Jordan menepikan mobilnya saat ponsel Renita yang ia sembunyikan di dalam dashboard terus saja berdering, sempat ia ganti mode senyap sebelum kembali ke pengaturan awal. Jordan mengernyit tanggapi nama Barra kembali terpampang di layar ponsel Renita, ia tak habis pikir, sudah sangat jelas kalau Barra memang mengejar Renita, atau justru sengaja membuat Jordan kesal.
Gadis itu sengaja Jordan tinggal sendiri di apartemennya sekitar pukul sembilan, berharap kalau Renita lekas beristirahat agar demamnya sembuh, mungkin gadis itu bebal—membiarkan tubuhnya tetap beraktivitas meski dilanda rasa sakit serta nyeri kepala.
Jordan angkat panggilan dari Barra, menghidupkan loudspeaker tanpa mendekatkannya ke telinga. "Hallo, lo bebal apa gimana? Nggak usah gangguin Renita lagi, anjing!"
Terdengar kekehan Barra. "Ternyata lo beneran sama dia? Sampai hp masih lo pegang, gila, gila, gila. Dia cewek gue, Man. Jangan asal rebut dong."
Brak!
Tawa Barra kian kencang saat ia mendengar suara gebrakan yang berasal dari tangan Jordan usai pukul kemudi, emosinya memang begitu mudah dipancing meski lewat tutur kata.
"Mending kita ketemu sekarang, lo pengin banget fight sama gue dari lama, kan! Sekarang kita realisasikan semua, di mana lo, bangsat!" Rahang Jordan mengatup keras, ia remas ponsel Renita saat kekesalan makin membuncah.
"No, no, no. Belum waktunya, gue masih kasihan sama kondisi fisik lo sekarang, yakin masih sanggup fighting?" Kekehan Barra tiada henti-hentinya, mengejek Jordan setelah semua tragedi yang terjadi. "Eh ya, soal Renita gimana? Lo apain dia sampai mau hpnya disita? Lo kurung dia? Di mana? Biar gue yang jadi pahlawannya."
"Lo nggak bakal ketemu sama dia, mati lo!"
"Sumpah ketawa gue nggak bisa berhenti, Jordan, Jordan ... lo nggak tahu apa kalau semua bagian yang Renita punya udah gue sentuh, lo mau sama bekas orang? Lo mau? Maevell Jordan mau sama bekas gue." Barra sepertinya iblis, Jordan langsung lempar ponsel Renita ke kursi penumpang hingga jatuh di ruang kaki, membuatnya meremas rambut dengan gemas, memukul kemudi berkali-kali tanpa memedulikan beberapa orang yang menatapnya dari trotoar sisi jalan.
Jordan lajukan lagi mobilnya tanpa melepas segala terkaan dari pengakuan Barra tadi, membuatnya menginjak gas lebih kencang hingga jarum speedometer mobilnya hampir menyentuh angka terakhir, padahal bukan hal yang baik saat ia melajukan mobil di jalanan yang sama sekali tak lenggang. Beberapa kali mendengar makian dari pengendara lain, tetap tak membuat Jordan menurunkan kecepatan laju mobilnya. Ia bisa berbuat apa pun sesuai kehendak sendiri, seperti biasanya. Bahkan sebelum malam ini, balapan liar dengan arena jalanan yang dipadati laju kendaraan lain adalah hal biasa.
Seringkali menganggap kegilaan yang dibuatnya bersama teman-teman adalah sebuah lelucon, tapi berbahaya bagi orang lain. Belum lagi arena fighting yang tak pernah absen ia datangi, mudah mendapatkan uang lewat adu jotos di atas ring, tapi roda bisa berputar kapan saja, entah cepat atau lambat. Jordan hanya berpikir kalau dunianya sedang redup, bukan benar-benar mati.
Mobil Jordan menepi di pelataran sebuah diskotek, tanpa perlu diterka pun orang-orang akan tahu—kenapa mereka datang ke sana, tak mungkin kan minum kopi? Jordan sendiri duduk di balik meja bartender, persetan dengan euforia kerlap-kerlip di sekitarnya, saat ini hanya nama Renita yang terus mendengung di telinga, menjadi satu hal yang cukup mengesalkan.
"Beer satu." Jordan tatap bartender yang kini memberikan sebotol beer pada Jordan, membiarkan laki-laki itu meneguknya sedikit demi sedikit seraya pikirkan pengakuan Barra yang belum tentu kebenarannya, tapi demi setan yang kini merasuk dalam tubuh Jordan, ia lekas meneguk habis beer tadi, meletakan uang di bawah botol yang kosong sebelum beranjak pergi. Alhasil, ia tak benar-benar mabuk hanya karena sebotol beer, tapi aroma alkohol tetap takkan menyingkir dari uap mulutnya.
Ia kembali lajukan mobil tinggalkan area tempat yang selalu ramai saat malam tiba itu, membiarkan pikiran warasnya tetap bertahta meski separuh tubuh mulai dikuasai setan. Dalam perjalanan menuju apartemen, beberapa hal kembali mengusik Jordan, ia teringat saat melihat Renita membonceng Barra hari itu, belum lagi telepon Barra yang mengkhawatirkannya benar-benar membuat Jordan cemburu berat.
