*Chapter 4*
Budayakan vote sebelum membaca. Terima kasih.
Semua santri berkumpul di aula. Setiap malam Kamis, biasanya mereka akan melakukan mengaji bersama. Salah satu santri akan dipilih untuk mengisi acara dengan berdakwah. Acaranya berlangsung beberapa jam, dimulai setelah solat magrib sampai jam sembilan malam.
Di antara guguran daun kersen, lantunan ayat suci Al-Qur'an mengalir indah tertiup angin, menyelinap pada batang dan akar, menemani semua makhluk malam yang baru saja keluar dari peraduan.
Di bawah pohon kersen tak jauh dari warung bi Enok, Cikal sedang menghafal materi dakwah yang akan dibawakannya malam ini. Pagi tadi, ketika berangkat sekolah, dia bertemu dengan a Anggi, salah satu senior, dan memberitahu jika acara mengaji bersama malam nanti akan diisi oleh Cikal sebagai pembawa materi.
Dia tak pernah menolak selama yang dia kerjakan bermanfaat. Maka setelah a Anggi memberitahukannya, dirinya langsung mencari materi apa yang bisa dibawakannya untuk acara mengaji bersama nanti.
Cikal menghabiskan masa istirahatnya dengan mencari materi di perpustakaan.
Sekuat apa pun dia berusaha, tetap saja pikirannya tertuju pada Iki. Rasa bersalahnya belum juga pudar selama dia belum meminta maaf pada Iki. Rasa cemas dan tak enak hati itu justru memberinya ide untuk materinya malam nanti. Cikal berniat membawakan materi tentang melupakan dan sebaik-baiknya orang yang memaafkan.
Maka setelah semua materi dia susun dengan apik, Cikal mulai menghafalnya perlahan. Dari pulang sekolah sampai azan magrib, dia masih belum yakin bisa menguasai materi itu dengan baik.
"Humph ... haah ... aku bisa." Cikal mengepal erat, memusatkan semua semangatnya dalam kepalan tangan kanan, menatapnya lekat, kemudian memejamkan mata. Berdoa.
Dia harus percaya diri.
Sebelum dia kembali ke masjid untuk mengambil wudhu, Cikal bertemu dengan Iki di depan makam yang sedang berdiri memerhatikan. Cikal pikir dia sudah berdiri di situ sejak tadi, melihatnya berlatih tanpa melakukan apa pun.
"Hai, Ki," sapanya, kemudian melambai tangan kanan. Namun Iki malah berbalik dan meninggalkannya begitu saja. Dia berlari menaiki anak tangga dan lenyap ditelan ketinggian. Cikal tak bisa melihatnya lagi setelah Iki menginjak anak tangga terakhir.
Setelah Cikal memutuskan untuk melanjutkan niatnya mengambil wudhu, dan hilang di belokan, Iki kembali berjalan ke arah tangga dan mengintipnya di balik pagar pembatas. Dia menuruni tangga, mengendap-endap ke lorong asrama senior. Masuk aula lewat pintu depan.
Setelah solat isya, semua anak berkumpul di aula. Ada yang merapikan kitab, menaruhnya di rak, mengamparkan karpet hijau, berebut tempat duduk, dan tak sedikit pula yang bersolawat. Di antara keramaian itu, Iki justru diam di pojokan aula. Dia menyendiri.
Tidak ada satu orang pun yang menemaninya. Bahkan setelah seminggu masa hukumannya berlalu, dia tidak bisa menyesuaikan diri dengan baik.
Zamil dan Indra berada tiga baris di depannya. Mereka sengaja tidak menyapa Iki. Zamil yang menyuruh Indra untuk mengabaikan keberadaan bocah malang itu.
Tak lama, setelah ustaz datang semua suara senyap seketika. Orang-orang yang berebut tempat duduk berlarian ke segala arah, duduk secara acak tanpa mempermasalahkan di mana mereka harus duduk.
