Chereads / Temporary Deja Vu / Chapter 23 - Rapunzel harus pulang.

Chapter 23 - Rapunzel harus pulang.

Perlahan kain kasa yang melingkari lengan kiri Renita mulai terlepas saat seseorang sibuk melakukannya dengan lembut meski sesekali gadis itu meringis rasakan perih di sana, tapi setelahnya tak ada ekspresi lain, masih suram seperti sebelum-sebelumnya. Jordan tak tahu cara menemukan sesuatu yang tepat agar mengubah rona abu-abu di wajah Renita, ia ingin merah muda.

Gadis itu duduk di sudut sofa, menekuk lutut membiarkan tangan kanan saja yang memeluknya saat tangan kiri sibuk disentuh oleh Jordan, menggantikan kain kasa yang baru dari luka goresan pisau tempo hari. Bola mata Renita menatap lurus ke depan, tapi bukan pada layar plasma screen yang menyala tampilkan beragam program pagi ini, entah ke mana.

Ada segelas susu cokelat dingin serta setangkup roti berselai tergeletak di permukaan meja, semua Jordan yang menyiapkannya sendiri, mulai ada rasa empati menelusup dalam diri laki-laki itu, sedikit berperasaan. Jika di rumah, membuat roti tawar untuk diri sendiri saja tak pernah, ia hanya tinggal makan dan berkomentar.

Urusan Jordan pada lengan Renita telah selesai, ia pindahkan kotak P3K yang sempat dipangkunya kini beralih ke permukaan meja, berganti menatap Renita yang masih pamer ekspresi datar, membingungkan.

Jordan meraih setangkup roti yang masih utuh, ia mengarahkannya di depan wajah Renita. "Sarapan dulu, Re." Nyatanya, Renita menggeleng. "Sakitnya belum sembuh total. Makan, dikit aja nggak apa-apa."

"Kamu aja." Suara Renita begitu tipis, setipis kain satin.

"Re, aku minta maaf, aku nggak akan kasar lagi sama kamu."

Apa tadi? Aku? Apa Jordan tengah belajar bertutur kata lebih lembut kali ini, panggilan itu berhasil membuat Renita menoleh padanya.

"Kamu?" Renita tersenyum miring. "Aku mau pulang, itu keputusanku, mau seperti apa tempat ini bukan tempatku. Paham, nggak?"

"Tapi, Re—"

"Jordan, kita sama-sama udah dewasa. Bukan begini cara menanggapi masalah. Kamu ngaku cinta? Bukan cinta namanya kalau kamu kurung aku di sini setiap hari, cinta itu membahagiakan pasangannya, bukan memenjarakan dan bikin dia sedih setiap hari." Tarikan napas Renita berlangsung, ada bola mata berkaca, tapi ia langsung beranjak tinggalkan Jordan menuju kamarnya. Laki-laki itu luruhkan roti tadi, meletakannya pada piring ceper sebelum menoleh pada jendela geser yang perlihatkan cahaya matahari pagi, kenapa sikap Renita padanya tak lagi hangat seperti dulu. Jika Jordan sudi mengoreksi, mungkin ia bisa temukan jawabnya.

Renita masih duduk di tepian ranjang saat Jordan memasuki kamarnya tanpa mengetuk pintu, tatapan kosong masih bernaung di sana, memperlihatkan seberapa galaunya seseorang. Jordan duduk di sisi Renita meski setelahnya gadis itu bergeser, memberi jarak.

"Re—"

"Jordan, cinta nggak kayak gini. Kalau kamu cinta, biarin aku jadi apa yang aku mau, jangan mengekang. Cinta itu nggak membatasi, gimana aku bisa cinta kalau sikap kamu begini? Posesif." Objek tembok di depannya tampak lebih menarik ketimbang Jordan yang kini beranjak, berdiri di depan Renita sebelum berlutut dan sentuh sepasang tangan gadis itu.

