aku pikir itu kamu
disetiap sudut, disetiap lorong
saat malam aku bertanya
bayang apa di atas langit dan didinding sana
aku pikir itu kamu
...
"Jalan yuk Em, suntuk parah nih! gila aja kita kaya ngk dikasih nafas untuk berleha-leha. ada ngk sih kuliah yang ngk pake susah? "
Emi menggelengkan kepalanya mendengar keluh kesah Dian. sungguh saat-saat seperti ini dia harus menahan sarkasmenya rapat-rapat saat Dian menanyakan "ada ngk sih kuliah yang ngk pake susah".
Ada sih kuliah yang ngk pake susah. kalau bahasa tanahnya Em sih namanya " bakulia" yang kalau mau diterjemahkan berarti "saling liat-liatan". ngk pake susah itu mah!
Dian meletakan kepalanya diatas meja lalu menutup matanya. keadaan kantin yang sangat ramai tak membantu sama sekali menghilangkan pusing yang sudah dirasakannya beberapa hari ini.
" Jadi pusingmu itu karena lagi banyak tugas atau karena ngk bisa shopping? " Emi tidak bisa menahan mulutnya untuk tidak menyinggung kebiasaan berbelanja Dian. Emi merasa kegiatan berbelanja temannya ini sudah agak "mengerikan".
Atau apa memang Emi-nya yang berpikir berlebihan? toh karena gaya hidup mereka yang sangat berbeda. Emi bahkan bisa menghitung kegiatan berbelanjanya hanya sebatas kebutuhan perutnya dan untuk menutup tubuhnya. singkat kata Emi hanya akan berbelanja kalau memang dia benar-benar butuh, bukan hanya untuk sekedar gaya-gayaan atau karena tuntutan fashion. toh Emi juga tidak terlalu memperhatikan fashion kecuali mewarnai rambutnya.
"dua-duanya" didengarnya Dian menjawab.
Dian tentu saja mengetahui kalau Emi sedang menyinggung kebiasaan berbelanjanya. sejak akrab dengan gadis itu, Dian hafal betul sifat Emi yang langsung to the point jika ingin menyampaikan sesuatu.
Emi menggelangkan kepalanya. sifat Dian ini termasuk kategori shopaholic ngk sih?
tidak ingin menyinggung temannya lebih jauh, dikarenakan mereka baru dekat beberapa bulan ini, dan Dian juga berbelanja menggunakan uangnya sendiri, jadi Emi memilih tidak menyuarakan pikirannya.
Dari sekian banyaknya mahasiswa yang yang mengambil jurusan hubungan internasional,
hanya Dianlah yang tertarik untuk mengenalnya. Emi yang dari kampung merasa bersyukur karena akhirnya ada yang "tertarik" dengannya.
Dian itu cantiknya kebangetan, serius!
Emi waktu diajak ngobrol agak insecure juga, pasalnya orang secantik Dian mau-maunya mengajak ngobrol Emi yang saat itu duduk dibangku paling belakang dan paling sudut. posisi yang pas bagi kepribadiannya yang agak introvert.
Bukan cuma kecantikan fisik, Dian juga berkilau dalam bidang akademis. sepanjang proses perkuliahan yang sudah menjelang satu tahun lebih ini, gadis itu begitu aktif bertanya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari dosen.
Emi tentu saja kalau tidak ditunjuk langsung, mana mau bersuara, padahal kuliah di hukum sangat perlu untuk menyuarakan pendapat. hal itu bisa menjadi nilai tambah tersendiri.
Kepribadian Introvertnya ini jika tidak di manage akan berdampak buruk juga bagi dirinya sendiri. karena itu beberapa bulan bergaul dengan Dian, Emi mengarahkan seluruh kemampuannya dalam berkomunikasi.
"Mau kemana memangnya? "
"Ngk tau, kita keluar aja dulu, nanti pikirin lagi mau kemana"
Emi menggelengkan kepalanya. sudah beberapa kali dia menemukan sifat Dian yang spontanitas. sangat berlawanan dengan Emi yang terbiasa merencanakan segala sesuatu dengan matang.
