*Chapter 6*
Beberapa minggu lagi sekolah akan mengadakan ujian akhir semester. Semua siswa mengalami pemadatan materi. Seolah tidak ada habisnya, penderitaan di pesantren bergulir dan silih berganti.
Selama jam istirahat, banyak dari mereka memilih untuk belajar di perpustakaan. Ujian biasanya diadakan berbarengan dengan hafalan surat dari ustaz. Kalau mereka menghabiskan waktu dengan bermain, bisa-bisa tidak lulus dalam dua ujian tersebut.
Cikal dan dua temannya sibuk menghabiskan waktu membaca buku. Mereka nyaris tak pernah melewatkan sedetik pun waktu untuk belajar.
Setelah kejadian malam itu, Cikal dan Iki kembali terlibat perang dingin. Namun kali ini Iki tidak bertindak kekanakkan dengan kabur membawa semua barangnya. Dia memilih tinggal di kamar meski harus sama-sama diam jika keduanya berpapasan tanpa sengaja.
Demi membuktikan pada Cikal bahwa dia bukan anak manja, Iki mulai melakukan hal-hal baru. Dia sesekali menyempatkan diri datang ke dapur untuk membantu ustaza Imas memasak. Walau terkadang Iki ditanya apa yang membuatnya menawarkan diri membantu ustaza Imas di dapur selama empat hari terakhir ini.
Hari berikutnya, Iki membantu membersihkan kamar mandi bersama senior, menguras kolam, menangkap ikan, dan melakukan semua aktivitas berat lainnya. Meski sering terluka, terjatuh dan hal menyakitkan, tapi Iki menikmati semua prosesnya.
Dia bisa lepas tertawa. Mengerjai senior. Akhir-akhir ini mereka mulai menyukai Iki. Terlepas dari semua kesialan yang akan mereka dapatkan jika bersama Iki, semua bersenang-senang saat bocah menggemaskan itu banyak membantu aktivitas.
Beberapa senior juga mengajari Iki membaca, menceritakan kisah-kisah mengagumkan, pengalaman dan semua hal yang ada di pesantren.
"Kak, aku bantu, ya?" tanya Iki saat dia tiba di belakang dapur, melihat senior sedang membelah kayu menggunakan kapak. Iki tersenyum lebar. Dadanya membusung, seolah memberitahu jika dirinya kuat dan sanggup mengayunkan kapak berat itu di atas kayu bakar.
Senior itu hanya menggeleng sambil tertawa.
"Yasudah hati-hati." Dia memberikan kapak itu pada Iki. Sekuat tenaga dia mengangkatnya. Iki melotot saking beratnya benda itu.
"Asstagfirullah. Ini b-b ... berat b-banget!" Iki kewalahan. Kapak itu memiliki gagang panjang berwarna hitam. Bahannya dari batang kelapa. Mungkin usianya sudah sangat lama karena bagian tengah gagang itu sudah sangat mengilap saking seringnya digunakan.
"Ha ha ha. Sini, deh. Kamu pakai ini saja," kata senior menyerahkan sebilah golok pendek pada Iki.
Awalnya dia menolak karena menurut Iki golok pendek itu hanya sebuah pelecehan untuknya. Senior tidak memercayai kekuatannya. Namun setelah disuruh mengangkat lagi kapak yang tadi, Iki mulai menyerah dan menerima kenyataan.
Iki mengangguk setuju dan membantu senior sampai semua kayu terbelah menjadi dua. Iki mendapat upah atas kerja kerasnya. Meski awalnya menolak dengan dalih kerja tanpa pamrih, tapi karena senior itu merasa senang sudah dibantu membereskan pekerjaanya, Iki pun menerima dengan senang hati.
Dadanya terasa hangat setiap melakukan kebaikan. Iki makin merasa jika dia harus selalu membantu orang lain. Karena alasan menyukai setiap hadiah yang diberikan atas jasanya. Namun, di luar itu semua, Iki benar-benar menikmatinya.
Dua hari berikutnya, Iki diajak untuk belanja bahan makanan ke pasar oleh ustaza Imas. Iki dengan senang hati menerima tawaran itu karena dengan begitu dia bisa jalan-jalan sambil membantu ustaza Imas belanja.
Iki masih sering bantu memasak. Bahkan sampai memberikan beberapa resep rahasia bunda pada ustaza Imas. Dia menyusun piring di aula makan, menyapu lantai dan mencuci piring kotor setelah solat asar.
Dua minggu itu dia banyak berubah. Cikal yang sadar akan perubahan Iki ikut merasa senang. Walau masalah di keduanya belum juga berakhir. Iki sama sekali tidak terlihat ingin berdamai dengannya. Setiap berpapasan, Iki seolah tak melihat Cikal. Walau sebenarnya di sana Cikal ingin sekali meminta maaf dan mengajak Iki berdamai.