"Maaf, Re, maaf." Ia menunduk sandarkan kening di kedua tangan Renita. "Kalau kamu pulang, jangan berhubungan lagi sama Barra, ya?" Sikap Jordan benar-benar seperti anak kecil yang manja dan penuh tuntutan.

"Hm."

Jordan mengangkat wajah, menatap lekat wajah Renita yang masih enggan melihatnya. "Serius, kan? Kamu pakai hp yang aku kasih, kita bisa pulang hari ini. Tapi—"

"Apa?"

***

Sepasang mata Renita terpaku pada wanita yang duduk di tengah ranjang, bersila seraya tatap langit-langit kamar, sesekali tertawa saat kedua tangannya seakan menggapai sesuatu di atasnya. Padahal, tak ada apa-apa di sana. Renita menoleh pada Jordan yang berdiri di belakang gadis itu. "Siapa?"

"Ibu." Satu pengakuan yang membuat dada Renita terasa dihimpit dari berbagai sisi, begitu sesak dan pengap. Renita meraih tangan Jordan, menariknya tinggalkan ruang rawat Mawar.

"Aku tanya sekali lagi, dia itu siapa?" Renita menarik Jordan hampiri ayunan besi yang berada di halaman tempat itu, tampak sejuk oleh sapuan angin serta rindangnya pepohonan di sana, tak banyak daun berguguran saat setiap pagi dan sore petugas kebersihan selalu membersihkan tempat itu, memberi rasa nyaman meski perasaan siapa pun akan diaduk-aduk hingga remuk jika berkunjung ke tempat—yang mana isinya penderita kejiwaan semua.

"Dia itu ibu." Kali ini ekspresi Jordan tampak meyakinkan, ia sampai sentuh kedua bahu Renita yang duduk di seberangnya. "Ibuku, Re. Kamu kira aku bohong?" Jordan terkekeh hambar. "Yang benar aja, ngapain bawa orang ke tempat beginian kalau nggak ada yang mau dijenguk." Jordan menarik tangan Renita meski pemiliknya masih mematung memikirkan sesuatu, ada rasa tak percaya menjalar. Ia bawa gadis itu memasuki ruang rawat ibunya, meyakinkan keraguannya.

"Tan-tante?" Renita tersenyum seraya ulurkan tangan, tampak bergetar menahan sesuatu bergejolak dalam dada, bola mata gadis itu mulai berkaca saat tak ada tanggapan apa-apa dari Mawar, seolah tangannya tak terlihat—atau bahkan merasa tak ada siapa pun di sekitarnya. Mawar masih sibuk menatap langit-langit kamar bersama segudang fantasinya, ia takkan pernah peduli pada ekspresi siapa pun yang datang berkunjung, sebab sedihlah yang membuatnya seolah mati rasa, kesakitanlah yang begitu lama menyiksa hingga rasa hati cukup kebal dan membeku.

Persetan dengan Januar yang kini menikah lagi, merealisasikan pengkhianatannya menjadi nyata, berbahagia dengan perempuan lain saat istrinya justru dicap sebagai orang gila di luar sana. Manusia egois memang takkan pernah memedulikan orang lain, sibuk dengan urusan sendiri tanpa menoleh kanan kiri.

Renita luruhkan tangan saat ia tetap tak berhasil dapatkan tanggapan apa-apa, bola mata kemerahan itu akhirnya banjir air mata meski berkali-kali ia seka, saat Jordan hendak mengusapnya—ditepis begitu saja, ia sanggup jika harus menghapus air mata sendirian. Renita hampiri ambang pintu sejenak, berdiri di sana seraya menunduk biarkan air di wajahnya semakin deras, tiba-tiba sesenggukan terdengar—membuat Jordan menghampirinya, menyentuh bahu Renita yang kini bergetar.

"Kita pulang aja, salah emang kalau bawa kamu ke sini, Re," sesal Jordan, ia sentuh kedua lengan Rere, mengarahkannya agar saling menatap, jelas sudah air mata yang masih membumi di sana. "Aku minta maaf buat kamu sedih lagi, aku minta maaf."

