Chereads / Hello, Riska / Chapter 50 - Have fun, Meira.

Chapter 50 - Have fun, Meira.

Meira tak pernah menyangka akan melakoni perjalanan seperti ini, duduk berdua di dalam sebuah kereta yang sebelumnya tak pernah ia lakukan, untuk pertama kalinya Meira pergi jauh menumpang kereta api. Penyebab utama adalah Riska, semua yang mempersiapkan perjalanan mereka menemui Bromo adalah Riska.

Mereka berangkat dari Stasiun Gambir menaiki kereta Gajayana eksekutif sekitar pukul 17.40, dan kemungkinan sampai lima belas jam setelahnya alias besok pagi, kebetulan mereka sudah menempuh setengah perjalanan.

Meira duduk di dekat jendela sisi kiri, kondisi di dalam kereta terlihat sangat sepi, memang bukan tanggal merah atau long weekend yang biasanya menjadi masa paling menyenangkan untuk berlibur, lagipula kebanyakan orang pasti lebih senang duduk di dalam kursi pesawat dengan waktu tempuh yang lebih singat dari kereta api.

Dari ke-empat gerbong kereta yang mengarah menuju Malang, mereka berada di gerbong ketiga, jika dihitung hanya ada enam penumpang dalam gerbong tersebut, posisi duduknya juga sangat rumpang, Meira tak melihat di sisi depan, belakang atau kirinya ada penumpang lain.

Meira menyandarkan kepala di bahu Riska, ini benar-benar jauh lebih nyaman daripada menyandarkan kepala di punggung kekasihnya saat mereka menaiki motor, kali ini jauh lebih spesial bagi Meira. Pasalnya mereka tengah menjauhi hiruk-pikuk segala pelik Jakarta, jadi terasa lebih damai dan nyaman. Sungguh, Meira tak pernah menyangka akan ada satu hari ia bisa menyingkir sejenak dari kerumitan Jakarta.

Tangan mereka saling menggenggam tanpa ingin melepaskan seolah bumi pun tak mampu melakukannya, Meira menyukai semua ini meski terasa begitu asing. Ia tak pernah menyangka Riska akan mengajaknya menaiki kereta, Riska beralasan dengan menaiki kereta Meira bisa melihat suasana sekitar lebih lama, dan perjalanan mereka yang memang menjelang malam hari cukup membuat keduanya bisa beristirahat sejenak tanpa memusingkan harus sampai jam berapa.

Riska terlalu totalitas menjadi seorang kekasih, setelah Meira mengatakan agar mereka pergi ke Bromo sebelum hari ulang tahunnya esok hari, Riska lantas mempersiapkan semua—termasuk booking tempat penginapan yang lokasinya berdekatan dengan Bromo.

Lalu, di sini mereka berada, dalam suasana yang berbeda, tapi untuk rasa yang sama.

"Ssst, tidur gih, besok sampai sekitar jam sembilan pagi. Tidur sekarang biar enggak terlalu capek," tutur Riska saat Meira mempertahankan posisinya bersandar.

"Lama banget ya, Ka."

"Itu sensasinya, kalau naik pesawat lo cuma bisa lihat awan, nggak pernah kan lihat sawah sama kebo."

Meira tersenyum kecil, bagaimana bisa Riska seperti ini terhadapnya—begitu piawai menghapus duka, paling tidak liburan mereka disemogakan cukup ampuh membuat Meira melepaskan segala masalah dan meninggalkanya di Jakarta.

"Habis turun dari kereta, kita musti naik bus lagi soalnya."

"Ya ampun, gue udah berasa bener-bener jadi backpacker dalam sehari." Ia mengangkat kepala. "Jadi, lo kalau naik gunung di tempat yang beda-beda itu juga kayak gini?"

Riska mengangguk. "Gue juga pernah nyetop truk di pinggir jalan biar bisa sampai di penginapan waktu itu. Alam bebas ngajarin kita buat tumbuh dewasa, kalau lo cuma diem di satu tempat aja, polos alias nggak tahu apa-apa. Sedangkan dunia nggak pernah memihak sama siapa harus adil, alam bebas ngasih tahu kita kalau pelajaran hidup bisa ketemu di mana-mana."

"Okey, jadi Mas tour guide yang satu ini lagi ngajarin sekalian? Tambah dong budgetnya."