Iki menarik napas panjang, kemudian diembuskan perlahan. Dia mulai memperhatikan ustaz yang sedang berbicara di depan semua orang. Tidak lama setelah itu, Cikal datang dengan pakaian rapi dan terlihat tampan. Sebuah sorban merah terlilit di lehernya. Dua tanganya terlipat di depan dada, menggengam sebuah buku bersampul cokelat polos.
Cikal tersenyum pada semua orang yang hadir, mengucapkan salam sambil berdiri di depan pengeras suara, lantas mulai duduk di kursi yang sudah disediakan.
Di antara semua yang hadir, Cikal menjadi satu-satunya orang paling rapi dan terlihat berwibawa. Seulas senyum tulus itu menghangatkan siapa saja yang menatapnya.
"Ish, nyebelin." Iki menggerutu di belakang.
Kegiatan di pesantren benar-benar membosankan untuknya. Pemikiran Iki tentang pesantren selama ini benar adanya. Dia selalu membayangkan penjara dan siksaan yang akan dialaminya selama dia berada di sana, dan itu terbukti, hampir setiap waktu dia diharuskan mengaji.
Ponselnya masih disita oleh ustaz, dan itu membuat Iki tidak bisa melakukan hal menyenangkan. Dia akan seperti itu selamanya. Ah, tidak akan bertahan! Rasanya dia ingin berteriak dan nangis saja di aula. Batinnya tersiksa.
Sudah setengah jalan Cikal menyampaikan materinya. Namun Iki sama sekali tidak memerhatikan. Dia menciptakan khayalannya sendiri. Bermain dengan teman imajinasinya. Bersikap seolah dia adalah manusia paling menderita, dan teman-teman khayalannya menjadi penghibur. Iki tertawa sendirian.
Di tengah tawa yang hanya mampu didengar oleh didirinya sendiri, tiba-tiba Cikal mengetuk pengeras suaranya dua kali. Dia berdeham pelan, kemudian melanjutkan membacakan materi yang tertulis di dalam buku.
"Manusia tidak bisa hidup sendirian. Ia membutuhkan teman. Karena itu bila seseorang sedang sendirian, dia akan menciptakan sesuatu di dalam benaknya untuk menemani kesendiriannya. Mengkhayal! Menjadikan imajinasi penghibur kesedihannya." Mata Cikal tertuju pada Iki yang kini menatap sinis ke arahnya. Tak memedulikan itu, dia melanjutkan ceramahnya.
"Manusia itu bisa saja merasa senang dengan kesendiriannya. Akan tetapi, dia akan sangat gelisah ketika bertemu dengan sesama manusianya. Sebab apa? Dia tak memiliki teman dan tak ada hubungan harmonis sesamanya."
Santri yang hadir gasak-gusuk membicarakan materi yang Cikal bawakan. Tidak terkecuali Iki yang sudah merah padam. Mukanya panas, kedua tangan mengepal.
"Melihat kenyataan tersebut, maka agama menganjurkan manusia untuk cinta damai dan saling memaafkan. Melupakan kesalahan, tak ada permusuhan. Dengan begitu, takkan pernah ada manusia yang sendirian. Seperti dalam Q.S Asy-Syura menjelaskan penggalan ayat tentang 'Barang siapa memaafkan, dan berbuat baik, maka pahalanya atas (jaminan) Alloh.'".
Cikal mengetuk lagi pengeras suara dan melanjutkan, "Demikian ceramah yang bisa saya sampaikan. Kurang lebihnya saya mohon maaf. Bilahitaufik walhidaya assalamualaikum." Cikal menutup buku di tangannya, beranjak dari duduk, lantas berjalan mendekati tiang pengeras suara. Menaruhnya lagi di sana.
Di tengah riuh tepuk tangan dan jawaban salam, Iki meninggalkan aula dengan perasaan kesal dan marah. Dia pergi ke saung untuk menangkan diri. Sementara Cikal yang melihat hal itu hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.