"Iki, kamu sibuk?" tanya a Anggi. Anak itu sedang jajan es di warung bi Enok. Di sana ada Cikal dan dua temannya.
"Enggak, A." Iki tahu jika a Anggi orang Sunda. Maka dia ikut memanggil senior itu dengan sebutan "Aa" ketimbang menyebutnya "kakak" sama seperti dia memanggil senior yang lain.
"Malam Kamis nanti, kamu, yaa yang isi acara ngaji bersama." A Anggi tersenyum lebar, kemudian mencomot es krim milik Iki dan menjilatnya tanpa izin. Iki melotot, kemudian merengut tak suka. Dia nyaris berteriak tapi urung saat dia sadar itu hanya akan menunjukkan dirinya sebagai anak cengeng.
"Ih, Aa. Itu es krim Iki. Tapi, yaudah deh buat Aa aja. Lagian belum Iki bayar. Shi ... shi ... shi." Iki tertawa. Dia mengangguk, kemudian memelesat meninggalkan warung takut kalau bi Enok menagih uang untuk es krimnya. Kan kalau dia lari, ada a Anggi yang bayar!
Iki sudah menyetujuinya.
Sekarang, tugasnya adalah membuat materi.
Kacau! Dia sama sekali tidak punya pengalaman bikin materi. Iki kelimpungan mencari akal. Materi apa yang harus dia bawakan?
Bagaimana ini?
**
Cikal menulis surat permohonan maafnya di selembar kertas. Dia tidak berani untuk mengatakannya langsung pada Iki. Setelah semua yang ingin dia katakan tertulis di kertas, barulah Cikal meninggalkan kelas. Dia berlari sekencang kakinya bisa menaiki anak tangga.
Sampai di lantai atas, Cikal ngos-ngosan kehabisan napas. Tak peduli hal itu, dia segera menghampiri kamarnya di ujung asrama. Berharap jika Iki ada di sana. Melancarkan skenario sederhananya. Dia hanya akan memberikan kertas itu pada Cikal, dan berdalih jika seseorang memberikannya untuk Iki.
Dadanya terasa berdegub sangat kencang. Darah mengalir lebih cepat dan terasa panas. Perasaan tak enak menyergapnya dari berbagai arah. Tak keruan.
Dia harus bagaimana ini?
Meski ragu, setelah menarik napas, berhitung satu sampai lima, akhirnya Cikal memutuskan untuk masuk.
"Assalamualaikum, Iki."
Namun kamarnya kosong. Iki tidak ada di sana. Buru-buru dia menoleh ke ranjang atas. Biasanya Iki akan tidur di sana. Dia tidak ada di mana pun. Sambil berusaha berpikir tentang keberadaan Iki, Cikal melangkahkan kaki mendekati meja belajar.
Di sana ada sobekan-sobekan kertas yang sudah diremas. Penasaran, Cikal meraih salah satunya dan membaca apa yang sudah ditulis Iki. Sesuai dugaan, ternyata Iki berusaha menulis materi untuk ngaji bersama malam Kamis nanti.
Tampaknya dia kesulitan dan frustrasi lantas menyobek kertas-kertas itu dan meninggalkannya di sana. Sekarang, hanya satu tempat yang akan didatangi Iki dalam kondisinya saat ini. Saung apung.
Cikal memelesat ke sana tanpa membuang waktu lagi.
Sesuai dugaan, anak itu sedang menebar pakan sambil melantunkan solawat. Cikal mengendap-endap sambil terus berusaha untuk memangkas jarak anatara keduanya. Berhati-hati agar Iki tidak dikagetkan dengan kemunculannya.
Iki masih bersenandung, menggoyangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Mengikuti arus air yang tertiup embusan angin. Guguran daun kersen berjatuhan tepat di depan saung dan jatuh bersamaan dengan pakan yang mulai lenyap disantap ikan.
"Assalamu'alaikum," ucap Cikal. Iki sebenarnya sudah tahu, tapi dia berpura-pura tidak peka dan memilih terus bersolawat.
"Walaikumsalam. Eh, Cikal?" tanya Iki ramah. Dia berhenti menebar, menaruh mangkuk pakan itu di pagar dan mulai mendekat ke arahnya.
"Udah lama?" tanya Iki.
"Ehm, aku baru datang, sih." Atmosfernya mendadak berubah. Canggung. Cikal merasa kaku sendiri.
"Ada apa, Cik?"
"Anu ... a-aku ... mau ngasih ini sama kamu." Dia menyerahkan secarik kertas yang sudah dilipat rapi ke hadapan Iki. Bocah itu tak segera meraihnya, berdiram diri cukup lama mengamati kertas di pegangan Cikal, kemudian tersenyum setelahnya.
