"Athanasia?"
Athanasia berbalik dan diikuti oleh pandangan Kristoff ke arah sumber suara. Gilbert berdiri di sana dengan senyuman yang selalu tampak di bibirnya. Gilbert berjalan mendekati kami dan berdiri di sebelah Athanasia.
"Ah, Gilbert!" Pekik Kristoff sembari melakukan high-five dengan Gilbert.
Athanasia menatap mereka dengan bingung. Ia tidak menyangka, jika mereka berdua saling mengenal. Ia tidak tahu harus berbuat apa dan ia hanya terpaku menatap dua laki-laki tersebut. Kristoff yang melihat raut wajah Athanasia tertawa pelan.
"Aku baru berkenalan dengannya tadi," ucap Kristoff, menjawab pertanyaan di benak Athanasia. "Aku dengar ada murid baru di LNHS, jadi aku mencarinya dan menawarinya untuk bergabung dalam klub kami."
Athanasia hanya mengangguk. "Aku mengerti."
"Tapi, aku tidak menyangka kalian sedang berkencan," Kristoff mengedipkan sebelah matanya ke arah Athanasia dan tersenyum jahil. "Aku tidak akan mengganggu kalian lagi."
Athanasia memukul pelan lengan Kristoff dan memberengut. "Kami tidak berkencan, kami hanya mengobrol sebentar!"
Kristoff tertawa lagi dan melambai. "Baiklah, aku pergi dulu ya. Bersenang-senanglah kalian berdua."
Athanasia menatap punggung Kristoff yang berlalu menuju pintu perpustakaan. Ia menghela nafas dan menatap Gilbert. Ia akan menyelesaikannya dengan cepat. Ia sudah berniat untuk mencari jawaban atas rasa penasarannya. Ia hanya ingin tahu apakah ia mengenal sosok laki-laki yang berada di hadapannya ini.
"Kau..."
"Apa..."
Mereka berbicara dengan bersamaan, lalu terdiam. Athanasia memalingkan wajahnya dan merasakan pipinya memanas. Gilbert menepuk pundaknya pelan.
"Kau bisa bicara duluan," ucapnya.
Athanasia menunduk sebentar, sebelum akhirnya menatap mata Gilbert. "Aku penasaran, apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
Wajah Gilbert datar dan tanpa ekspresi. Senyum tipis terulas di bibirnya. Matanya menatap Athanasia tepat di matanya. Athanasia menunduk, ia tidak mengerti apa maksud dari reaksi Gilbert. Sepertinya ia salah langkah. Ia ingin segera keluar dari perpustakaan dan pulang ke rumah.
"Sekarang, bolehkah aku bicara?"
Athanasia menatap Gilbert yang tersenyum ke arahnya. Ia mengangguk. Ia sudah membicarakan topik yang mengusik pikirannya, tentunya sekarang laki-laki itu yang bicara.
"Aku ingin berteman denganmu," Gilbert mengulurkan tangannya.
Athanasia menerima uluran tangan itu. "Tentu."
Gilbert tersenyum lebar kali ini. "Senang berteman denganmu. Aku harap kau berhati-hati, Athanasia."
Athanasia menatap Gilbert dengan penuh tanda tanya. Ia tidak mengerti maksud dari kata kata terakhir Gilbert. Ia harus berhati-hati? Terhadap apa? Athanasia hendak membuka mulutnya untuk menanyakan hal itu, tapi Gilbert sudah bicara terlebih dahulu.
"Aku mengajakmu bertemu di sini, karena aku ingin mengajakmu berteman," ucapnya. "Entah mengapa, jika aku bicara padamu di kelas, kau selalu bersama gadis yang bernama Rhea itu."
"Dia sahabatku," balas Athanasia. "Karena itulah, aku sering bersamanya. Lagipula, kami juga bertetangga."
Gilbert tertawa pelan dan mengibas rambutnya pelan. "Aku mengerti. Aku tidak akan menganggu hubungan pertemananmu dengan siapa pun."
Athanasia mengangguk dan mereka bercakap-cakap sebentar di perpustakaan. Athanasia bahkan menyetujui untuk menunjukkan gedung sekolah kepada Gilbert. Mereka berhenti mengelilingi sekolah setelah 30 menit.
"Aku harus pulang sekarang atau aku akan terlambat."
Gilbert menatap Athanasia dan bertanya, "Bagaimana jika kuantar?"
"Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri," tolak Athanasia sambil tersenyum.
Gilbert menunjukkan raut wajah kecewa yang dibuat-buat. "Ah, aku kecewa. Kau wanita pertama yang menolakku."
