Reynand melajukan kendaraan memasuki area parkir gedung Pradipta Corporation. Dengan langkah tegap penuh percaya diri berjalan menuju lobi. Setiap karyawan yang melihat sosok pria tampan itu akan menunduk hormat kepadanya. Sedangkan dia hanya balas memandang dingin kepada mereka.
Reynand dikenal sebagai seorang direktur kaku yang memandang dingin penuh curiga kepada tiap orang yang tidak dikenalnya. Dia adalah pria dengan kepercayaan diri tinggi dalam melakukan apapun, termasuk dalam hal mengejar wanita yang ia sukai. Ya, setidaknya hal itu terjadi saat pria itu jatuh hati kepada Sheryl. Walau ia tahu wanita itu telah memiliki seorang kekasih kala itu, Reynand sangat percaya diri terus mendekatinya.
Berbeda dengan masa yang telah lewat itu, kini Reynand tidak tertarik dengan sebuah hubungan. Bahkan wanita bernama Kayla yang sering dibicarakan orang adalah sosok kekasihnya, pada kenyataannya Kayla hanya pendamping yang sering terlihat bersamanya dalam berbagai acara. Begitupun dengan Kayla yang memanfaatkannya menjadi seorang pendamping di berbagai acaranya. Walau sebenarnya ia masih terus berharap cinta seorang Reynand.
Reynand baru saja keluar dari pintu lift di lantai lima belas. Ponselnya tiba-tiba berdering. Tanpa melihat lagi siapa identitas penelepon, ia menjawab panggilan itu.
"Halo," katanya.
"Halo, Rey. Apa kau sudah tiba di kantor?" Suara merdu seorang wanita terdengar.
"Baru tiba di ruanganku. Ada apa, Kay?" balas Reynand karena yang menelepon itu adalah Kayla.
"Acara malam ini kau tidak lupa, 'kan?"
"Apa, ya? Apa aku ada janji kepadamu?" Kening Reynand berkerut memikirkan sesuatu yang ia lewatkan.
"Rey, kau janji menemaniku di acara penghargaan artis dan aktor tahun ini." Suara Kayla terdengar kecewa. Pria pujaan hatinya melupakan janji yang sangat penting baginya.
Reynand yang mendengar jawaban Kayla sontak mengangkat alisnya. "Oh! Aku hampir melupakannya. Apa hari ini?"
"Ya. Kau belum membalas kebaikan hatiku yang menemani waktu berliburmu saat kau patah hati beberapa waktu yang lalu."
"Ya-ya. Baiklah. Nanti kujemput. Jam berapa acaranya?" tanya bos Pradipta itu.
"Tujuh. Jangan sampai telat. Aku menunggumu di tempat biasa."
"Ya." Reynand langsung menutup panggilan telepon.
Kelakuan pria itu memang sangat menyebalkan. Dia tidak tahu sopan santun jika berbicara dengan Kayla. Wanita itu hanya dimanfaatkan olehnya. Dia tidak peduli dengan perasaan Kayla sama sekali. Bukannya kejam, pria itu berkali-kali menolak Kayla, tapi Kayala tidak juga menjaga jarak. Ia terus menempel kepada pria itu. Bahkan saat patah hari, tidak sekalipun Kayla meninggalkannya.
Kling!
Pesan chat masuk terlihat di layar ponsel Reynand. Pria itu meliriknya. Nama Kayla terlihat di sana.
[Haish! Kau benar-benar pria menyebalkan. Kapan kau berubah sopan dan manis kepadaku, Rey? Aku belum selesai berbicara tapi kau sudah menutup teleponku!]
Setengah senyum dingin terukir pada wajah tampan itu. Hanya beberapa detik, Reynand lalu mengubah raut wajahnya. Dia mulai mengetik balasan.
[Tidak akan berubah. Bahkan bila kau adalah wanita terakhir di dunia ini. Jangan berharap lebih kepadaku. Hubungan seperti ini yang hanya bisa kutawarkan untukmu.]
Reynand meletakkan ponselnya kembali. Setelah pesan chat itu, Kayla tidak membalasnya lagi. Pria itu tidak peduli. Dia mencoba kembali pada kesibukannya, walau pikirannya melayang tak tentu arah. Berbagai pemikiran di kepalanya muncul begitu saja.
Ck! Apa aku harus benar-benar hadir di acara itu esok hari? Aku tidak ingin melihat kemesraan mereka di depanku.
Pria itu tiba-tiba merasakan sesak membayangkan pasangan pengantin baru itu sangat bahagia. Sedangkan ia hanya bisa berandai-andai waktu terulang kembali dan ia tidak melepaskan Sheryl saat itu.
