan sambil bertanya.
"Iya." Hanya itu yang bisa Cikal katakan.
"Kata senior, dia mau kabur, ya? Kalian berantem?" tanya Zamil, yang duduk di samping Indra. Mereka bertiga ada dalam satu kelompok bernama Tiga Matahari. Ke mana pun perginya, bocah itu akan selalu bersama.
Cikal selama ini selalu menceritakan hal-hal menyebalkan yang dilakukan Iki di kamarnya. Maka tidak heran jika mereka tahu sedikit-banyaknya masalah tentang Iki.
Sebelum menjawab, Cikal menarik napas cukup panjang, menghitung satu sampai lima dalam hati, kemudian mengembuskannya perlahan. Sesak di dada perlahan terkikis, menjadi lebih baik dari sebelumnya.
"Iya."
"Iya-iya terus!" Indra merasa sebal dengan jawabannya. Dia lantas mendorong kursi ke belakang, beranjak, kemudian berdiri di depan Cikal.
"Jenguk, yuk? Aku kasihan sama dia."
"Males, ah! Kena apes nanti." Zamil menggeleng. Dia trauma dengan kejadian seminggu yang lalu. Belajar dari kesalahan, Zamil memilih bermain aman dan tidak mau berurusan dengan Iki.
"Tapi dia temen sekamar sahabat kita, lho!" protes Indra sembari menatap lelaki berambut ikal di depannya.
"Enggak usah, Dra, aku aja deh yang ke sana. Lagian kalian enggak ada hubungannya sama masalah ini." Cikal berdiri, menepuk kepala Indra yang lebih pendek darinya, mengusap rambut plontosnya, kemudian tersenyum.
"Nah, aku setuju." Zamil tersenyum dan mengacungkan jempol pada Indra. Lelaki kulit sawo matang itu mendorong Cikal, menyuruhnya untuk segera menjenguk Iki, sementara mereka akan menunggu di warung bi Enok.
Cikal membeli dua roti isi pisang cokelat, sebotol mineral, dan obat penurun panas. Dia berlari sekencang kakinya bisa, kemudian berdiri di bawah tangga, menimbang tindakannya. Apa dia harus melakukan itu atau justru tidak usah repot-repot membawakan Iki makanan?
Iki pasti sudah kenyang di sana. Ustaza tidak mungkin membiarkannya kelaparan.
"Tapi, yaudah, aku kasih deh." Cikal menatap dua roti itu di tangan kanan dan kirinya, kemudian tersenyum mantap.
Ketika sampai di depan rumah bata merah, dia melihat Iki sedang terduduk di lantai keramik, menyandarkan kepalanya ke sebelah kanan, pada kolom bangunan. Tatapannya lurus pada Cikal yang berdiri mematung di pekarangan. Kedua tangannya terlipat ke belakang, menyembunyikan dua roti di sana.
"Assalamualaikum, Iki." Cikal berusaha tersenyum. Namun malah dibalas dengan tatapan tajam dari Iki. Penuh kebencian. Anak itu hanya diam sambil memicingkan mata.
Selangkah demi selangkah Cikal memangkas jarak di antara keduanya. Sambil menelan ludah, dia merasakan hawa panas menguar di seluruh tubuh. Bukan disebabkan sinar matahari siang ini, tapi suasana canggung yang menggebu menyelimuti kepala sampai kakinya.
"Udah ... baikan?" tanyanya pelan, sedikit ragu. Iki bisu, tak menjawab.
"Aku ke sini jenguk kamu. Sama---" Sebelum dia menjelaskan maksud kedatangannya dan bersusah payah membawakan Iki dua keping roti isi cokelat, anak itu sudah berdiri dari duduk, memelesat sekejap mata, dan mendorong Cikal dengan kencang. Membuatnya terjerembab ke belakang.
Dua roti yang dia sembunyikan di belakang tubuhnya hancur karena tertindih begitu saja. Cikal tersentak. Rasa sakit di pantatnya tidak seberapa dibanding dengan sakit di hatinya.
"Aku udah bilang jangan urusin masalahku. Kamu ngapain ke sini?!" Iki mengepal erat, bersiap melayangkan tinjunya di pipi chubby Cikal jika saja ustaz Aji tidak datang tepat waktu sebelum kepalan tangan itu benar-benar mendarat dengan mulus di pipinya.
"IKI! Astagfirullah. Ngapain?" Tangan Iki tertahan di udara, dicekal oleh ustaz Aji dengan kencang. Cengkramannya meremas Iki sampai dia meringis kesakitan. Namun Iki sama sekali tidak menunjukkannya. Dia masih bersikap sok kuat di depan mereka.
"Iki enggak mau Cikal ke sini! Cikal jahat. En-nggak. Iki enggak suka." Iki menarik tangannya dari cengkraman ustaz, dan berlari meninggalkan area itu begitu saja. Saat masuk ke rumah, Iki membanting pintu sekencang mungkin. Ustaz hanya menggeleng sambil berusaha membantu Cikal berdiri.
"Enggak papa, Ustaz, mungkin Iki masih marah sama saya." Cikal membersihkan pantatnya dari tanah dan ceceran cokelat pisang. Kedua tangannya terasa lemas dan bergetar. Ada rasa nyeri yang menjalar di dadanya.
"Kalau gitu, saya pamit dulu." Cikal mengangguk sopan, menyerahkan obat penurun panas itu pada ustaz, kemudian berbalik meninggalkan ustaz sendirian.
Meski berusaha untuk kuat, tetap saja air mata tidak mau diajak kompromi. Selangkah demi selangkah, air mata mulai menetes seiring dengan besarnya rasa bersalah yang bersarang di dalam diri.
To be continue
Dan jangan lupa baca naskahku yang "Catch Me If You Can" ya? Kalian bisa baca lanjutannya di aplikasi Dreame.
Terima kasih.