Chereads / INDESCRIBABLE FEELING / Chapter 45 - Boy in Gray Sweater

Chapter 45 - Boy in Gray Sweater

Cinta tak harus memiliki, melihatnya bahagia saja sudah membuat batin ini tenang. Tapi, mengapa aku tak bisa bersamanya? Jika aku diberikan hidup sekali lagi, aku akan memilih menjadi wanita idamannya bukan menjadi pengganggu apalagi gadis yang mencinta sebelah tangan.

Siang itu, suasana lapangan begitu ramai. Sorak-sorak gembira para supporter terdengar nyaring di telinga. Nampaknya, pertandingan basket lagi-lagi diadakan. Tapi, aku sedang tak ada hasrat untuk menonton. Walau kutahu, Liao Jin bertanding hari ini. Kulangkahkan kakiku menuju lorong sekolah. Sepi dan menyendiri itulah yang ingin kulakukan akhir-akhir ini.

"Kurasa, ada yang baru saja menjadi bahan taruhan." sindir Yui Xie yang berjalan menghampiriku. Wajahnya yang kecil dengan mata besar sinis terus menatap dari ujung rambut hingga ujung kakiku. Lagi-lagi aku harus bertemu dengan gadis menyebalkan seperti mereka, girls out.

"Yang benar saja, mana ada pria kalangan atas seperti Zhai Lian yang menyukai gadis rendahan dari kelas F sepertimu. Ini baru permulaan, belum nanti jika Jianghan benar-benar menolaknya juga. Betapa menyedihkannya hidupmu, Yuan Lin." tambah Min Lilly dengan ucapan sadisnya. Sontak hal ini membuat jantungku terasa sakit seakan ada jarum yang tiba-tiba menusuk. Tapi, aku tak boleh terlihat lemah dihadapan gadis-gadis pembully seperti mereka, bisa habis kucaci. Aku harus melawan.

"Lagipula lebih baik dirimu berkaca, Lin sebelum mendekati kedua pangeran itu. Kau tak sepadan dengan mereka." sahut Yui Xie yang diiringi tawa kecil sembari terus meledekku. Hal ini membuatku semakin geram. Beberapa siswa mulai memperhatikanku dan geng Girls Out ini. Beberapa juga ikut bergumam, "Yuan Lin, di

"Apa dirimu juga sudah berkaca? Apa selama ini perilaku dan paras kalian lebih cantik daripada diriku? Bukankah selama ini kau juga tak pernah mendapatkan cinta dari Jianghan dan kau juga tak pernah bisa dekat dengan Zhai Lian? Lalu, mengapa kau menyuruhku berkaca kalau dirimu saja tak mengaca." sahutku yang membuat mereka terperangah.

"Kau berani sekali bicara seperti itu pada kami?" ucap Yui Xie yang melipat kedua tangannya dan terus menatap sinis ke arahku. Bukannya takut, aku terus menantangnya. Kali ini aku merasakan bahwa ini bukanlah diriku. Biasanya, aku akan terdiam jika mereka menghinaku. Tapi, kali ini aku takkan memaafkannya, mood-ku sudah rusak.

"Lalu, kenapa jika aku berani denganmu? Aku juga tak takut dengan semua ancamanmu." tantangku yang lantang dengan menyisingkan lenganku dan mencoba mengepalkan telapak tanganku.

"Jika kalian berani, majulah aku akan membuat wajah kalian memar seperti hati kalian yang sudah membusuk." tambahku kali ini dengan mengepalkan tanganku dan siap untuk memukul wajah-wajah cecunguk yang mengganggu kedamaian batinku.

"Maju kalian!" bentakku lagi dengan suara yang lebih keras hingga membuat ketiga gadis tak tahu diri itu melangkah menjauhiku. Hal ini justru memancing kerumunan.

"Begitu saja, sudah takut." gumamku.

"Apa? Mengapa kalian menatapku seperti itu?" bentakku pada beberapa siswi yang mulai memperhatikanku. Bahkan tak segan pujian keberanian juga dilontarkan kepadaku. Aku hanya tersenyum dengan puas menatap wajah ketakutan gadis-gadis aneh seperti mereka.

