Leeds, 13 Oktober 2017.
Athanasia terbangun dengan nafas yang terengah-engah. Kepalanya terasa pusing. Ia terus bermimpi mengenai hal yang sama. Seorang Archana yang dibunuh oleh iblis dan perang yang terkobar. Ia akhirnya bangun dan membuka jendela kamar. Sinar matahari pagi menyelinap masuk dari balik jendela dan Athanasia menghembuskan nafas. Ia terus-menerus bermimpi buruk sejak kematian orang tuanya pada tahun lalu. Ia berjalan menuju ruang tamu dan menyalakan TV di ruang tamu. Setelah menyalakan TV, ia membuat makanan untuk mengisi perutnya.
"... Seorang mayat telah ditemukan tenggelam di Sungai Aire pada pagi hari ini..."
Athanasia terdiam sebentar dan menatap ke arah TV. Ia teringat akan mimpinya kembali. Ia selalu memimpikan hal yang sama secara berulang-ulang seperti lingkaran yang tidak pernah berakhir. Selain bermimpi hal yang sama terus-menerus, ia terus merasakan seperti ada seseorang yang memperhatikannya. Di tengah lamunannya, seseorang menekan bel rumahnya.
"Athanasia!" teriak seseorang dari luar. "Athanasia!"
Athanasia meletakkan gelasnya di dekat bak cuci dan pergi untuk membuka pintu. Seorang wanita bertubuh mungil langsung menerjang masuk ke dalam rumah begitu pintu terbuka.
"Kenapa lama sekali membuka pintu?" tanya perempuan itu. "Apa kau baru bangun tidur?"
"Well, begitulah," jawab Athanasia sekenanya sambil menutup pintu dan mengambil segelas kopi yang telah diseduhnya tadi. "Aku bermimpi buruk lagi."
Perempuan itu bernama Lin Rhea. Gadis keturunan Chinese yang tinggal di Leeds sejak tahun 2012. Rhea memiliki wajah yang chubby dengan mata sedikit sipit dan tahi lalat di bawah matanya yang berwarna hazel. Hidungnya mancung dan bibirnya tipis. Keluarga Rhea selalu menganggap Athanasia sebagai bagian dari keluarganya dan mereka telah berteman sejak 2 tahun terakhir dan cukup akrab.
"Kau bermimpi mengenai kematian itu lagi?" Rhea menaruh tasnya di sofa dan mengambil sepotong sandwich yang telah kubuat. "Sepertinya kau dikutuk."
Aku mendelik ke arahnya. "Yang benar saja, Rhea! Mungkin aku bermimpi hal itu karena aku terus mengingatnya."
Rhea mengangkat bahu. "Mungkin. Kau juga tidak perlu terlalu menyesali kematian orang tuamu, mungkin itu mempengaruhi pikiranmu."
Aku mengangguk dan memakan sandwich. Rhea duduk di sebelahku dan menyesap segelas kopi.
"Kejadian di berita benar-benar menyeramkan," ucapnya sembari terfokus pada berita di TV. "Akhir-akhir ini selalu terjadi pembunuhan. Aku penasaran siapa pelakunya."
Athanasia berdiri dan meletakkan piring kotor di bak cuci. "Mungkin hanya orang gila yang haus darah."
"Hey!" seru Rhea. "Itu sangat menakutkan, tahu! Bagaimana mungkin kau berkata dengan santai seperti itu..."
Athanasia mengangkat bahu dan berjalan masuk ke dalam kamar mandi. "Entahlah. Lagipula, bukankah sebaiknya kita pergi ke sekolah? Tunggu aku dalam 15 menit, 'kay?"
"Well, sebaiknya kau bergerak cepat!" teriak Rhea. "Kau tidak mau terlambat bukan?"
Athanasia masuk dan mandi. Setelah mandi, ia bersiap-siap. Ia mengenakan kemeja putih dengan lengan yang digulung ¾, dipadukan dengan rok selutut berwarna hitam. Tidak lupa ia mengikat dasi bermotif garis diagonal berwarna biru dan putih di lehernya. Selain itu, ia juga mengenakan vest hitam dan syal hangat di lehernya. Ia segera keluar dari kamar mandi begitu ia selesai bersiap-siap.
"Aku sudah mencuci piring," kata Rhea sembari menunjuk ke arah bak cuci. "Kita bisa berangkat sekarang."
Athanasia mengangguk dan mengambil tas serta jas hitamnya. Athanasia mengunci pintu dan mereka segera berangkat ke sekolah. Matahari menyinari Leeds dengan sinarnya yang hangat. Musim sudah berubah menjadi musim gugur dan jalan di sekitar jalan Leeds, dipenuhi oleh pohon-pohon yang berguguran. Leeds adalah kota yang damai di bagian Barat Yorkshire, Inggris. Tak jauh dari perumahan mereka, terdapat Sungai Aire yang telah menjadi kanal bagi warga sekitar. Selain Sungai Aire, lingkungan di sekitar Leeds juga masih terjaga. Leeds masih memiliki hutan yang sangat rimbun.
