"Bagaimana hasilnya pahlawan? Kau berhasil meringkus dan memenjarakannya?" kalimat pertama yang menyambut kedatangan Fang. Jim duduk di kursi santai, bersama pamannya.
"Hmm, dia melarikan diri," jawab Fang rendah, lantas menutup pintu.
"Kau membuang-buang waktuku saja Fang. Tadi itu bisa saja kita langsung pergi menemui raja. Ini pertemuan sepekan sekali," balas Jim mengeluh.
"Jadi kita hanya bisa menemuinya di pekan depan?" tanya Fang.
"Semua sudah dijadwal Fang," jawab Jim.
"Oh, ayolah Jim. Apa yang kalian bicarakan? Biarkan temanmu itu duduk dan menikmati biskuit buatan ku. Kemarilah nak! Kau percaya aku hanya bisa menempa? Orang-orang di sini sangat suka biskuit buatan ku," pamannya Jim seolah melerai kami. Tampaknya, ia tidak suka membahas sesuatu yang sudah tanggung terjadi. Lebih baik pikirkan sesuatu yang lebih bermanfaat untuk ke depannya.
Fang memilih untuk menurutinya. Ia menarik kursi dan duduk berdekatan. Tapi Jim masih saja memijat keningnya.
"Harusnya aku tadi membantumu supaya cepat meringkus dan membawanya sekalian ke penghakiman," sahut Jim.
"Hey, sudahlah nak. Tak perlu membahas yang sudah terjadi! Kita bisa memperbaikinya," sahut paman Jim, "Ohiya, kau belum memberi tahu namamu. Aku Dongji, dan karena aku paman Jim, pasti kau tau nama akhirku," ujar paman Dongji ramah. Gurat-gurat di wajahnya menunjukan dia orang yang pantang sekali menyerah. Tapi sedikit dari yang Fang pahami, rona mukanya menampakkan kebencian akan masa lalu. Tapi, bagaimanapun dia adalah orang yang sangat menjunjung tinggi perbuatan baik.
"Aku Fang Hudan، paman. Aku mengenal Jim saat kami berlatih bersama di Akademi Fieren, saat itu Akademi di pimpin oleh Dren Harumi," jelas Fang.
"Oh, iya pria itu, bagaimana keadaannya sekarang? Dan apakah dia pemimpin yang baik?" tanya Dongji penasaran.
"Dia dalam keadaan sehat, paman. Distrik Muna juga selalu sejahtera semenjak ia menjabat sebagai dren," balas Fang.
"Kau sempat menemuinya, Fang? Kenapa kau tak mengajakku?" protes Jim mendengar penjelasan itu.
"Uhm.. soal itu.." mengingat kejadian sebelumnya, Fang tampak kalang kabut.
"Hey, bukankah dia tak bisa ditemui kecuali keperluan mendesak?" Jim mencoba menekan.
"Umm, tidak juga. Mereka selalu membentangkan tangan untuk keluarga Hudan," balas Fang. Memang sudah seperti ini, cepat atau lambat dia pasti akan bercerita.
"Oh, ayolah. Aku tau kau menyembunyikan sesuatu Fang," sahut Jim.
Fang menatap paman Dongji, ia hanya balas tersenyum. Tatapannya menyiratkan kalau Fang tak perlu memaksa keadaan.
"Usahakan aku untuk bisa menemui Raja Diwan terlebih dahulu," kata Fang setelah mempertimbangkan apa ia akan cerita atau belum saatnya.
"Kau mendengarku kan? Sepekan sekali," sahut Jim menekan kalimat terakhirnya.
"Kurasa tidak. Kita bisa mencoba langsung menemuinya bukan?" balas Fang.
"Fang benar," sahut paman Dongji "Beberapa orang dari keluarga tertentu dipandang penuh kehormatan. Dan salah satu dari mereka adalah keluarga Hudan dan Junbi. Aku masih ingat bagaimana keluarga Hudan yang memiliki partisipasi besar dalam membangun Kerajaan Kan Dha, juga Keluarga Junbi yang senantiasa berada di garis depan saat Kerajaan dalam ancaman. Jadi kelebihan itu bukan sesuatu yang tak adil bagi orang lain, tapi malah suatu kehormatan bagi mereka, karena mereka bisa menjunjung tinggi, atau setidaknya membalas perjuangan-perjuangan keluarga itu di masa lalu," jelas paman Dongji.