Rey, kau menjilat ludah sendiri. Kau bilang, kau menyayangi keduanya. Kau harus bisa merelakan kebahagiaan mereka secepatnya.
Kata hati itu muncul kembali menahan segala kekecewaan atas dirinya di masa lalu. Reynand menarik napas panjang berkali-kali demi menghilangkan rasa sesak, lalu fokus kembali pada pekerjaannya.
***
Reynand melirik arlojinya yang menunjukkan pukul enam sore. Dia baru saja keluar dari gedung Pradipta menuju pelataran parkir.
Seharian itu ia tidak bertemu Aina si kantor. Pekerjaannya lumayan padat. Begitupun dengan Aina yang sangat sibuk. Entah kapan ibu kandungnya itu akan mengambil masa pensiun tanpa harus khawatir akan kondisi perusahaan. Sepertinya ia tidak percaya putranya itu berjalan sendirian saja mengurus perusahaan sebesar Pradipta Corporation.
Ponselnya berbunyi beberapa kali. Telepon dari Kayla. Wanita itu sepertinya tidak sabar menunggunya. Namun Reynand tidak tertarik untuk menjawabnya sama sekali.
"Astaga! Sabar dong, Kay! Aku baru saja akan mengemudi ke sana," keluhnya yang langsung menginjak gasnya lebih dalam.
Beberapa saat kemudian mobil bos Pradipta itu sudah membelah jalanan ibu kota. Di tengah hiruk pikuk pemandangan jalan sore hari, ia tidak banyak mengeluh. Pikirannya masih dipenuhi oleh istri adik tirinya.
Beberapa kali ia menghela napas panjang demi mengusir bayangan yang menari dalam ingatan. Reynand merasakan kesulitan yang amat sangat untuk mengusirnya. Perasaannya terlalu dalam. Ia tidak dapat mengendalikan hal itu walau kejadian itu sudah setengah tahun berlalu.
Sekali lagi ponsel itu berdering. Pria itu melirik ke layar alat yang menempel pada dashboard mobilnya. Nama Sheryl muncul di sana. Sontak mata pria itu membelalak membacanya. Dia buru-buru menepikan kendaraan demi menjawab panggilan itu agar lebih tenang.
Sayangnya saat mobil itu berhasil berhenti di tepi jalan, ponselnya berhenti berdering. Ponsel itu hanya berdering beberapa kali. Seperti panggilan yang tidak sengaja terjadi.
Reynand menghela napas kecewa. Seharusnya tadi ia buru-buru mengangkatnya. Pria itu sangat merindukan suara Sheryl.
"Haish! Bodohnya aku!" rutuknya kepada diri sendiri. Reynand memukul setirnya. Wajahnya terbenam di atas setir mobil sedannya. "Astaga! Aku kenapa, sih? Menyedihkan sekali!" rutuknya kembali.
Suara notifikasi pesan chat tiba-tiba saja mengalihkan perhatiannya. Pria itu sontak menoleh kembali ke layar dan menemukan sebuah pesan chat dari Sheryl.
[Maaf, Rey. Aku tidak sengaja menelponmu. Sebenarnya aku ingin menelepon Kak Reza.]
Lemas. Itu yang Reynand rasakan. Seharusnya ia tidak terlalu percaya diri kalau wanita itu berniat menghubunginya. Sheryl tidak akan ingat kepadanya saat sedang bersama Baruna. Apalagi, mereka sedang berbulan madu.
[Tidak masalah.]
Reynand membalas pesan Sheryl dengan voice note-nya. Balasan pesan itu sangat singkat. Ia menahan dirinya untuk menanyakan hal lain yang mungkin akan membuatnya sakit hati.
[Bagaimana kabarmu? Besok kami akan pulang. Apa besok kau akan menghadiri pesta di rumah Ayah?]
Pria itu memejamkan matanya sejenak sebelum akhirnya ia membalas pesan Sheryl dan melajukan mobilnya kembali menuju tempat Kayla menunggunya.
[Aku baik-baik saja, Sher. Mungkin aku akan datang. Maaf, aku belum sempat mengucapkan selamat untuk kalian.]
Lama ia menunggu dan berharap, tapi pesan itu tidak juga dibalas. Reynand hanya tersenyum getir. Mungkin saja Baruna mengetahui percakapan mereka dan menjadi cemburu karena hal itu hingga Sheryl tidak bisa membalas kembali pesannya.
Pria itu menaikkan kecepatan laju kendaraannya. Selang beberapa lama kemudian, ia pun tiba di tempat janji temu dengan Kayla. Dengan langkah gagah, pria itu berjalan menuju salah satu ruangan.