Misalnya saja jika dia ingin pergi ke mall untuk membeli pakaian, Emi sudah tau jenis pakaian apa yang ingin dibeli dan toko mana yang akan dikunjungi. jadi menghemat waktu kan?
lalu ketika diajak Dian untuk melakukan sesuatu yang agak tidak jelas seperti ini, ada sesuatu dalam dirinya yang ikut memprotes. namun karena mengingat Dian satu-satunya temannya disini, maka dengan ogah-ogahan usulan itu diterimanya.
Dan berakhirlah mereka berada di mall besar ini.
ya, tempat refreshing apa yang diharapkan ditengah perkotaan ini? pilihannya hanya itu-itu saja.
Emi hanya menemani Dian memilih pakaiannya sendiri tanpa ikut berpartisipasi. belajar dari pengalamannya yang kemarin-kemarin, ketika dia hampir mati kebosanan menunggu Dian memilih baju, Emi sudah memasukan dua buku sekaligus kedalam tasnya.
seperti saat ini Emi lebih memilih tenggelam dalam lautan kata-kata.
"Em pilih baju deh, aku yang bayarin"
"No"
"Ck"
Dian berdecak melihat Emi yang dari tadi hanya berpusat pada buku ditangannya. Dian tau Emi bosan diajaknya berbelanja. dari sejak mereka bertemu Dian baru melihat Emi sekali berbelanja pakaian, itupun hanya kaos oblong kedodoran dan satu buah overshirt kegemarannya.
Berteman dengan Emi, membuat dia cukup menghafal kegemaran wanita itu dalam berpakaian. Dian juga tau Emi juga begitu menghemat pengeluarannya. ketika beberapa bulan pertama berteman dengan Emi saja, Dian tak pernah melihat sekalipun Emi makan siang di kantin. gadis tersebut cukup sering membawa bekal makan siangnya sendiri dari rumah.
"Heh, lama-lama aku buang juga buku-buku kamu ya, ngk usah baca dulu, ngk capek otak kamu? sini pilih baju, banyak yang lucu-lucu nih"
"Memangnya kamu sudah punya penghasilan sendiri? "
Dian tak menjawab. dia memicingkan matanya kesal. "aku ngk bakalan kelaparan kalau hanya belanjain kamu beberapa potong pakaian by the way"
"Kamu tuh sama kaya aku, masih menengadahkan tangan ke orang tua. lagian aku lagi ngk butuh pakaian baru"
Dian tampak memikirkan sesuatu lalu memutuskan untuk kembali melihat-lihat pakaian.
"Jadi aku bertanya-tanya sendiri, sikap kamu yang sekarang ini, emang beneran ngk butuh pakaian atau emang gengsi ngk mau aku belanjain? "
Emi tersenyum tidak tersinggung sedikitpun dengan pertanyaan Dian.
"Aku memang lagi ngk butuh pakaian. kalaupun memang butuh, aku masih mampu untuk belanjain bajuku sendiri. ini prinsip yang diajarin ke aku, jangan keseringan menerima sesuatu secara gratis, lama-lama itu akan jadi tabiat dan kamu akan jadi orang yang suka untuk berharap pada orang lain, minta-minta dan ngk mau berusaha"
Astaga ini singkong batang kalau sekali ngomong susah untuk ditangkis balik, skakmat namanya. Dian memeletkan lidahnya. bukan bermaksud menghina atau menyepelekan perkataan Dian, bukan, Dian hanya bertanya-tanya kok bisa dirinya berteman dengan orang yang "lurus" banget kaya Emi ini? susah diajak nakal kan ini?
"Emi come on, it just a clothes not diamond "
"Bukan bendanya apa, sudah aku bilang kan? ini masalah prinsip. lagian hampir setiap hari kamu sudah traktir makan siangku di kantin. kamu tau sendiri makan ku banyak.
Untuk hal ini Dian tak memembantah. Dian agak iri juga, pasalnya walaupun kebiasaan makan Emi yang sekali makan, porsinya bisa untuk dua orang, tapi tubuh gadis itu masih oke-oke saja tu, ngk tau dimana dia menampung makanan-makanan yang segitu banyaknya. sedangkan Dian harus bersusah payah menjaga pola makannya agar tubuhnya tak perlu menampung lemak berlebihan.
"Jadi misalkan nih, kamu dalam keadaan yang ngk usah mikirin uang untuk hidup, finansialmu oke, kamu bakalan antusias banget kaya aku sekarang ngk ?kalau lagi shopping.
