"Kenapa? Tidak suka salon?" tanya Jovan. Lelaki itu merasa keki sendiri karena sedari tadi Cinta hanya berdiam diri sambil melemparkan pandangannya keluar jendela. Tidak sedikitpun tertarik dengan semua kejadian hari ini.
"Em?" tanya Cinta, dia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri, sehingga tidak menyimak dengan baik apapun yang diucapkan oleh Jovan.
"Salon, kamu suka salon?" tanya Jovan lagi, mengulangi pertanyaannya.
"Entahlah, aku jarang kesana" balas Cinta sekenanya, tapi memang sejujurnya dia nyaris tidak pernah ke salon satu tahun belakangan ini. Cinta hanya mencuci rambut dan wajahnya saja. Mana ada waktu dia untuk perawatan mewah seperti teman-temannya kampusnya.
"Ya sudah, nanti gue daftarkan ke salon langganan gue, untuk pembayarannya langsung tagihkan ke gue aja, biar kalau kamu stress bisa refreshing di salon" balas Jovan, dia bisa merasa kalau Cinta pasti merasa tertekan dengan semua yang terjadi dalam waktu bersamaan di hidupnya.
"Tidak perlu" balas Cinta pelan. Buat apa dia menghabiskan uang dan waktunya di salon. Cinta lebih baik belajar atau mengerjakan tugas kampusnya supaya dia bisa cepat lulus, atau mungkin jauh lebih baik kalau Cinta beristirahat, bukankah sudah tiga tahun ini dia bahkan tidak punya waktu cukup untuk tidur.
Di samping, Jovan hanya bisa menghembuskan napas kesal saat mendengar penolakan terang-terangan dari Cinta. Sungguh gadis menyebalkan, berkali-kali menolak kebaikan hatinya, padahal Jovan benar-benar tulus kepada Cinta. Dia pun memilih tidak menjawab lagi. Mereka hanya berdiam diri sepanjang perjalanan.
"Yuk turun" ajak Jovan. Mereka sudah memasuki sebuah butik cukup mewah.
"Disini?" tanya Cinta. Rasanya matanya masih bagus, dan dia jelas melihat tulisan butik, bukan salon. Jadi sebenarnya mereka mau ke salon atau ke butik? Atau disini memang ada salon juga, Cinta tidak mengerti.
"Kita beli baju dulu" jelas Jovan, seakan mengerti raut penuh tanya dari wajah Cinta.
"Oh" gadis itu menyahut pendek. Seperti sebelumnya, tidak ada terlihat kebahagiaan dari raut wajah Cinta. Jovan hanya bisa melirik kesal pacarnya itu.
"Lu enggak suka belanja juga?" tanya Jovan lagi sebelum dia keluar dari mobil.
"Enggak, menghabiskan uang aja" balas Cinta lagi sekenanya.
"Tsk, jawaban kamu selalu itu ya" balas Jovan, tambah kesal. Cinta tidak menjawab, dia tahu Jovan kesal. Lebih baik diam dan mengikuti apapun yang Jovan mau. Gadis itu keluar dari mobil.
Awalnya mereka berjalan beriringan, Cinta berjalan dengan lesu, langkahnya pelan sehingga tertinggal beberapa langkah di belakang. Jovan menunggu sebentar, melirik ke arah belakang, menyadari hal itu, Cinta segera berlari untuk menyamakan langkah kaki mereka.
Hal itu terjadi beberapa kali sampai Jovan menjadi kesal. Cinta kembali menyadari dan segera berjalan cepat lagi ke arah Jovan. Karena lama kelamaan merasa kesal, Jovan mengambil jemari Cinta, menggenggam dan menarik dengan lembut. Cinta tersentak karena ulah Jovan itu. Gadis itu melirik ke arah tangan Jovan yang dengan santai menggenggam jemarinya tanpa izin terlebih dahulu.
"Jalan kamu lama banget, bisa-bisa kita sampai besok sampai di dalam butik kalau ikutin cara jalan kamu" keluh Jovan. Cinta hanya membalas dengan cibiran kesal. Selalu saja ada kesalahannya di mata Jovan, batin Cinta, tapi dia menuruti perintah Jovan untuk berjalan lebih cepat.
Mereka berdua disambut oleh dua orang pelayan butik dengan senyuman manis, mempersilakan keduanya untuk menuju ke satu ruangan.
"Saya mau sepuluh dress, lima dress acara formal, tiga pasang baju santai, sepuluh setelan baju resmi" ucap Jovan. Kalimatnya terhenti sebentar, lalu melirik ke arah Cinta.
"Ukuran pacar saya ya" ucapnya sambil tersenyum usil.
Kedua pelayan itu terlihat sedikit terkejut dari tatapan kedua mata mereka saat Jovan menyebutkan kata "pacar", tapi keduanya tetap berlaku profesional, mereka mengangguk dan segera berlalu untuk memenuhi perintah Jovan. Sementara itu Cinta juga tidak kalah terkejut, bukan karena kata "pacar" yang meluncur dengan santai dari bibir Jovan, tapi jumlah pakaian yang diminta oleh Jovan. Melihat dari keadaan butik yang sedang dia masuki ini, Cinta tidak yakin walau sudah bekerja di sepuluh tempat pun, rasanya dia tidak akan sanggup untuk membayar semuanya.
"Silakan menunggu disini" ucap seorang pekerja perempuan dengan sopan. Jovan dan Cinta diminta menunggu, duduk di sofa empuk dan dihadapan mereka sudah tersedia dua cangkir teh dan dessert manis.
"Makan, kamu pasti belum makan siang kan." perintah Jovan lagi. Gadis ini kurus sekali, dia pasti sering lupa makan, batin Jovan.
"Emm, apa enggak kebanyakkan bajunya?" tanya Cinta dengan wajah ragu. Dia takut menyinggung Jovan, lelaki itu sepertinya sudah terlihat cukup kesal hari ini.
"Mulai dari sekarang, kamu harus makan bener, berbusana dengan baik dan istirahat cukup. Sebentar lagi musim banyak acara penghargaan, belum lagi album aku akan keluar beberapa bulan lagi. Setelah konferensi pers, akan banyak media yang meliput kita, kamu pasti sibuk, gue enggak mau pacar gue keliatan kaya orang enggak keurus, jadi ikutin aja, Oke? Enggak usah mikirin masalah harga baju yang kita beli hari ini, anggap aja itu bayaran pertama kamu" balas Jovan, jujur dia mulai jengah dengan sikap Cinta yang menolak segala yang dia tawarkan. Lelaki itu juga menatap gadis muda itu dengan raut wajah kesal.
"Baik, aku minta maaf, Mas..eh, kak..." Cinta tidak melanjutkan kalimatnya, dia baru sadar, selama ini dia belum tahu harus memanggil Jovan apa.
"Panggil Sayang aja" balas Jovan dengan santai. Cinta langsung menggelengkan kepalanya tanpa sadar. Geli sekali memanggil dengan sebutan norak seperti itu. Apalagi mengingat orientasi Jovan yang.. Ah, memikirkannya saja membuat Cinta menjadi mual.
"Jadi mau manggil aku dengan sebutan apa? Panggil Cinta juga kaya nama kamu? Atau Bebeb? Darling? Honey? Bae?" goda Jovan, wajahnya perlahan mendekati wajah Cinta. Gadis itu mundur perlahan juga, menghindari Jovan dengan kening berkerut. Semua panggilan sayang itu membuat perut laparnya semakin terasa mual.