**
Iki insomnia parah. Dia nyaris merobek seprai saking kesal pada matanya yang tidak mau memejam. Otaknya terus berpikir, mengulang kejadian yang sama berulang kali. Dia teringat ucapan Cikal saat ceramah tadi di aula.
"Ish. Iki enggak bisa tidur. Kenapa, ish!"
Iki belum kembali ke kamar asramanya, masih tidak mau bertemu Cikal. Makanya ustaz Aji memberikan izin untuk Iki tinggal di rumahnya sementara waktu. Namun itu takkan bertahan lama, cepat atau lambat dia tetap harus kembali ke kamarnya sendiri.
Setelah mengembuskan napas berat, matanya yang biru terang menoleh pada jam dinding. Pukul sepuluh lebih seperempat. Larut malam. Mungkin hanya dia satu-satunya orang yang masih terjaga sekarang.
Biasanya jam sepuluh sampai jam sebelas dia akan mengganggu Cikal yang sedang tertidur, atau menjahili anak itu dengan cara paling menjengkelkan. Sering kali Iki berulah saat Cikal belajar dan mengerjakan PR.
"Nyari angin, deh. Iki suntuk. Kali aja di luar bisa ngantuk." Dia menyibak selimut belang-belang yang melahap habis bagian kakinya, kemudian mengenakan sandal jepit biru milik ustaza, dan memelesat ke ruang tamu dengan hati-hati.
Selama di rumah bata merah dia tak pernah memerhatikan keadaan sekitar dengan jelas. Namun kali ini, saat semua tertutupi kegelapan malam, Iki bisa melihat dan menyaksikan benda-benda yang memenuhi ruang tamu. Penyekat antara ruang makan dan ruang tamu hanya sebuah lemari minimalis yang penuh dengan buku.
Iki mengusap ujung lemari sambil melangkah, melewati sofa yang ada di depannya, lantas sampai di depan pintu. Belum dikunci.
"Mau ke mana?" tanya ustaza Imas saat Iki akan membuka pintu. Dadanya seperti dihantam benda dengan keras. Kaget bukan main. Dengan tangan bergetar, dia melepas gagang pintu dan berbalik, menghadap ustaza Imas.
"Iki enggak bisa tidur, Ustaza. Pengin cari angin." Iki berusaha tersenyum.
"Ini kan sudah malam. Kamu juga masih sakit, enggak baik. Masuk lagi ke kamar. Nanti juga kamu ngantuk sendiri." Ustaza Imas melenggang mendekati sakelar dan menyalakan lampu ruang tamu.
"Tapi Iki isnomia."
"Insomnia," ralat ustaza cepat.
"Iya. Kangen sama bunda juga." Iki menunduk. Benar-benar anak manja dan cengeng. Tangannya memintal ujung baju tidur sambil terus melumati bibir bagian bawah. Iki menggemaskan!
"Ustaza, Iki boleh pinjem ponsel Iki?" tanyanya mendongak.
"Buat apa? Aturan pondok kan udah jelas, Iki enggak boleh bawa ponsel." Ustaza mendekat, merangkul tubuh mungil itu sambil menggiringnya untuk duduk di sofa. Iki mengangguk, mengikuti langkah ustaza sampai di depan sofa.
"Tapi Iki kangen sama bunda. Pengin telepon. Sebentar aja, ya?"
Tidak ada satu orang pun yang akan tahan dengan rayuan muka melas seorang anak imut dan menggemaskan. Apalagi itu dilakukan oleh seorang anak lelaki macam Iki. Ustaza meringis menatap mimik Iki dengan mata biru berbinar. Puppy eyes.
"Bentar, ya ustaza tanya sama ustaz Aji dulu."