Emi tersenyum. Dian pasti memikirkan perkataan Emi yang menyinggung kegemaran belanjanya yang mulai tidak sehat.
"Dian darling, aku sama kaya kamu atau wanita lainnya, yang kalau lihat diskon besar-besaran inginnya ngabisin uang but.. " Emi membenarkan posisi duduknya "untuk sekarang aku ngk dalam kondisi bisa membeli apapun yang aku inginkan. sedikit saja aku salah mempergunakan uangku bisa-bisa jatah makanku berkurang dan aku ngk mau menambahkn beban baru untuk papa disana. melihat kerjanya setiap hari saja pengennya semoga masa kuliah ini segera berakhir, lalu aku bisa kerja dan papa bisa beristitahat untuk menikmati masa tuanya"
Dian tersenyum karena baru kali ini Emi berkata panjang lebar bahkan mengungapkan perasaannya. Dian tau gadis yang sehari-hari begitu pendiam ini menyimpan begitu banyak hal yang tak pernah dipikirkannya.
Dian mengingat ketika pertama kali datang ke tempat kos-kosanya Emi untuk beristirahat sebelum melanjutkan mata kuliah sore, dia langsung tertarik dengan satu-satunya foto yang terletak dimeja belajar gadis itu. disana ada nona Yemima duduk dipangkuan seorang pria tampan. lalu ketika diberitahu bahwa pria itu adalah papanya Emi lengkap beserta umurnya, hari itu Dian merengek-rengek ingin dikenalkan sama si "om" yang tidak ditanggapi sedikitpun oleh Emi. dari sini dia tau darimana gen-gen bagus pada Emi itu berasal. papanya Emi itu sebelas dua belas sama George Clooney, ngk ada ubannya lagi. tak heran memang sekarang ini orang-orang gemar menikah dengan orang bule, wong kalau sekali berkembang biak bisa dapat anak-anak modelan aktor dan aktris hollywood, siapa yang ngk mau?
Dian juga sudah ingin sekali menanyakan sosok ibu yang tak tampak pada satu-satunya foto yang ada dalam kamar gadis tersebut, namun urung dilakukannya mengingat selama ini Emi hanya membicarakan tentang papanya. dengan kepribadian Emi yang tertutup itu Dian cukup tau batasannya. jika suatu saat Emi mau membicaraknnya, tentu Dian akan menjadi pendengar yang baik.
"Beneran deh Em, kalau liat kamu sama om, aku langsung mengubah pikiranku tentang penampakan kaum kalian"
Emi mengerutkan keningnya "sejelek itu ya, kami orang timur dipikiran kamu? "
"No, bukan itu, lebih ke physical shape kalian sih" Dian buru-buru menjelaskan maksudnya, melihat raut wajah Emi yang mengerut.
"Itu rambut ngk di smoothing kan? "
Emi tertawa, sepertinya kegiatan refreshing versi Dian hari ini tak terlalu buruk seperti pemikirannya.
"You think all of our people have a curly hair and black skin? " Emi bertanya dengan pendangan heran dan terkejut.
Dian tersenyum sambil menganggkat ke dua jarinya. Emi tak bisa menyalahkan Dian, toh selama ini orang digiring untuk hanya terpaku pada ciri-ciri orang maluku yang itu-itu saja seperti dalam iklan atau film yang kebanyakan merepresentasikan ciri-ciri orang Maluku yang berkulit hitam atau berambut keriting. padahal sih tidak semuanya memiliki ciri-ciri yang sama. berbeda dengan wilayah di timur lainnya yang memiliki ciri fisik sama, Maluku cenderung beragam.
"kalau kamu tau seberapa ajaibnya Tuhan mengawinkan berbagai kultur dan etnis menjadi perpaduan yang unik, kamu ngk bakalan kaget"
"Noted" Dian menggerakan jari telunjuknya membuat tanda centang.
"Makan yuk non, ke KFC aja ya, aku pengen makan ayam"
Emi memasukan bukunya kedalam tas kain kecil yang selalu dibawanya kemana-mana.
"Bayarnya sendiri-sendiri ya? yang kemarin aja kamu yang traktir" Emi menarik tangan Dian "ini perintah" tambahnya lagi ketika Dian sudah akan membuka mulutnya.