Mobil sudah berhenti di area basement, pemiliknya turun seraya menyugar poni, menarik napas berkali-kali saat memantapkan hati dengan keputusan yang dibuatnya. Langkah lebar Jordan sudah lalui lobi, kini tiba di dalam lift seraya menekan tombol nomor yang akan membawa Jordan menemui unit apartemennya.
Laki-laki itu merangkai kode, masuk apartemen dengan langkah pelan dan berhati-hati, ia tersenyum penuh arti saat lihat pintu kamar Renita tertutup rapat, kini Jordan hanya perlu memulai kepura-puraannya berada dalam pengaruh alkohol, meski bukan itu tujuan sebenarnya.
Jordan mengetuk pintu, menunggu dengan sabar hingga pemilik kamar keluar, saat ia lihat kenop bergerak—maka tarikan napas berlangsung—sebelum akting pura-pura mabuknya ia realisasikan pada gadis yang kini membuka pintu kamarnya.
***
Renita termangu, ia menarik selimut lebih rapat ketika tubuhnya sama sekali tak dililit sehelai benang pun, posisinya miring menatap jendela kamar di sisi kanan, nanar dalam rasa sakit yang kini ia simpulkan sendiri sejak kehadiran Jordan dalam hidupnya. Dunia Jordan sejatinya pekat, dan Renita seputih kapas, tapi kini mulai abu-abu sejak setetes pekat menyentuh putihnya, menjadi tak cerah lagi seperti dulu.
Air shower berhamburan menyentuh setiap inci bagian tubuh Jordan yang hanya dibalut celana pendek, ia berdiri di bawahnya dengan telapak tangan kiri menyentuh tembok, ia menunduk biarkan air terus menghunjamnya, menikmati proses itu.
Denting jarum jam seolah bergerak lambat saat diri masing-masing merasa ingin memutar waktu saja, ingin memundurkan waktu sebelum malam tadi, ingin menyingkirkan pikiran nekat masing-masing sebelum penyesalan benar-benar menjadi satu hal yang tabu.
Jika Rere tak pulang telat malam itu, ia takkan bertemu Jordan, cerita ini akan berbeda tentunya, takkan ia dapatkan satu hal mengerikan yang sejak lama selalu dijaga saat orang lain sibuk mengolok-olok, menuding anak pelacur yang akan mengikuti jejak sang ibu. Sedangkan kepergian Renita ke Jakarta sebut saja cari aman, menenangkan diri sendiri—ketimbang tetap berada di Bandung dan membuat dirinya benar-benar menjadi pelacur seperti keinginan Selina.
Cahaya matahari yang menyorot jendela kamar utama tak mampu masuk ruangan saat pemiliknya sama sekali enggan beranjak dari ranjang sekadar membukanya, membiarkan matahari menyapa. Renita hanya merasa kalau tubuh yang menampung sang jiwa seakan mati rasa, tak sudi lagi bergerak ketika pilar yang ia bangun agar kokoh tiba-tiba diruntuhkan dengan mudah.
Mata gadis itu tampak sayu bercampur wajah lesu nan sendu, kenapa matahari masih bisa dilihatnya hari ini, padahal Renita bersungguh-sungguh kalau ia enggan melihat matahari hadir esok pagi, tapi nyatanya semesta berbeda pendapat, mereka masih ingin melihat kelangsungan hidup gadis yang merasa seluruh dunianya makin rapuh, ambruk tanpa tenaga.
Kini cahaya matahari terus bergerak naik, tak lagi menyorot jendela kamar utama setelah waktu terus saja bergulir hingga perlahan digantikan sebuah sunset di ujung barat, tapi gadis itu tetap tak beranjak dari ranjangnya. Mati dan mati, Renita harap semudah itu.
Seseorang berdiri di balik pintu kamar, mengangkat tangan bersiap mengetuknya, tapi Jordan ragu, ia luruhkan lagi. Laki-laki itu menunduk dalam diam, tak tahu harus seperti apa setelah semua yang terjadi sebelum hari ini benar-benar membuatnya ingin memaki diri sendiri, jika saja Jordan tak mudah emosi, mungkin cerita hari ini juga akan berbeda. Renita pasti akan keluar kamar, membuatkannya sarapan atau barangkali sudi duduk di sebelahnya seraya memutar konsol di depan televisi seraya terbahak kencang, bukan diam yang mengerikan.
Saat Jordan memutar tubuhnya, tiba-tiba pintu terbuka, perlihatkan sosok yang tampak mengerikan bersama rambut acak-acakan, baju yang Renita pakai pun baju kemarin malam, ditambah tatapan nanar tanpa ekspresi nan pucat. Benarkah dia Renita?