Renita menggeleng, ia menoleh pada Mawar yang tetap tak peduli akan kehadirannya, rasa sakit seperti disayat-sayat langsung terasa. "Kenapa ibu kamu sampai begini?"

Jordan tidak menjawab, ia tarik Renita dalam rengkuhnya. "Aku bawa kamu ke sini biar kenal sama ibu, kamu nggak perlu kenal ayah, cukup ibu aja. Nanti kita bisa gantian, nanti giliran aku yang kenal orangtua kamu, Re. Kalau sekarang kamu malah sedih begini, kayaknya aku salah besar, aku minta maaf, ya."

***

Mobil menepi di dekat gang masuk area kost tempat Renita tinggal, Jordan terpaksa merelakan gadis itu pulang sesuai keinginan Renita meski ia sama sekali enggan, ia ingin melihatnya setiap hari, menjadikannya sosok yang pertama dilihat kala terbangun dan terakhir ditatap sebelum terlelap, sesederhana itu meski kenyataannya terlampau sulit. Rapunzel harus pulang hari ini, Jordan belajar menjadi manusia yang tak egois, pelan meski rasa kesal mulai menjerat lehernya.

Renita masih bergeming tanpa memberikan tanda-tanda ingin turun, sejak pulang dari panti rehabilitasi tempat Mawar berada, gadis itu kian membisu. Jordan memang salah sasaran, ia yang semakin membuatnya diam seribu bahasa—padahal niat Jordan sekadar memperkenalkan meski berujung menyakitkan.

Jordan menyentuh punggung tangan kanan Renita, mengusapnya pelan meski si pemilik masih terbuai lamunan, bola mata gadis itu entah menelisik jauh ke mana, yang jelas sang raga masih di sana meski inginnya Jordan membawa lagi pulang. Situasi belum berpihak sama sekali, ia belum miliki hak penuh atas Renita meski kegilaan yang dibuatnya sudah lewati batas.

"Kamu mau turun atau nunggu aku berubah pikiran, Re?" Jordan buka suara.

"Maaf." Renita tarik tangan kanan saat Jordan masih sibuk mengusap, ia lepaskan seat belt sebelum membuka pintu, hendak keluar sebelum lengannya ditahan oleh Jordan. "Kenapa?"

"Janji satu hal sama aku, ya, Re. Jangan tinggalin aku buat siapa pun." Ada jeda sejenak saat binar mata Jordan meredup. "Aku takut, takut berakhir seperti ibu."

Renita mematung sejenak, ia dapati ketakutan di sudut bola mata laki-laki itu, tangan Jordan meluruh kaitkan jemarinya di antara celah milik Rere, mengunci—berharap hal sederhana itu bisa berlangsung selamanya.

"Kalau aku tahu hidupmu, kamu juga berhak tahu hidupku, yang jelas—hidup kita sama-sama nggak sempurna, aku bukan anak kecil lagi yang bisa nangis kalau minta robot aja nggak dibeliin."

"Jordan—" Rere menunduk tatap erat tangan Jordan pada miliknya. "Nanti, besok kalau aku nggak sibuk—kita bisa jenguk ibu kamu lagi, ya." Ia pamerkan sedikit rona penuh semangat yang sempat meredup sejak Jordan membawanya ke apartemen, Renita miliki lagi alasan kenapa besok matahari masih bersinar, sebab banyak yang perlu dibahagiakan meski tidak setiap hari.

Jordan mengangguk. "Hati-hati." Terpaksa ia loloskan tangan Renita meski tak ingin, membiarkan gadis itu kembali pada dunianya meski Jordan sudah berhasil masuk—bahkan memporak-porandakan semuanya.

"Bye." Renita semakin mundur dan menutup pintu, ia melangkah memasuki gang sebelum terhenti di dekat tempat sampah dan menoleh seraya lambaikan tangannya, kini mobil Jordan melaju pergi, menjadi awal bagi keduanya untuk lanjutkan dunia masing-masing.

***