"By the way marga Van Delsen punyanya orang Belanda apa jerman sih?"
" setahu aku Belanda. di Maluku sana bukan cuma Van Delsen saja marga peninggalan masa penjajahan, ada marga Van de kock, Van Houten, Rubrege, Belder, Breekland, ada banyak lagi"
"Bule juga tampangnya? "
"Iya, bahkan ada yang matanya cantik banget"
"Aku ngk heran sih, wajah kamu sama om aja mirip banget sama orang-orang disana"
"Cantikan kamu, Indonesia banget"
Dian tersenyum, dia memang berdarah nusantara tulen, wajahnya ayu keturunan sunda dari mamanya. di tatapnya lagi wajah Emi yang selama beberapa bulan ini sudah tidak se-tan lagi dibanding awal-awal mereka menjadi anak kuliahan. kulitnya kini sudah berubah menjadi sawo matang dan mungkin juga akan berubah dalam beberapa tahun kedepan, mengingat kulitnya yang mudah sekali beradaptasi dengan kondisi tempat tinggalnya sekarang.
"Tapi teman-teman sekelas banyak yang tanya-tanya tentang kamu Em"
"Ngk ada yang menarik juga dari aku, mereka nanya apaan? "
"Kamu tuh cantik, sadar ngk? "
Emi menatap Dian seperti kepala gadis itu akan tumbuh satu lagi. mengerti arti tatapan mata Emi, Dian berdecak sebal.
"Kamu mau ngk jadi anak tiriku? papa mu, oh my God"
Emi menggelengkan kepalanya sudah terbiasa dengan perubahan topik mendadak jika sedang mengobrol dengan Dian. juga dia cukup menghafal tingkah gadis itu. Emi cukup tak menanggapinya dan gadis itu akan berhenti sendiri. lama-lama dia ngeri juga saat sesekali perkataan Dian yang ingin menjadi ibu tirinya terselip didalam benaknya dikarenakan gadis itu terlalu sering mengatakan hal konyol itu. astaga jangan sampai!
lalu perbincangan mereka terus berlanjut sampai ke asal-usul Emi dan keluarganya. Emi menggelengkan kepalnya mengusir pikiran-pikiran yang secepat datangnya sama dengan secepat perginya ketika dengan antusias Dian menyakan banyak hal mengenai Emi dan papanya.
Namun dari semua itu, ada hal baik yang ditemukannya hari ini. perbedaan ternyata semenyenangkan itu untuk diterima, sebegitu santainya jika dibicarakan dengan tujuan yang benar. sesantai menikmati ayam goreng di KFC ternyata!
Emi melarikan pandangannya kejalanan ibu kota. lampu-lanpu jalan mulai dinyalakan, sebersit rindu terbang jauh kesana, ke tempat kelahirannya, kepada papanya yang mungkin senja ini menatap langit yang sama dengan dirinya. dalam pikirannya dia bisa membayangkan dia berada di sana. di rumahnya yang langsung berhadapan dengan pantai. dibawah pohon ketapang, Emi bergelung nyaman dikursi santai sambil mendengar petikan gitar papanya, memainkan lagu-lagu daerah dan lagu-lagu tentang kerinduan terhadap kekasih yang cukup sering dinyanyikan papanya. gulungan ombak dan semilir angin pantai menambah suasana romantis yang magis. matanya menjadi buram. Emi rindu papanya!
lalu secepat cahaya, ingatannya membawa dia kembali mengingat pertemuan menggelikannya dengan laki-laki itu. dia masih ingat laki-laki itu mengatakan mereka akan bertemu lagi, lalu beberapa hari ini Emi mengharapkan mereka akan benar-benar bertemu. harapan yang entah kapan lahirnya. Emi bahkan mengira-ngira skenario menggelikan apa lagi yang akan menjadi latar pertemuan mereka berikutnya.
Sudah seminggu sejak saat itu.
Untuk mengakhiri hari ini, Emi menutup matanya sejenak, menautkan kedua telapak tangannya menjadi satu lalu mengucap syukur pada sang pemberi hidup.
Dia sudah akan berbaring ketika sebuah pesan whatsup masuk, dibacanya pesan itu. dia tak dapat menahan senyumnya.
I got your phone number
sleep tight nona manis!
Ah si Gara Gara ini!