"Nggak perlu." Riska berdiri sejenak seraya mengedar pandang, rupanya empat penumpang lain yang tak terlihat sejak mereka masuk berada jauh pada kursi penumpang di depan mereka, sedangkan posisi Mey dan Riska lebih condong ke ujung gerbong.

"Ada apa sih?" tanya Meira.

"Enggak apa-apa." Riska kembali duduk, gadis di sampingnya menatap keluar jendela kaca tebal dan menemukan pemandangan gulita yang diterangi sederet cahaya lampu di depan rumah-rumah penduduk, sekarang sudah pukul dua lewat, pagi buta, pasti semua orang tengah terlelap bersama bunga tidur mereka.

Meira kembali menatap Riska, lantas beralih lagi pada keadaan di luar jendela, tapi saat kembali pada Riska—kekasihnya itu sedari tadi tak mengalihkan pandang dan terus saja menatap lekat bola mata Meira, apa ada sepasang kejora di sana?

Meira celingukan sampai tangannya melambai di depan Riska takut-takut laki-laki itu memang melamun, sayangnya Riska tak bereaksi dan mempertahankan sikapnya.

"Riska—" Meira refleks memundurkan kepala saat wajah kekasihnya mendekat, tapi ia tak lagi menemukan jarak saat posisinya terkunci oleh jendela—yang berakibat membuat Riska lebih mudah mereguk bibir gadis itu seraya mencondongkan tubuhnya seperti menindih Meira.

Cercapan pelan nan melenakan berlangsung di bawah atap gerbong yang dipenuhi kesunyian, terlebih empat penumpang lain yang posisinya jauh itu sudah terlelap.

Sepasang tangan Meira sampai menahan dada Riska seraya sedikit mendorongnya sebagai antisipasi kalau ingatan tentang Luna dan Riska dalam video yang dihapusnya kembali menyerang. Memang datang, tapi reaksi tubuh Meira bertolak belakang, ia sama sekali tak mendorong Riska agar mundur, tangannya justru merambat menemui wajah Riska dan membingkainya.

Tak berselang lama Riska melepasnya tanpa menjauhkan wajah, mereka bertukar oksigen yang sempat terhimpit itu seraya saling menatap. Tangan Meira meluruh, ia menelan ludah saat Riska masih bertahan di posisinya.

"Ka, nanti ada yang lihat gimana?"

Riska menggeleng, ia tersenyum sebelum berbisik, "Tidur sekarang ya biar besok lebih fit, nanti kita bisa langsung jelajah Bromo, oke?"

Udara yang keluar dari bibir Riska dan menyentuh telinga Meira membuat tengkuknya meremang, sialan!

"Ya." Meira mengangguk, ia lantas mengalihkan panjang karena kelakuan Riska membuatnya gugup setengah mati, Riska kembali duduk dengan benar.

"Di sini." Laki-laki itu menepuk bahu kirinya yang kosong, tadi Meira sudah bersandar di sana, kali ini ia melakukannya lagi.

***

Faktanya, Riska merasa seperti baru saja meloloskan tali dari leher seekor kuda, lantas ia mulai aktif berlari ke mana pun sesuka hati seperti yang dilakukan Meira setelah bus berhasil membawa mereka menemui tempat penginapan yang sudah dibooking Riska jauh-jauh hari di daerah Probolinggo.

Mereka menempati dua kamar berbeda, tapi bersebelahan, tempat penginapan tersebut bentuknya seperti sebuah pondok di lereng gunung, tapi fasilitas yang disediakan begitu lengkap serta minimalis, lokasinya benar-benar strategis sebab berada di circle Taman Nasional Bromo, di sekeliling penginapan tersebut juga berada beberapa spot ciamik untuk melakukan selfie.

Riska pikir Meira akan beristirahat sejenak setelah perjalanan panjang mereka sejak kemarin sore, kenyataannya setelah sampai di penginapan justru semangat dalam diri Meira meningkat drastis, terutama saat ia melihat pemandangan eksotis di sekitar penginapan mereka. Bola matanya seolah dipenuhi sejuta kejora, ia akan menempatkan jatuh hati keduanya untuk lokasi yang dipilih Riska ini, kalau jatuh hati yang pertama ... tak usah tanya.

