Selly serta kedua sahabatnya mengernyit ketika melihat Meira bersenandung riang gembira seraya melangkah menghampiri mereka yang berdiri di depan kelas, lagi-lagi Meira absen kelas pagi ini hanya karena meminta maaf pada Riska, tapi cukup ia sendiri yang tahu alasannya.
"Tadi dia kayak lesu banget, sekarang sampai nyanyi-nyanyi kayak gitu, jangan-jangan dia kesurupan roh jahat," gumam Mona yang memilih berdiri di belakang Selly, ia tampak ketakutan melihat perubahan sikap Meira.
"Hush! Roh jahat dari mana, ngawur lo," seloroh Tania, "kita lihat aja sekarang dia kenapa lagi."
Meira tiba di depan teman-temannya, ia tersenyum lebar menatap mereka satu per satu, bahkan Mey sempat mencubit pipi Mona meski setelahnya ditepis kasar oleh gadis itu, rasa takut semakin menjalar dalam tubuh Mona—mengingat belum ada dua jam Meira memarahinya di kantin.
"Senang banget, Mey. Naik gaji, ya? Atau kontrak diperpanjang?" tanya Selly.
Meira menggeleng, senyum masih terpatri di wajahnya. "Bukan, bukan. Intinya gue lagi senang aja." Ia menatap Mona. "Mona, lo kenapa sembunyi di belakang Selly? Ada apa?"
"Ada elo, Mey."
"Gue? Gue kenapa?" Meira sampai mengernyit dan menoleh ke segala arah takut-takut ada sesuatu yang terjadi dengannya sampai Mona bersikap apatis seperti itu.
"Gini lho, Mey. Kan tadi pagi elo marah sama Mona karena dia komentarin baju lo ini, tapi tetep cantik sih. Nah, sekarang sikap lo tiba-tiba jadi riang gembira, jadi dia mikir lo kesurupan." Tania angkat bicara, ia melirik Mona yang lantas mengacungkan bogem.
"Astaga!" Meira terkekeh mendengar penjelasan Tania. "Sini, Mon. Maaf banget ya, gue tadi pagi emang lagi banyak pikiran, tapi sekarang udah baik-baik aja kok. Sini dong, jangan sembunyi. Gue enggak kesurupan." Meira menarik Mona begitu saja meski sahabatnya itu sempat menolak, pada akhirnya ia berhasil memisahkan Mona dari Selly dan mendekapnya dari tepi.
"Meira!" Mona menjerit dalam dekapan erat sahabatnya. "Lo beneran nggak lagi kesurupan roh jahat, kan? Ini beneran Meira temen gue, kan?"
"Iya, astaga. Lo nggak percaya sama gue, Mon?" Meira melepas pelukannya. "Tadi pagi gue refleks aja, harusnya gue menepi dulu sih kalau lagi marah, tapi udah telanjur juga. Maaf banget ya, Mon."
"Iya nggak apa-apa, yang penting sekarang lo udah balik."
"It's oke, semua terkendali." Meira menatap jam tangannya. "Gue harus balik sekarang, mau ke pantai soalnya. Tadi Lolita telepon kalau ada photo shoot di pantai, dia hubunginnya dadakan, jadi gue perlu berangkat lebih awal."
"Meira kapan sih enggak pernah sibuk, tapi hati-hati di jalan ya, Mey." Selly menyentuh lengan sahabatnya. "Kalau ada apa-apa jangan lupa bilang."
"Oke, bye semua." Meira melambai pada teman-temannya sebelum melenggang pergi disertai kesenangan yang mungkin ia rasakan sendiri, ia berniat memesan taksi online untuk mengantarnya pulang ke apartemen, ia tak lagi memiliki minat menghubungi laki-laki siapa pun itu—meskipun mantan teman kencannya—setelah Riska memperingatkan tadi. Entahlah, setiap permintaan Riska seperti kewajiban yang harus Meira lakukan.
Mengapa ia tak meminta Riska mengantarnya pulang? Sebab Riska sendiri telah mengatakan jika ia ada sparing basket di lapangan kampus hari ini, Mey mengalah selama ia bisa melakukannya sendiri. Perempuan itu berjalan tak jauh dari area lapangan yang kini mulai ramai oleh mahasiswa pemain basket—termasuk manusia bernama Riska.