"Re—"
Gadis itu angkat tangan kanan, membuat Jordan berhenti bicara, membiarkan Renita melewatinya dan bergerak menuju dapur. Nyatanya, Jordan tetap mengikuti saat ia merasa bisa berkomunikasi lagi dengan Renita.
Gadis itu menatapnya dengan alis bertaut saat dapati Jordan muncul di ambang pintu dapur, membuat Renita yang hendak meneguk air mineralnya langsung melempar benda itu pada Jordan hingga suara pecahan kaca memenuhi isi ruangan.
"Re—"
"Siapa yang mau bicara sama kamu! Dasar iblis!" Dada Renita naik turun saat amarah mulai menjalar ke sekujur tubuh, kering kerongkongan sejak semalam kini diabaikannya.
"Gue tahu kalau gue salah, kita bisa ngomong sebentar, kan?" Suara Jordan terdengar lembut, ia mendekat saat Rere justru bergerak mundur hingga terdesak pada tembok di dekat tempat cuci piring, membuatnya tak bisa menghindari Jordan lagi.
"Minggir, setan!" Gadis itu mulai kasar, mendorong Jordan agar pergi.
"Re, please."
Plak!
Tamparan tangan kanan akhirnya mendarat di tempat seharusnya, kantung mata Renita begitu kentara setelah semalam ia tak bisa tidur sama sekali, hanya menangis dan menangis setelah menyadari mimpi buruk yang selalu ia hindari ternyata menipunya dengan berubah wujud menjadi makhluk bernama Maevell Jordan.
"Gue nggak apa-apa."
Plak!
Tamparan dari tangan kiri akhirnya menyusul, lalu berlangsung pada tamparan-tamparan lain saat Jordan diam saja menerima amuk Renita yang sepatutnya, Jordan merasa semua itu pantas, sekalipun sakit—tetap takkan menghilangkan luar dalam sakitnya Renita, hal berharga yang tak mungkin kembali.
"Kamu itu iblis, Jordan! Kamu iblis! Mati kamu!" Renita mendorongnya sekuat tenaga, tak sia-sia saat Jordan mundur beberapa langkah ke belakang. Gadis itu bergerak cepat menarik sebuah pisau di dekat penanak nasi, tapi tak mengarahkannya pada Jordan, melainkan urat nadi kiri milik sendiri.
"Re, jangan gila!" Jordan mendelik tak percaya, bagaimana bisa Renita senekat itu, satu gores saja bisa membuyarkan segalanya, satu gores saja. "Jangan, Re. Kalau mau tusuk, gue aja."
"Kalau aku mati! Kamu nggak bakal gangguin lagi." Renita menunduk tatap kedua tangannya, meyakinkan diri untuk benar-benar mengakhiri hidup—ketimbang merasa seperti pelacur yang bisa ditiduri dengan mudahnya.
"JANGAN!!!" Beruntungnya tendangan kaki Jordan mampu menepis pisau hingga terjatuh ke lantai, saat Renita hendak meraihnya, Jordan langsung menarik pinggang gadis itu, mengangkatnya meski kini Renita memberontak—bahkan lebih beringas dari sebelumnya.
"Lepas! Aku mau mati aja daripada lihat iblis berwujud manusia kayak kamu!"
Jordan membawanya menuju kamar di lantai dua, menutup pintu sebelum lepaskan tubuh Renita, gadis itu lantas memukuli Jordan lagi, meluapkan segala kekesalan yang entah kapan berakhirnya.
"Baiknya mati aja! Mati aja!" Renita berusaha membuka pintu, tapi lagi-lagi Jordan menariknya, menyudutkan gadis itu pada tembok di ujung ruangan—tepatnya di dekat pintu.
"Renita, lo boleh marah, gue nggak akan ngelarang, tapi please jangan niat buat pergi selamanya, jangan." Jordan memeluknya, benar-benar ketakutan hadapi sikap Renita yang begitu kontradiksi dengan karakter asli gadis itu, iblis seperti merasuk di sana. Namun, gadis itu menunduk dan gigit leher Jordan kuat-kuat hingga pemiliknya mengerang—refleks mendorong Renita sampai bagian belakang kepalanya membentur tembok.
"Argh—" Tangan kanan Renita menyentuh bagian belakang kepalanya, menutup mata sejenak. "Bunuh aja, Jordan. Bunuh aja."
"Enggak, Re. Enggak." Jordan makin merasa bersalah, ia tak ingin lagi Renita memberontak seperti tadi, membuat satu hal kasar kembali terjadi. Jordan menangkup wajahnya, mengecup bibir Renita hingga berlangsungnya pagutan pelan yang begitu lembut, tapi setelahnya ia kembali mengerang saat Renita menggigit bibir Jordan sampai berdarah. Laki-laki itu langsung lepas pagutannya, menyeka darah sejenak tanpa alihkan bola mata dari Renita. "Ini nggak akan berakhir, Re. Sekalipun salah gue sebesar dunia, gue nggak akan mundur buat bisa miliki lo selamanya." Ia reguk lagi bibir itu, persetan dengan bibir yang terasa perih oleh luka dari Renita.
***