Aku menghela napasku, lagi-lagi emosiku tak terkontrol. Untung saja, aku tak jadi memukulnya bisa kena amukan besar jika aku benar-benar menampar mereka.

"Jadi, seperti ini sosok Yuan Lin sebenarnya?" ucap seseorang dengan suara serak basah. Aku mulai menoleh ke sumber suara. Kulihat seorang pria dengan sweater abu-abu berdiri di belakangku dengan sebuah buku yang menutupi wajahnya.

Hatiku kembali bergumam, "Sweater abu-abu?" aku kembali teringat dengan perkataan Fen sebelumnya tentang sosok pria yang menitipkan makan siang untukku kepada tim Kesehatan sekolah.

"Pantas saja tadi aku melihat seorang pria di depan pintu sebelum kami masuk. Dia membalikkan badannya, aku tak bisa mengenalinya dengan baik. Dia cukup tinggi dan mengenakan sweater abu-abu hanya itu yang kutahu." Ucapan Fen terus mendengung di telingaku. Apa mungkin pria ini yang datang ke ruang Kesehatan dan juga mengusap lembut kepalaku sembari mengucapkan kata rindu. Ia merindukanku? Aku coba memperhatikannya, wajahnya masih tertutup sebuah buku.

"Aku tak percaya kalau kau bisa berani melawan mereka." ujarnya sekali lagi tapi kali ini, ia menurunkan bukunya. Terlihat jelas wajahnya. Kedua mataku terbelalak lebar seakan kedua bola mataku ingin melompat keluar, pria ber-sweater abu-abu itu, Xiao Jianghan.

"K-kau?" ucapku dengan menudingnya.

Ia tersenyum menatapku, "Aku baru tahu, gadis kecil sepertimu bisa mengusir lalat seperti mereka."

Ia terus meledekku, aku hanya menelan ludahku. Pikiranku kembali kacau, apa benar jika Jianghan yang memberikan kotak makan siang padaku dan mengatakan bahwa ia juga merindukanku sembari mengusap halus kepalaku? Aku tak bisa mempercayai semua kejadian hari ini. Aku pasti berhalusinasi lagi.

Kulangkahkan kakiku tuk menjauhinya, namun tiba-tiba Jianghan menarik pergelangan tanganku seakan ia enggan melihatku pergi.

"Tunggu, aku ingin bicara denganmu." ucapnya yang menahan kepergianku. Aku berbalik menatapnya.

"Apa? Apa yang ingin kau bicarakan lagi padaku?" tanyaku dengan cetus padanya. Kulihat sorot mata indahnya terus menatapku, kali ini aku tak boleh goyah dengan pendirianku. Tapi, kurasa ada sesuatu dari matanya yang membuat jantungku terus berdegup keras. Tatapan matanya tak boleh menghancurkan komitmen yang kubuat untuk melupakan dan berhenti mengejar cintanya.

"Aku merasa kalau ada suatu hal yang berubah dari dirimu, Lin. Aku merasa kalau kau menjauhiku, bukankah selama ini kau selalu mengikutiku kemana pun aku pergi? Bahkan aku merasa kalau kau tak lagi mau bertemu denganku, apa ada suatu hal yang salah denganku?" tanyanya dengan serius yang membuat jantungku berdegup dengan kencang. Mengapa Jianghan berkata seperti ini? Apa yang sebenarnya ia rasakan? Apa dia memancingku untuk kembali menyukainya?

"Itu bukan urusanmu, aku bebas melakukan apapun yang aku mau. Kau tak ada hak mengatur hidupku bahkan jika aku tak mengikutimu lagi bukankah itu akan membuat hidupmu jauh lebih tenang dari gangguan Yuan Lin ini?" jawabku yang mencoba melepaskan genggamannya dan berusaha pergi menjauhinya.

Namun, lagi-lagi Jianghan menahan pergelangan tanganku, "Aku tak tahu, apa yang terjadi denganmu, tapi aku sangat kecewa jika kau bertindak kasar seperti ini. Kau seperti bukan Yuan Lin yang kukenal sejak Sekolah Menengah Pertama dulu."

