Nova meletakkan kotak kue coklat di atas meja. Ia lalu menoleh ke kaca jendela, melihat keponakannya dan Kayla duduk berdekatan di luar.
Nova kemudian melirik kue yang barusan ia bawa. "Itu adalah bingkisan yang Kayla bawa untuk Kakak. Cake coklat buatannya. Tidak kusangka, ia begitu perhatian," cetus Nova menggoda Aina.
Aina melirik kotak kue di atas meja. Ia tampak tidak bersemangat. Kembali wanita itu mengaduk teh chamomile-nya. "Ia biasa membawakannya karena aku memuji buatannya yang sangat enak," timpal Aina tanpa balas menatap Nova. Manik matanya memantulkan pergerakan air teh chamomile yang diaduk.
"Hati-hati diabetes, Kak. Cake coklat itu tinggi gula." Nova memperingatkan.
"Iya, Kakak tahu." Aina manggut-manggut tanpa memalingkan wajah dari cangkirnya.
"Melihat Kayla, aku jadi kasihan. Mengapa Rey begitu keras kepadanya? Wanita itu pun sudah menyesali kesalahannya kepada Rey di masa lalu. Okelah jika Rey tidak memiliki perasaan apa-apa, tapi cinta bisa datang seiring dengan berjalannya waktu, 'kan? Keputusan semua di tangan Rey. Dia mau atau tidak membuang beban masa lalunya. Simpel, 'kan?" Tiba-tiba saja Nova menyerocos tanpa henti. Membicarakan hubungan Reynand dengan Kayla yang menurutnya sangat rumit.
"Mengenai Mas Rey dan Mbak Kayla, saya dan ibu baru saja melihat mereka berciuman," celetuk Marni tiba-tiba ikut berkomentar.
"Hah? Ciuman? Mereka berdua?" Kedua alis Nova terangkat. Bola matanya tampak membulat penuh.
"Sstt!" Aina memeringati Marni agar wanita tua itu tidak sembarangan berbicara.
Marni menundukkan kepalanya. Sadar kalau yang baru saja ia lakukan salah. "Teh itu, biar saya saja yang bawakan untuk Nyonya besar," katanya meminta izin. Aina mengangguk, lalu memberikan secangkir teh chamomile untuk Erika.
Sepeninggal Marni, Nova buru-buru menghampiri kakaknya. Masih dengan cengiran antusias, ia kembali berkomentar, "Kakak tunggu apalagi? Kalau sampai mereka berciuman, itu tandanya masing-masing memiliki perasaan yang sama."
"Menurutmu begitu?" Aina mengangkat cangkir tehnya, lalu menyesapnya sedikit, "Sheryl pun melakukannya, tapi dia bilang tidak memiliki perasaan yang sama seperti perasaan anakku kepadanya."
"Haish! Mengapa menyamakan dia dengan anakmu sendiri? Aku yakin kalau keponakanku adalah pria yang bersungguh-sungguh terhadap seorang wanita."
***
Reynand dan Kayla masih duduk di gazebo rumah kediaman Pradipta. Tak ada kata yang keluar dari mulut Reynand menanggapi pengakuan Kayla. Begitupun Kayla yang hanya diam setelah mengutarakan seluruh isi hatinya.
Suara dering ponsel mengalun dari dalam tas tangan Kayla. Wanita itu buru-buru mengambil ponselnya. Panggilan masuk dari ibu kandungnya.
"Mama," ucap Kayla memberi tahu Reynand.
"Jawab saja," timpal Reynand seraya mengambil sebatang rokok dari dalam saku. Menyalakannya dengan pemantik yang ia miliki.
Asap mulai mengebul dari mulutnya. Sementara, Kayla bangkit berdiri berjalan mondar-mandir di tepi kolam renang.
"Iya, Ma. Sebentar lagi aku pulang. Bilang sama Papa tidak usah terlalu khawatir. Aku hanya mengantar kue buatanku untuk Tante Aina," katanya di telepon.
"Benar ya, Nak? Kamu sudah berjanji untuk menjaga jarak dengannya setelah malam penghargaanmu waktu itu. Jika Papamu tahu, ia tidak segan-segan akan menghentikan semua aktivitasmu di dunia hiburan. Ia juga akan menyuruhmu melanjutkan sekolah ke luar negeri." Suara Clarissa—Mama Kayla terdengar mengancam.
"Iya, Mama. Sudah dulu, ya! Aku sudah mau pulang."
"Iya. Hati-hati, Nak."
Kayla menghampiri Reynand kembali. Kepulan asap terlihat di sekitar pria itu. Kayla mengibas-ngibaskan tangannya, mengusir asap rokok yang mengganggu.