"Iki males baca. Mata Iki udah sakit dipakai nyari materi, mana bukunya tebal banget. Kalau mau, kamu bacakan langsung, ya? Biar Iki dengerin."
Cikal tersentak. Dia tidak tahu harus bagaimana. Semua yang ingin diucapkan sudah tertulis dengan rapi di kertas. Setelah memberikannya pada Iki, dia berniat untuk langsung pergi karena merasa canggung dan malu soal isi suratnya. Kalau harus dibacakan langsung ... ah! Cikal rasa itu tidak mungkin.
"Enggak apa-apa. Kamu bisa baca suratnya di kamar nanti, atau pas mata kamu udah sembuh. Jangan buru---"
"Iki enggak mau. Bacain sekarang!"
Cikal menelan ludah yang terasa serat di tenggorokan. Apa dia harus mengutarakannya secara langsung? Sambil cengengesan, Cikal menggosok tengkuknya pelan. Canggung.
"Aku langsung ke intinya, deh." Dia mulai kehabisan kata-kata. Padahal surat permintaan maaf itu sudah dia tulis sedemikian rupa, mencampur kata-kata indah menjadi untaian kalimat menyejukkan. Sekarang, dia tidak tahu harus berintonasi seperti apa saat membacakan suratnya.
"Oke."
"Aku mau minta maaf karena kejadian dua minggu yang lalu. Aku enggak tahu kenapa kita perang dingin selama itu. Padahal dalam islam, bermusuhan sehari saja tidak boleh, apalagi lebih dari tiga hari." Cikal menggigit bibir bawahnya karena ragu.
"Shi ... shi ... shi. Udah terlambat buat minta maaf, Iki udah maafin kamu sejak dulu, Cik. Iki enggak marah sama kamu."
"Terus, kenapa kamu enggak pernah nyapa dan kita sekamar dalam perang dingin dua minggu?"
Iki menyentuh perutnya sambil tertawa.
Mengabaikan tangan kotornya bekas pakan ikan.
"Iki cuma pengin kamu duluan yang nyapa. Sebenarnya enggak juga, sih. Iki lebih pengin kasih kamu pelajaran. Awalnya iya Iki sakit hati sama kamu, tapi setelah senior menasehati Iki soal banyak hal, Iki jadi paham kenapa kamu bersikap kayak gitu dulu."
Hangat rasanya ketika Iki mengucapkan itu di depan Cikal dengan senyuman terbuka. Selama ini Cikal telah salah sangka. Berburuk sangka jika Iki masih marah kepadanya. Pada kenyataanya, anak itu sudah lebih dulu melupakan semua masalah dan memaafkannya dengan lapang dada.
"Kan kamu sendiri yang bilang di ceramah kalau sebaik-baiknya orang adalah yang mau saling memaafkan."
"Aku jadi canggung, mau nangis terharu, tapi takut dikatain cengeng." Cikal menggosok matanya yang terasa panas. Iki tersenyum senang.
"Shi ... shi ... shi. Nangis enggak selamanya cengeng, Cikal. Seseorang nangis karena sudah enggak mampu lagi untuk menahan semua yang dia rasakan. Terkadang, seseorang butuh menangis untuk mengeluarkan masalah dan penderitaannya. Lebih plong. Itu kata senior," jelasnya sambil senyum.
Iki yang berada di hadapan Cikal sudah berubah, berbeda dengan yang dia temui di awal-awal dulu.
Kini Iki bisa bersikap lebih dewasa berkat pengalaman-pengalaman yang dia dapatkan di pesantren.
"Makasih, Ki." Cikal menahan air matanya, tetap tidak mau menangis di depan Iki. Tak lama Iki mengangguk, mendekat dan mendekap anak itu dalam pelukannya.
"Iki sayang kamu, Cikal."
"Iya, tapi kamu bau pakan ikan." Cikal mendorong Iki menjauh.
**
Rabu siang.
"Aku lapar. Makan, yuk?" ajak Iki saat mereka berdua di saung apung. Cikal membuatkan materi untuk Iki tentang menuntut ilmu. Entah karena apa, Iki menyarankan tema itu untuk bahan materinya nanti. Karena tidak mau susah payah mencari, Cikal hanya mengangguk setuju.
"Makan malam kan masih lama, Ki." Cikal menatap riak air di bawah saung. Mungkin jadi ikan enak. Mereka bisa berkeliaran mencari makan sebelum pakan ditebar di jam-jam tertentu. Itu bisa mengurangi rasa lapar mereka.
"Andai bisa kayak ikan," tambah Cikal.