Ucapannya menusuk batinku, aku hilang arah. Jianghan bisa bicara seperti itu? Kecewa, apa yang sebenarnya terjadi pada Jianghan? Hatiku terus bergumam mencoba mencerna kejadian yang terjadi hari ini.

"Yuan Lin, aku mencarimu kemana-manam, ternyata kau ada disini. Aku ingin memberitahukan tentang pria ber-sweater abu-abu itu. Aku dan Fen berhasil menemukannya." kata Shu In dengan penuh semangat.

"Siapa? Apa pria itu Xiao Jianghan?"

"J-Jianghan? Pria itu, Zhai Lian bukan Jianghan. Kau ini selalu saja Jianghan." jawab Shu In yang mencoba meluruskan pikiranku.

"Z-Zhai Lian?" ucapku dengan suara yang bergetar.

"Ya, tadi Fen yang menemukannya."

"B-bagaimana bisa pria itu Zhai Lian, dia kan telah mengkhianati pertemananku."

"Aku tak tahu, tapi aku benar-benar melihat kalau pria pemberi kotak makan itu Zhai Lian. Aku juga sempat bertemu dengan Jianghan, ia juga memakai sweater abu-abu tapi di tangan kirinya, aku tak menemukan jam tangan hitam. Tapi, Lian-lah yang memakai jam tangan hitam itu. Aku yakin, Lian masih ingin berteman denganmu, Lin. Tapi, aku tak terlalu memperhatikan detail. Bisa jadi pria itu Jianghan dan bisa jadi Zhai Lian, aku pun tak tahu." terang Fen yang membuatku menyanggah kepalaku seakan hari ini sangat berat bagiku. Begitu banyak teka-teki.

"Mengapa kau tidak memberikan Lian kesempatan kedua untuk kembali berteman?" sanggah Shu In yang membuat isi kepalaku seakan ingin keluar.

"Aku tak bisa mencerna semua ini." sesalku dengan menyentuh kepalaku yang mulai terasa berat.

Hari ini, aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Zhai Lian, Xiao Jianghan semuanya membuat pikiranku rumit tak karuan.

Tiba-tiba seorang siswa dengan pakaian rapi datang menghampiri mejaku.

"Yuan Lin, ada titipan surat untukmu." ujar siswa itu yang mulai menyodorkan sebuah amplop merah muda kepadaku.

"Surat? Siapa pengirimnya?" tanyaku. Kulihat siswa itu hanya tersenyum dan pergi tanpa menjawab pertanyaanku. Tingkahnya aneh sekali.

"Menarik sekali, Yuan Lin mendapatkan surat cinta."

"Kau ini bicara apa."

Kubuka surat merah muda itu, "Hai, Yuan Lin. Sore ini jika kau luang, aku ingin mengajakmu pulang bersama. Ada suatu hal yang ingin kubicarakan empat mata denganmu. Kuharap kau mau menemuiku, tolong jangan marah padaku." bacaku yang membuat kedua sahabatku terperangah kaget dengan isi surat itu.

Kami saling menatap satu sama lain. Seseorang mengajakku bertemu?

"Siapa pengirimnya?" tanya Fen. Aku menggelengkan kepalaku.

"Misterius sekali, tak menuliskan nama pengirim." tambah Fen yang membuatku mengangguk mengiyakan.

"Jika kau memenuhi permintaanku, tolong temui aku di halaman sepulang sekolah nanti. Sampai jumpa." tambahku yang masih membaca surat itu sembari menggaruk belakang keoala yang tak gatal.

"Jadi, apa kau akan menemuinya?" tanya Fen yang membuatku kembali berpikir keras.

"Perasaanku mengatakan kalau pengirim surat ini adalah pria ber-sweater abu-abu siang tadi." tambah Shu In yang membuat Fen memetikan jarinya seakan ia setuju dengan ucapan Shu In.

"Bisa jadi, mungkin ini antara Jianghan atau Zhai Lian. Kalau begitu lebih baik kau datang saja, Lin untuk membuktikan siapa pria berjaket abu-abu itu." usul Fen yang membuatku mengangkat kedua alisku.

"Apakah aku harus menemuinya?" gumamku dalam hati.