"Haish! Berhentilah merokok, Rey! Rokok tidak baik untuk–"
"Kesehatanku? Kau peduli kesehatanku?" Reynand menunjukkan wajah yang dihiasi seringai meledek.
"Lupakan saja! Kau tidak pernah bisa dipengaruhi!" sungut Kayla kesal. Melipat kedua tangannya di dada.
Reynand terkekeh. Ia lalu membuang puntung rokoknya. Ia menginjak benda itu hingga baranya mati tak tersisa.
Kayla memperhatikan tindakan Reynand yang tiba-tiba menurut kepadanya. Padahal biasanya pria itu selalu ketus jika berbicara. Tanpa sadar, wanita itu menyunggingkan senyumnya.
"Ada apa? Mengapa melihatku dengan tatapan seperti itu, huh?" Reynand balik menatap Kayla dengan air muka curiga.
"Tidak apa-apa, Rey," sahut Kayla sembari menahan tawa.
"Hei ... bagaimana bisa tidak apa-apa sedangkan aku melihatmu menahan tawa?"
Kayla mengubah ekspresinya menjadi serius lalu menjawab pertanyaan Reynand, "Ehm, tumben kau menurut. Kalau begini 'kan kau jadi terlihat manis."
Mendengar jawaban Kayla, Reynand sontak bangkit dari duduknya. Ia tampak canggung menanggapi ucapan Kayla. Pria itu membuang muka, menghindari kedua netra Kayla yang memperhatikannya sejak tadi.
"Ah, di sini sudah mulai panas. Ayo ke dalam saja! Bukankah kau ingin bertemu dengan Mamaku?" Reynand mengalihkan pembicaraan. Kakinya mulai melangkah menjauh dari Kayla.
"Rey, tunggu aku!" Kayla mengayunkan tangannya meminta Reynand untuk berhenti sebentar menunggunya. Namun Reynand tidak peduli. Ia terus berjalan menuju kediaman sang ibu.
Reynand dan Kayla berjalan beriringan. Memasuki rumah mewah kediaman Pradipta. Ia mencari Aina dan keluarganya yang lain. Kayla ingin berpamitan.
Aina bersama keluarganya sedang bersenda gurau di ruang tengah. Reynand dan Kayla menghampiri mereka. Seketika suasana menjadi sunyi dengan kehadiran mereka. Tiga pasang mata sontak mengarah kepada mereka.
"Semuanya, Kayla ingin pamit pulang," ucap Reynand membuka pembicaraan. Kayla yang berdiri di samping Reynand mengulas senyum kecil, lalu menundukkan kepala hormat.
Berbeda dengan Mishel dan Nova yang membalas senyum gadis cantik itu dengan cara yang sama. Erika hanya menarik senyumnya selama tiga detik, lalu menatap dingin. Aina bangkit dari duduknya menghampiri Kayla.
"Benar sudah mau pulang? Kita belum sempat mengobrol, 'kan?"
Kayla menganggukkan kepala mantap. "Iya, Tante. Tadi Mama sudah menelepon dan menyuruhku pulang," jawab Kayla sopan.
"Oh, begitu .... Tante titip salam untuk kedua orang tuamu, ya?"
"Iya, Tan. Pasti akan aku sampaikan." Kayla kembali mengangguk.
"Terima kasih atas cake coklatnya. Seharusnya kau tidak usah repot-repot membuatnya untuk Tante. Datang dengan tangan kosong pun, Tante sangat senang. Mengenai Reynand, kau tidak usah mengambil hati atas perkataan pedasnya. Kalian berhubungan baik saja. Kalau jodoh tidak akan ke mana. Ya 'kan, Rey?" Aina melirik Reynand. Membuat semua yang berada di sana ikut mengarahkan pandangan kepada pria tampan itu. Mereka pun penasaran dengan respon Reynand.
"Jodoh juga tetap harus memilih, Ma! Pernikahan itu sekali seumur hidup!" timpalnya sedikit ketus.
Aina menganggukkan kepalanya. Di satu sisi, ia yakin putranya tidak berubah dan membalas cinta Kayla. Ciuman yang tadi ia lihat bukanlah kehendak Reynand. Di sisi lain, Aina tetap merasa kasihan kepada Kayla yang terus mengharapkan balasan cinta dari Reynand.
Walau ucapan Reynand sangat menggondokkan, Kayla hanya bisa mesam-mesem saja di hadapan keluarga Pradipta. Ia harus menjaga image-nya. Apalagi saat matanya mengerling melihat Erika yang menutup mulut dengan telapak tangan. Kayla yakin kalau wanita lanjut usia itu sedang menahan tawanya.
"Aku pulang ya, semuanya," pamit Kayla lagi seraya melambaikan tangan.
"Iya. Hati-hati ya, Nak," jawab Aina lalu menoleh ke arah Reynand, "antar Kayla sampai rumahnya, Rey!"