Akhirnya, Athanasia menerima tawaran itu dan mereka berjalan berdampingan di bawah gugurnya daun-daun maple. Walau begitu, mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sebenarnya, Athanasia merasa pertanyaannya belum mendapatkan jawaban yang pasti dan itu mengganggu pikirannya. Hanya saja, sepertinya Gilbert tidak ingin menjawab pertanyaan itu dan Athanasia tidak bisa memaksa.
"Mungkin hanya orang lain yang mirip."
"Siapa?"
Athanasia tersentak. Ia menyadari Gilbert berdiri cukup dekat dengannya. Mukanya tercondong untuk menatap wajah Athanasia. Hal itu sudah cukup untuk membuat wajah Athanasia memerah.
"Kenapa wajahmu menjadi merah?" tanya Gilbert sambil memegang pundak Athanasia.
Athanasia menggeleng dan mengibaskan tangannya. "Tidak apa-apa."
Gilbert tersenyum dan mereka melanjutkan perjalanan mereka. Selama perjalanan, mereka berbincang-bincang mengenai banyak hal. Athanasia mempelajari bahwa Gilbert berasal dari London dan ia pindah ke sini untuk tinggal bersama bibinya. Gilbert tidak membicarakan orang tuanya dan mungkin itu bukan topik yang bagus untuk dibahas. Athanasia berteman semakin akrab dengan Gilbert. Mereka terus mengobrol hingga akhirnya Athanasia sampai di depan rumahnya.
"Ini rumahmu?" Gilbert menunjuk rumah Athanasia.
Athanasia mengangguk dan berkata, "Kau boleh berkunjung kapan-kapan."
Gilbert mengangguk dan tertawa. "Tentu, aku akan berkunjung. Kau juga bisa berkunjung ke rumahku."
Athanasia memiringkan kepalanya sembari berkata, "Aku tidak tahu di mana rumahmu."
"Ah, aku tidak memberitahumu ya? Rumahku ada di gang sebelah."
Athanasia mengangguk dan tersenyum. "Baiklah, kapan-kapan aku akan mengunjungimu."
Athanasia melambai ke arah Gilbert dan memasuki rumah. Saat Athanasia sudah memasuki rumah, burung-burung gagak bertebangan, dan mengeluarkan suara-suara yang keras. Gilbert menengadah dan menatap langit yang menjadi gelap. Petir mulai menyambar dari balik awan gelap dan suara burung-burung gagak semakin keras. Gilbert melirik ke arah rumah Athanasia, lalu berjalan pergi.
"Ini bukan pertanda baik," bisiknya.
***
Seseorang menatap Gilbert yang berjalan menjauh dari depan rumah Athanasia. Matanya yang berwarna merah menatap tajam ke arah langit.
"Tuan," panggil seseorang.
Orang itu menoleh ke belakang dan mendapati salah satu pelayannya. "Bersiap-siaplah. Waktunya hampir tiba dan kita tidak bisa menyia-nyiakan kesempatan ini."
Pelayannya berlutut dan berkata, "Saya mengerti, tuan."
Orang itu mengalihkan pandangannya kembali ke arah rumah itu dan tersenyum miring. Sekarang, ia akan menguasai seluruh permainan. Ia akan mendapatkan kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya.
"Jangan lupa, awasi orang itu," ucapnya dengan nada rendah. "Selama monster itu masih tertidur, kita harus membunuhnya terlebih dahulu."
Pelayan itu mengangguk. "Tentu saja, semua yang mengganggu harus dibasmi."
Orang itu berbalik dan menaruh tangannya di pundak pelayannya. "Aku mempercayakan semuanya padamu. Habisi semua yang menghalangi rencana kita."
"Saya tidak akan lengah."
Orang itu kemudian berjalan pergi menjauhi rumah itu dan meninggalkan sang pelayan sendirian di sana. Sang pelayan menatap rumah itu dan ia bisa melihat kehidupan yang terjadi di dalam rumah itu. Tuannya benar. Jiwanya belum terbangun dan itu adalah kesempatan. Si pelayan tersenyum dan kemudian menjentikkan jarinya, memanggil sesuatu ke arahnya.
"Waktunya untuk bergerak."
Satu kalimat dan sesuatu itu segera melayang pergi entah ke mana. Si pelayan menatap sekali lagi gadis yang berada dalam rumah itu, mengagumi pancaran auranya, tapi tentu saja itu adalah duri baginya. Tak lama, si pelayan berbalik dan pergi mengikuti langkah tuannya.
***