"Berenang di air pakai ingsang, gitu? Atau dimakan? Ih, enggak mau lah." Iki bergidik ngeri sambil menatap air di bawahnya.
"Ya enggak gitu juga. Maksud aku, kita bisa cari makan sebelum waktu makan tiba, kayak cari tambahan gitu."
Iki hanya mengangguk sambil membentuk bibirnya jadi o bolong.
"Kamu kan sering bantu ustaza Imas masak, pasti bisa masak dong?"
"Enggak. Iki enggak bisa."
"Yaudah ikut aku!" Cikal menarik tangan Iki, menyeret paksa bocah itu meninggalkan saung. Mereka berlari di lorong asrama senior, melewati makam, kemudian sampai di dapur milik ustaza Imas.
"Mau ngapain?"
"Kita masak!"
Iki menggeleng. Dia tidak mau kena masalah atas pasal menghabiskan pasokan makan santri lainnya. Namun Cikal segera menggeleng, membantah semua pemikiran Iki.
"Santai. Aku yakin ustaza enggak akan marah."
Cikal lantas mulai membuka sarung biru yang melilit tubuhnya, menggantungkannya di paku yang ada pada tiang bambu dapur, kemudian melipat dua lengan kokonya sampai sikut. Iki hanya diam memerhatikan. Masih tidak mengerti apa yang akan dilakukan anak itu.
Cikal menoleh ke segara arah, menatapi sarang labar-laba yang sudah menghitam karena terus-terusan tertiup asap pembakaran, kemudian pada dinding anyaman bambu, dan terakhir matanya berhenti di tumpukan kayu bakar.
"Nah, itu ambil beberapa, ayo nyalakan apinya."
Meski awalnya menolak, tapi melihat keseriusan Cikal, dia mulai membantu. Soal dimarahi, gimana nanti, yang penting mereka makan dulu.
Iki sudah tidak sabar, hidangan apa yang akan dimasak oleh Cikal.
Secepat api itu melahap kayu bakar, secepat itu pula gerakan Cikal menyiapkan semuanya. Dia berlari ke kanan, ke kiri, ke mana pun benda yang dituju berada di tempatnya. Sampai akhirnya dia berhenti ketika minyak sayur yang akan dia gunakan habis tak tersisa. Botolnya hanya menyisakan setetes dan itu tidak akan cukup!
"Kamu ambil daun pisang, gih. Enggak usah banyak-banyak. Di belakang warung bi Enok ada pohon pisang. Nanti kalau ditanya buat apa, bilang aja buat alas sesuatu."
Iki yang tidak mengerti dengan rencana Cikal hanya mengangguk. Selama dia menuruti apa yang diperintahkan, mungkin semuanya akan berjalan lancar. Makanya ketika disuruh a dan b, Iki ikuti saja, termasuk ketika dia harus mencari daun pisang.
Kehidupan di pesantren nyatanya benar-benar memaksa Iki untuk bertahan hidup dengan otaknya. Itu pasti. Karena setelah melihat Cikal menggunakan daun pisang untuk pengganti minyak sayur, Iki jadi paham bagaimana cara bertahan hidup di luar rumah.
Setelah penggorengan panas, Cikal memasukkan daun pisang itu di sana. Memaksa menguarkan aroma sedap yang terus tercium tiap kali api di tungku membesar. Iki makin tidak sabar dengan hidangannya.
"Taruh telurnya di atas daun pisang," kata Cikal sambil memecahkan dua butir telur. Menggumpal, terjatuh di atas daun, dan menguarkan aroma sedap. Bersamaan dengan itu, dia menaburkan garam dan sasa, tak lupa potongan cabai. Iki semakin tergiur untuk segera memakannya.
Wangi lezat menguar di udara. Iki berbinar saat telur panggang itu diangkat dan dialihkan ke piring.
"Kamu hebat!" Cikal merasakan sakit di punggungnya saat Iki terus-terusan menepuknya dengan rasa kagum.
"Kalau gini aja, sih gampang. Nanti aku ajarin lagi cara bertahan hidup di pesantren."
Iki mengangguk mantap, mata birunya makin berkilat penuh cahaya. Dia bersemangat, tak sabar ilmu baru apa lagi yang akan dibagi oleh Cikal.
Menjadi santri nyatanya menyenangkan. Iki menjadi tahu banyak hal. Bahkan setelah acara memasak itu, Cikal mengajari Iki soal tanaman, memanjat pohon, mengolah ikan tanpa minyak dan hal-hal baru lain yang belum pernah Iki rasakan selama berada di rumah.
Dan itu menyenangkan!
To be continue
Dan jangan lupa baca naskahku yang "Catch Me If You Can" ya? Kalian bisa baca lanjutannya di aplikasi Dreame.
Terima kasih.