"Ya ampun, kita udah langsung bisa jalan-jalan kan, Ka!" seru Meira yang berdiri di sebuah spot selfie dengan pagar setengah melingkar berada di depannya, atau sebut saja railing. Views yang ditampilkan dari spot yang satu ini adalah pemandangan Bromo dari kejauhan dengan latar panorama hutan seperti kemuning, benar-benar cantik.

Riska menggeleng tak percaya, ia masih ingat jelas mereka baru meletakan koper masing-masing lima belas menit yang lalu, lantas sekarang Meira sudah mirip cacing kepanasan?

"Jangan, ini kan masih siang, nanti aja agak malem sekalian lihat sunrise," ujar Riska yang sedari tadi hanya berkacak pinggang di belakang kekasihnya.

"Kok gitu sih?" Meira memutar tubuh seraya mengerucut sebal, bukannya terlihat jelek—justru begitu menggemaskan, Riska baru pertama melihat ekspresi kecewa Meira yang seperti ini, mirip balita.

"Iya, aturannya kayak gitu aja. Udah lo istirahat dulu, makan, mandi atau mau ngukur tempat ini dari ujung ke ujung juga enggak apa-apa, tapi buat ke sananya nanti." Riska menunjuk ke arah gunung. "Nanti gue sewa jeep buat ke sana, ya."

"Jeep?"

"Iya, emangnya lo bisa terbang sampai ke sana?" Riska mendesah, saking gemasnya ia sampai menanyakan hal yang konyol, diraihnya tangan Meira dan menarik gadis itu menghampiri pondok penginapannya.

Padahal Riska ingat betul saat berada di dalam bus Meira terus saja menggerutu dengan planning kecil—akan langsung beristirahat setelah sampai di penginapan, fakta di lapangan justru menegaskan hal berbeda.

"Mana kuncinya." Riska menengadahkan telempap saat mereka tiba di teras penginapan.

Meira mendengkus, ia benar-benar merasa kesal dengan manusia yang masih merangkum jemarinya ini, tapi pasrah saja karena tak tahu apa pun dari tempat ini. Ia merogoh kunci dari saku celana dan mengulurkannya pada Riska.

"Jangan cemberut terus kek, gue takut ngelihatnya," cibir Riska, ia memasukan kunci pada lubang pintu di depannya, memutar dua kali hingga kenop bisa digerakan dan pintu terbuka. "Sekarang masuk, ya? Nurut kan?" Ia menyentuh puncak kepala Meira.

"Tapi—"

"Gue bukan tukang cabe yang bisa lo ajak tawar-menawar kayak gini, ngerti nggak?" Baiklah, Riska sedikit kesal menanggapi bebalnya Meira. Efek tubuh merasakan lelah setelah hanya duduk berjam-jam bisa seperti ini, dan Riska ingin sekali merebahkan tubuhnya pada ranjang besar di dalam penginapan.

"Iya." Meira menunduk menyadari tatapan Riska padanya berbeda, ada amarah di bola mata kekasihnya.

Riska mendengkus, ia menyadari terlalu otoriter kali ini. Ditariknya Meira masuk ke dalam penginapan dan mendudukannya di tepi ranjang. "Mandi, terus ... nanti gue cariin makan dulu, mau makan apa?"

"Apa aja gue mau asal bisa dimakan," sahut Meira ogah-ogahan.

"Hm, ya udah sekarang istirahat dulu apa mandi dulu gih. Gue mau balik ke kamar gue ya, inget buat enggak ke mana-mana tanpa gue. Paham?" Riska kembali mengusap puncak kepala Meira saat gadis itu menengadah menatapnya. Riska menyingkir menghampiri pintu kamar, tapi baru saja hendak melangkahkan kakinya keluar dari sana—sepasang tangan sudah melingkar di perut disertai kepala yang menempel di punggung, Meira menggamit rangkulan dari belakang.

"Riska, makasih banyak sebanyak-banyaknya ya, gue benar-benar senang bisa sampai di tempat ini, apalagi sama lo. Ya ampun ini kayak mimpi, pokoknya hari ulang tahun gue ini paling berkesan selama gue hidup, makasih banyak, Riska."

Laki-laki itu tersenyum hangat, ternyata kepergian mereka benar-benar membuat sisi bahagia dalam diri Meira yang tak pernah diperlihatkannya itu muncul, dan Riska senang karena menjadi salah satu alasannya.

"Iya."

***