Jim melunak. Ia menatap Fang dan pamannya bergantian lantas berucap, "Baiklah, lagipula aku tak tau apa yang akan kulakukan sepekan ini jika tak segera mengikuti perekrutan," ujar Jim.
***
Malamnya. Fang tidur bersebelahan ranjang dengan Jim, sedangkan pamannya di kamar lain. Kejadian-kejadian yang terus berkelebatan di pikirannya membuatnya tak bisa tidur. Fang menatap seisi ruangan. Ada sesuatu yang menarik perhatian Fang di salah satu sisi dinding. Benda itu adalah Kalender Karesly, kalender tua yang memiliki kekuatan magis. Bisa membaca pergerakan bintang, abnormali cuaca dan sesuatu yang setidaknya membantu manusia memprediksi keberuntungan.
Fang menyingkirkan selimut yang menutupi kakinya lantas beranjak menuju benda itu. Benar apa yang diduga, benda itu bercahaya dengan sendirinya saat Fang tiba di sana. Tulisan hari Senin tampak lebih bercahaya dari yang lain, berarti ini sudah lewat tengah malam. Di sudut kanan kalender, terdapat deskripsi mengenai jadwal semesta setiap harinya.
Senin_ Keuntungan, Kemudahan bisnis, dan Melimpahnya barang tambang. Tapi badai selalu datang tak terduga pada hari ini.
Selasa_ Hari dipastikan cerah, tapi sebaiknya jauhi perairan karena ombak selalu pasang.
Rabu_ Bukalah pasar pada dini hari, semoga keuntungan berpihak padamu.
Kamis_ Simpan barang-barangmu. Beristirahatlah. Rona hari itu selalu diliputi kecemasan dan rasa lelah yang begitu cepat.
Jumat_ Setelah menghabiskan waktu untuk beristirahat. Keluar dan bermainlah. Banyak hal-hal menakjubkan yang bisa kau lihat seperti pemandangan bintang jatuh, Aurora, sunset dan sunrise yang saat itu matahari tampak bulat mempesona.
Sabtu_ Peningkatan Gizi, waktu yang tepat untuk memasak hewan buruan. Tapi sebaiknya jangan terlalu banyak makan pada hari itu.
Minggu_ Mewakili kebebasan, atau bisa dibilang, random. Konon, beberapa sumber mengatakan hari ini adalah jadwal terbukanya seluruh portal antar dimensi.
Terbukanya portal? dahi Fang mengernyit. Ia semakin tertarik dengan dunia ini. Pikirannya mulai menghubungkan asal-muasal kekuatan beberapa klan dengan sihir YunZu.
Meski sampai saat ini masih berupa legenda yang hanya diketahui segelintir orang saja. Bukan tak mungkin legenda itu akan kembali dalam waktu dekat.
Tiba-tiba saja kalimat dren Harumi terekam di benaknya. Tentang ledakan sihir pemicu kekacauan. Jika benar siklus itu terjadi sepuluh ribu tahun sekali dan dalam waktu dekat ini adalah siklus berikutnya. Berarti dunia dalam ancaman. Belum lagi Fang tak tahu apakah semua orang akan menyadari ledakan itu atau hanya orang-orang tertentu saja. Dan benang merah yang bisa ia tarik untuk saat ini adalah, ledakan yang kemarin ia alami hanyalah pasca dari ledakan sesungguhnya.
Pikirannya yang terus bekerja membuatnya enggan untuk tidur. Fang mencoba menyelinap keluar dan menuju lantai bawah. Ia ingat sekali di sana ada rak yang dipenuhi buku tua. Mungkin saja di antara buku itu ada yang setidaknya memberi petunjuk kecil. Tapi sesaat sebelum kakinya mencapai tangga dasar, langkahnya terhenti karena melihat paman Dongji yang tengah menghisap cerutunya.