"Hey," Rhea menggandeng tangan Athanasia dan menunjuk ke arah daun-daun yang berjatuhan. "Ini musim gugur. Mungkin saat liburan pertengahan semester nanti, kita bisa piknik ke Hutan Leeds. Bagaimana menurutmu?"
Athanasia mengangguk. "Well, kenapa tidak?"
Rhea tertawa dan memeluk Athanasia sembari berseru dengan girang, "Ah, kau benar-benar teman terbaikku!"
Mereka tertawa dan melanjutkan perjalanan mereka menuju LNHS. LNHS merupakan singkatan dari Leeds National High School. LNHS merupakan sebuah sekolah negeri yang gedungnya memiliki corak seperti bangunan tua di Inggris. LNHS memiliki 3 gedung di sisi Timur, Selatan, dan Barat setahun sebuah lapangan besar di tengahnya. Di belakang lapangan tersebut, LNHS memiliki taman yang berbentuk seperti maze. Di gedung Timur, LNHS memiliki ruang kelas, perpustakaan, dan ruang lab. Di gedung Barat, LNHS memiliki ruang gymnasium, kantin, ruang penyimpanan, dan kolam renang. Sedangkan di gedung Selatan, hanya terdapat ruang guru, ruang arsip, ruang administrasi, ruang rapat, dan perpustakaan. Selain memiliki gedung yang cukup besar, LNHS juga memiliki sistem dalam mengatur seragam pata muridnya. Pada musim panas dan musim semi, para murid akan mengenakan seragam kemeja putih berlengan panjang, celana hitam panjang atau rok hitam selutut yang dipadukan dengan jas hitam yang memiliki sulaman LNHS di bagian dada sebelah kiri. Saat musim gugur, para murid diwajibkan mengenakan vest hitam yang juga memiliki sulaman LNHS di bagian dada sebelah kiri, sedangkan saat musim dingin, para murid juga mengenakan vest hitam dan baju musim dingin mereka.
"Kau tau, Athanasia, kudengat kita kedatangan murid baru."
Athanasia mengernyit. "Murid baru? Di semester yang mendekati liburan ini?"
Rhea mengangguk dan matanya tampak berbinar-binar ketika ia berbicara, "Yap! Dari apa yang kudengar, murid baru itu laki-laki yang sangat tampan!"
Athanasia menggeleng pelan dan mengibaskan tangannya sembari berkata, "Cukup halusinasimu, Rhea."
Rhea mendengus dan melipat kedua lengannya. "Aku serius."
Walau mereka masih berada di depan gerbang sekolah, tapi mereka bisa mendengar bunyi lonceng besar yang tergantung di atap sekolah berbunyi. Keduanya kemudian berlari memasuki area sekolah dan memasuki kelas masing-masing. Di dalam kelas, mereka mengambil tempat duduk di tengah ruangan. Murid-murid masih saling bercanda satu sama lain dan belum ada seorang guru pun yang memasuki kelas walau bel telah berbunyi. Tak lama, Mr. Grey memasuki kelas kami.
"Diam, anak-anak," ucap laki-laki berambut cepak tersebut sembari meletakkan bukunya di atas meja guru. "Hari ini, kita kedatangan murid baru."
Kelas menjadi riuh mendengar berita itu. Rhea menyikut lengan Athanasia dan mengedipkan matanya. Athanasia hanya tersenyum dan menggeleng pelan.
"Silent, please!" seru Mr. Grey dengan keras. "Saya pikir kalian mendengar perintah saya untuk tetap diam."
Seketika, kelas menjadi diam dan hening. Walau begitu, masih ada beberapa murid yang saling berbisik satu sama lain, membicarakan murid baru.
"Begini jauh lebih baik," Mr. Grey berjalan menuju pintu dan membuka pintu. "Kau boleh masuk."
Seorang murid laki-laki masuk dan berdiri di depan kelas, dengan disusul oleh Mr. Grey yang berdiri di sampingnya. Murid-murid, terutama murid wanita langsung heboh.
"Anak-anak, ini teman baru kalian," Mr. Grey berkata dan menatap si murid baru. "Siapa namamu?"
"Gilbert Crawford," jawab laki-laki dengan datar, tapi kemudian seulas senyum muncul di bibirnya. "Senang bertemu dengan kalian."
Gilbert memiliki rambut hitam legam dan mata berwarna merah keemasan. Sorot matanya tajam, walau dia mengenakan kacamata bertingkat tipis. Hidungnya mancung dan bibirnya tipis membuat auranya semakin memancar. Tubuhnya tegap dan kekar, bahkan sepertinya tubuhnya juga berotot. Selain postur tubuhnya, langkahnya juga mantap dan terkesan berwibawa.
"Kami juga senang kau memutuskan untuk bersekolah di sini," ucap Mr. Grey sembari menepuk pelan bahu Gilbert
.
Athanasia termenung. Ia seperti pernah melihat laki-laki itu, tapi ia tidak bisa mengingatnya di mana. Athanasia menatap laki-laki itu lagi dan dirinya tersentak.
Laki-laki itu sedang menatapnya?
***