Ustaza berbicara dengan ustaz Aji di kamar. Meski awalnya menolak karena alasan dia harus terbiasa dengan kondisi pesantren dan jangan terlalu memanjakannya, tapi pada akhirnya ustaz Aji menyerah. Dia membiarkan Iki menghubungi bunda.
Iki senang bukan main. Dia nyaris melompat dan berteriak jika ustaz Aji tidak segera memperingatkannya. Iki mengangguk, meminta izin untuk menelepon bunda di luar rumah. Ustaza Imas memberikan baju hangat pada Iki agar dia tidak masuk angin.
Panggilannya tidak diangkat. Beberapa kali Iki mencoba, tapi bunda tetap tidak mengangkatnya. Awalnya Iki pikir mereka sudah tidur karena meneleponnya selarut ini. Namun ketika dia mencoba lagi untuk yang terakhir kalinya, sambungan itu diangkat.
Iki senang, kelewat senang malah. Dia tergesa menyebut bunda sampai tiga kali dan terbatuk.
"Assalamualaikum, Iki," sapa Bunda.
"Walaikumsallam, Bund. Iki kangen!" Iki langsung pada intinya. Dia tidak mau bertele-tele menanyakan kabar bundanya selama satu minggu lebih di rumah. Bahkan Iki sama sekali tidak peduli ketika bunda memarahinya karena kedapatan membawa ponsel ke pesantren.
Saat ini Iki senang karena bisa berbicara dengan bunda.
"Iki kangen, Bund. Pengin pulang. Enggak mau di sini. Enggak betah." Iki mondar-mandir di depan rumah. Kakinya tak mau diam, membuat dia seperti sebuah setrikaan. Dinginnya angin malam tak membuat anak itu menyerah dengan kondisi. Iki tetap teguh untuk menyelesaikan pembicaraannya dengan bunda.
"Bunda kan sudah bilang, Iki harus pesantren. Gimana seminggu ini? Menyenangkan, kan? Bunda yakin Iki pasti suka di sana."
"Enggak. Enggak mau. Iki pengin pulang. Kalau bunda masih enggak mau turutin apa yang Iki mau, Iki kabur dari pesantren. Enggak mau tahu!" Iki akhirnya kecapaian sendiri mondar-mandir di teras rumah. Dia berhenti dan duduk dengan kedua kaki terulur ke depan, membiarkan celana piyamanya menyentuh tanah.
Bunda terdengar menarik napas panjang, kemudian senyap beberapa saat. Iki juga demikian. Dia menunggu apa yang akan bunda katakan. Namun sampai detik ke sekian, dia masih belum mendapat jawaban apa pun dari bunda. Iki merengut dan protes lagi.
"Yaudah, gini aja deh, Bunda kasih waktu Iki sebulan buat adaptasi lagi di pesantren. Kalau semisal Iki masih enggak betah sebulan itu, Iki boleh pulang dan enggak usah pesantren lagi. Bagaimana?" tawar bunda setelah terdiam cukup lama. Nyatanya bunda tengah memikirkan sebuah kesepakatan untuk Iki.
Terdiam sejenak, Iki menjauhkan ponsel dari telinganya. Dia terlihat berpikir, menimbang saran yang bunda berikan untuknya. Sambil memejamkan mata, Iki menarik napas cukup panjang, bibirnya tertarik ke dua arah. Dia tersenyum.
"Oke, Bund. Iki setuju. Lihat aja, Iki janji bakal buktikan sama bunda kalau pesantren enggak cocok sama Iki!" jawabnya antusias. Seolah mendapat secercah harapan dari kesengsaraanya selama ini.
"Omong-omong, ponsel kamu enggak disita sama ustaz?"
"Wassalamualaikum." Iki mematikan sambungannya sepihak, menutup layar ponsel, kemudian berjingkrak di depan rumah.
Iki senang bukan kepalang. Waktunya di pesantren hanya tinggal sebulan lagi. Setelah itu dia tidak akan berada di neraka ini lagi!