Riska yang baru saja melakukan shooting bola basket ke dalam ring menatap ke arah Meira yang terlihat bersemangat meninggalkan area kampus, ia membiarkan temannya merebut bola saat Riska mengeluarkan ponsel dari saku celana.
(Sebenarnya mau ke mana?)
Ia kirimkan chat tersebut pada Meira sebelum menyimpan ponselnya lagi dan merebut bola dari temannya, tapi belum sampai lima menit balasan datang dan memaksa Riska berhenti mengejar bola yang kini dikuasai lawan. Ia tetap berdiri di posisinya seraya membalas chat Meira.
(Mau ke pantai, ada pemotretan di sana)
(Gue ikut)
***
"Eh, ini beneran serius lo mau ikut?" Sekali lagi Meira mengharapkan keseriusan dari keputusan Riska yang diambil tiba-tiba. "Lo nggak mau ketemu Luna di atas?"
Mereka berada di dekat mobil Meira, lebih tepatnya parkiran basement. Mey cukup terkejut saat Riska mengirimkan chat jika laki-laki itu ingin ikut ke Puncak, bukanlah Riska sudah memiliki banyak schedule hari ini—termasuk persiapan diving dengan anak-anak Mapala di Bali beberapa hari lagi.
Tadi Meira sengaja tak menjawab chat Riska sebab ia berpikir jika laki-laki itu hanya berbual, nyatanya kehadiran Riska di apartemen setelah Meira sampai sekitar lima belas menit sebelumnya membuat Meira berpikir dua kali untuk menampik kebohongan dari chat Riska. Laki-laki itu serius untuk menemani Meira ke pantai, padahal Meira berniat pergi bersama Lolita agar ia tak perlu repot-repot mengeluarkan mobilnya, tapi kehadiran Riska mengubah rencana Meira.
"Heh, bisa nggak sih jangan banyak tanya. Lo udah ngomong kayak gitu berapa kali? Terus, berapa kali juga gue kasih jawaban yang sama. Muka gue kelihatan bohong gitu?" Riska menunjukan ekspresi seriusnya saat berdiri di dekat pintu sisi kanan, sedangkan Meira di dekat pintu sisi kiri. Meira mengangguk tanpa berniat protes lagi, ia memutuskan masuk ke mobilnya dan memasang seat belt sendiri, Riska pun begitu. "Kalau nggak mau ditemenin sih nggak apa-apa, paling nanti cowok-cowok di sana matanya pada jatuh lihatin pose lo yang kayak orang bangun tidur," celetuk Riska seraya mengemudikan mobil Meira keluar dari basement, ia sendiri menitipkan motornya di kediaman Saka sebelum sempat diantarkan Saka menuju apartemen.
"Kok kayak orang tidur, sih? Pose gue kan sen—" Meira mengatupkan bibirnya. "Terserah."
"Mata lo bulat, ngapain disipit-sipitin kayak di gambar." Rupanya Riska banyak komentar, apa sebenarnya Riska yang asli memang cerewet?
"Ya ampun, setiap pose yang gue peragakan itu karena emang tuntutan, namanya juga model seksi, ya gayanya musti menarik lah, harus kayak gitu. Kecuali kalo gue model iklan kopi beda lagi," seloroh Meira, ia memberengut kesal.
"Mengundang setan."
"Riska kenapa sih cerewet banget, sekarang banyak komentar ya." Meira sendiri berubah judes menghadapi makhluk di sampingnya. "Jangan banyak ngomong, gue mau sempetin tidur, pasti nanti macet."
"Tidur, tidur."
Meira tak lagi berbicara, ia menyandarkan punggung serta kepalanya seraya menatap Riska yang fokus mengemudi, ekspresinya terlihat serius meski dari tepi. Perempuan itu tersenyum, ada banyak yang ingin ia tahu, tapi mungkinkah Riska mau memperlihatkannya tanpa harus Meira bertanya?