"Sebaiknya kau tidak keluar malam ini nak. Tangan besimu mungkin cukup kuat, tapi para bandit selalu bersenjata dan pandai memanfaatkan kegelapan," penjelasan itu membuat dahi Fang terlipat.
"Aku hanya ingin membaca buku-buku itu paman," sahut Fang menunjuk benda yang tersusun rapi di belakang pria paruh baya itu.
Sekali lagi paman Dongji mengepulkan asap cerutu. "Kau tidak bisa menunggu hingga hari terang?" tanyanya.
"Mataku sudah terlatih membaca di tempat gelap," jawab Fang tersenyum.
"Ini hanya buku-buku tua pemberian Naderline, dan huh, aku sama sekali belum membacanya," sahut paman Dongju tertawa kecil.
"Aku pikir buku-buku ini bukan sekedar cerita pengantar tidur. Jadi kuharap, setelah kau membacanya, ceritakan semuanya padaku," lanjutnya seraya menyerahkan buku-buku usang itu.
Ada tujuh buku bersampul polos, dan masing-masing buku tersebut hampir setebal lengan Fang. Semakin tebal bukunya semakin padat juga informasinya. Yah, mungkin hanya slogan itu yang bisa menghibur Fang supaya tak suntuk melihatnya.
Membawa tujuh buku setebal itu sekaligus, bukan masalah bagi tangan besi. Saat Fang mengambil langkah menuju kamarnya, menapaki setiap anak tangga, debu berjatuhan mengiringi langkahnya. Ia sampai di kamar, kemudian menyusun tegak buku-buku itu di atas meja pemisah ranjang tempat tidur ia dengan Jim.
Setiap buku memiliki warna yang berbeda. Fang asal mengambil buku yang paling dekat dengannya. Buku itu berwarna merah maroon. Ia menaruhnya di paha. Cahaya purnama tembus melalui celah jendela dan masuk menyiram tubuh Fang. Saat ia membuka sampul buku itu, siluet cahaya merah bersinar dari buku itu. Menyilaukan selama beberapa saat, dan kembali redup.
Ada sesuatu yang mengisi dada Fang. Ketakjuban. Emosi. Tekad yang begitu dalam. Semua perasaan itu berkumpul memenuhi dadanya. Frekuensi detak jantungnya naik. Tapi kali ini bukan kepanikan. Urat-urat abu mulai menjalar mengisi lengannya. Semua perasaan itu, ditambah kekuatan yang tiba-tiba menyelinap masuk ke tubuhnya. Tanpa di sadari,
"BOOOMM..."
Fang berdiri telanjang dada menghadap purnama. Tangannya mengepal teracung ke depan. Nafasnya tersengal. Satu tangan sebelah menggenggam erat buku tadi.
"Astaga Fang!! Apa yang kau lakukan?" Jim di belakangnya sontak terbangun menyaksikan Fang yang tiba-tiba membuat lubang menganga di dinding kamarnya.
Suara derap langkah menyusul yang kemudian memunculkan wujudnya dari balik pintu.
"Apa yang terjadi, nak?" sahut pria paruh baya itu, "Fang? Kau kah itu?"
panggilnya setengah panik.
Seolah tuli. Fang hanya bisa mendengar kesiur angin berhembus dan irama detak jantungnya yang begitu cepat. Lambat laun urat-urat abu itu menghilang digantikan tangan kekar berkulit putih, dan tak lama kemudian sesuatu merenggut kesadarannya.
***
Sementara itu, di Gunung tertinggi di perbatasan Kan Dha dan Himian..
"Sudah saatnya untuk bangun?"
"Yah, sepertinya begitu."
Kelopak mata itu terbuka. Menampakan sepasang mata merah menyala dari sang Diraja Wivern. Gejolak lava mengiringi kepakan sayapnya. Pandangannya menatap angkasa. Meski seluruh tempat ini hanya ada api dan api. Satu kepakan lurus ke atas akan mengantarnya ke dunia luar.
Tapi tidak. Ada tugas yang harus ia emban yang mencegahnya melakukan itu. Sesuatu yang menancap di dahinya. Giok Edern. Darinya lah seluruh api tercipta.