Iki hampir berteriak, tapi urung ketika sadar suasananya sudah larut malam. Dia berlari masuk ke rumah dan memberikan ponsel itu pada ustaza Imas. Iki mau tidur saja agar waktu cepat berlaru dan dia bisa cepat pulang ke rumah.
**
Semua santri mengantre di aula makan. Dari pintu masuk sampai ke ujung ruangan, anak-anak membawa piring seng dan gelas plastik. Mereka siap menyantap menu spesial di hari Jumat.
Wajar saja mereka bersemangat, karena makanan enak hanya disajikan satu minggu sekali. Setiap Jumat, pihak pesantren akan memasak daging ayam dan telur balado. Masing-masing anak diberi satu potong ayam yang sudah dibumbu kuning. Untuk yang tidak suka makan ayam, akan diberi dua telur bulat utuh.
Iki berdiri dengan air liur yang tak bisa lagi dibendung. Dia menyendokkan dua potong daging ayam yang dia taruh salah satunya di bawah gundukan nasi. Dengan tanpa merasa berdosa, Iki mengambil satu telur utuh dan dia taruh di samping ayam, seperti apa yang santri lain lakukan.
Setiap meja diisi oleh empat orang. Iki tidak kebagian meja. Ketika dia mencari tempat duduk, Indra dan Zamil menyapanya. Dua bocah itu menawarkan tempat duduk di pojok ruangan, dekat dengan jendela tinggi yang nyaris menyentuh plafon. Awalnya Zamil malas untuk melakukan itu, tapi Indra terus saja memaksa.
"Kalau kurang ayamnya, bisa minta sama Iki, tuh." Indra menceletuk sambil mengunyah. Dia menatap gundukan nasi di piring Iki. Mendadak saja anak itu melotot, darahnya berdesir panas.
Iki ketahuan curang!
"Apa maksud kamu?"
"Ah, jangan pura-pura gitu." Zamil menyikut Iki pelan, dengan nada sarkas yang membuatnya tidak nyaman.
"Ah, yaudah, lagian aku enggak bakal habis satu." Indra mengedikkan bahu.
Hal yang Iki pikirkan sekarang justru bukan soal ayam dan makanan, tapi soal Cikal. Sejak kedatangan dua anak ini di depannya, Iki sama sekali tidak melihatnya.
"Ke mana satu lagi?" tanya Iki akhirnya. Meski dia terlalu gengsi untuk bertanya, tapi kalau cuma diam dan menerka-nerka kan dia juga tidak akan tahu jawabannya.
"Cikal maksudnya?" Iki menjawab pertanyaan itu dengan anggukan pelan.
"Dia kan kemarin jadi pembawa materi pas ngaji bareng. Sekarang posisinya berada di atas kita lah. Dia ada di sana, tuh!" Indra menunjuk posisi Cikal dengan dagunya. Menanggapi perkataannya, Iki menoleh ke arah di mana Cikal sedang menyantap makanan.
Dia terlihat berada dekat dengan meja senior. Cikal duduk sendirian. Di atas mejanya penuh dengan makanan enak. Ada ayam, telur, buah-buahan, dan seikat sayuran segar lengkap dengan sambal.
"Jadi, itu hadiah kalau kita ngisi materi?"
Kedua anak itu mengangguk bersamaan. Iki kembali menatap Cikal yang lahap. Seutas senyum terukir di bibirnya yang belepotan bumbu ayam kuning. Zamil dan Indra menyadari hal itu saling tatap.
"Jangan bilang kalau kamu mau ngisi materi juga?"
"Shi ... shi ... shi."
Iki tertawa mengerikan.
To be continue
Jadi apa yang akan Iki lakukan, nih? Mau ngapain dia?
Dan jangan lupa baca naskahku yang "Catch Me If You Can" ya? Kalian bisa baca lanjutannya di aplikasi Dreame.
Terima kasih.