Jika dipikir-pikir sebenarnya Riska laki-laki yang penuh perhatian, tapi tak terlalu tampak oleh caranya yang terkesan judes. Cuek bisa dibilang, perkataannya seperti sayatan pisau yang siap menohok kapan saja, tapi bagi siapa pun yang mengerti setiap perhatian kecil di dalamnya pasti terbiasa, dan Meira selalu berusaha melakukannya.
Mungkin Riska tipikal laki-laki welcome yang bisa dekat dengan siapa saja, jika mengingat sikap Nadira pagi tadi membuat Meira merasa mual lagi. Apa semua gadis akan bertingkah selemah itu jika berada di dekat Riska? Mey tak ingin membayangkan, ia bisa kesal sendiri setelahnya.
Ada dua pertanyaan sama antara kita, tentang lo yang ingin tahu tentang gue pun sebaliknya. Jadi, siapa yang bakal lebih dulu tahu nantinya? Meira refleks terpejam saat Riska tiba-tiba menoleh, tapi ketika Riska kembali fokus mengemudi Meira membuka kelopak matanya lagi. Yang lucu dari cerita ini adalah tentang sebuah kebetulan, kebetulan yang unik. Ya, Meira yakin tentang hal tersebut.
Ia senang menikmati pemandangan di sampingnya kini, dari laki-laki berwajah tirus dengan alis tebal bergelombang, bibirnya yang dipenuhi kalimat sarkas serta eboni yang meneduhkan.
Meira mungkin ... terlena.
***
Di bawah meja berpayung tak jauh dari bibir pantai beberapa orang bernaung, khususnya kru pemotretan yang bertugas sore ini. Sunset, pemandangan sejuk sore hari yang selalu dikagumi banyak orang, senja memang mencipta sejuta kenang, banyak orang sengaja datang ke tempat-tempat romantis dengan angle paling bagus untuk melihat gradasi oranye dari pamitnya matahari tersebut. Pantai menjadi salah satu alternatif yang mudah, apalagi tempat untuk menikmatinya terbentang luas, di sanalah Meira melakukan pekerjannya.
Sekitar tiga jam lebih Meira baru sampai di lokasi setelah melalui jarak yang cukup jauh disertai macet jalan raya, sedihnya ia benar-benar memutuskan tidur dan membiarkan Riska fokus melek sendirian, untung saja laki-laki itu tak banyak bicara. Riska bahkan baru membangunkan Meira saat tiba di lokasi.
Kini Meira lebih fit melakoni aktivitasnya bermain air di pantai, ia memakai bikini dan berpose di bibir pantai seraya menikmati terjangan ombak, ia juga sedikit menenggelamkan separuh tubuhnya seraya melihat ke arah sunset. Benar-benar eksotis.
Riska hanya diam seraya memperhatikan tingkah laku Meira, laki-laki yang bisa disebut bodyguard tersebut duduk di bawah meja berpayung sendiri, tas serta ponsel Meira tergeletak di sana. Rupanya Riska tak hanya memperhatikan Meira saja, tapi orang-orang di sekitarnya.
Seorang perempuan datang menghampiri Riska, ia duduk begitu saja tanpa memint izin lebih dulu. "Pacar baru Meira, ya?" tanya Metta, bukan tanpa sebab ia menerka seperti itu, pasalnya saat Meira mengajak Riska ke studio saat itu Metta sama sekali tak bertemu Riska, belum lagi kemarin Meira sempat mengatakan jika ia putus dengan kekasihnya. Otomatis Metta akan menanyakan hal yang logis di kepala.
Riska menatapnya sejenak, ia lebih tertarik memperhatikan laki-laki yang berdiri tak jauh dari posisi Axel. "Bukan," sahut Riska.
"Bukan? Katanya Mey baru putus dari cowoknya. Terus, lo siapa?"
"Orang yang mulai sibuk jagain dia." Ia sama sekali tak mengalihkan pandang dari sosok Juna, ia masih ingat bagaimana cara Juna ketika memaksa mencium Miera di ruang kerja Axel beberapa waktu lalu.
"Hah? Maksudnya?"
"Jangan dipikirin, nanti jadi beban pikiran." Riska beranjak meninggalkan Metta yang hanya bisa menganga mencoba memahami maksud perkataan Riska.
***