Hari itu, di depan ruang penyimpanan barang aku berpapasan dengan Jianghan. Jangankan menyapa, melirik pun tidak akan ia lakukan. Sebenarnya, jika diberi kesempatan aku juga ingin berteman baik dengan Jianghan, tanpa melibatkan perasaan. Tapi, ya sudahlah. Memang bukan takdirnya. Surat putih yang terjatuh itu.
"Siapa yang mengirimkannya?" bingungku sembari menggenggam secarik kertas itu.
"Wah, lihatlah Yuan Lin sudah memiliki penggemar rahasia." ledek Shu In.
Kulihat di dalam loker penyimpananku ada setangkai mawar putih. Kuraih bunga itu dan perhatikan sekitar.
"Siapa yang menaruh bunga di dalam lemari penyimpananku? Apa orang itu membobolnya?" tanyaku yang kebingungan.
"Kurasa kita harus bertanya pada staff penjaga, aku takut jika kunci lemarimu di duplikatoleh orang yang tak bertanggung jawab. Karena ini sudah menyangkut hal privasi." sahut Shu In.
Membicarakan soal isi surat itu, kurasa kau akan benar-benar terkejut mendengarnya. Isi surat itu,
"Selamat atas peringkat barumu. Selamat juga kau telah berhasil pindah ke kelas D. Aku senang mendengarnya, sebenarnya aku ingin mengucapakan selamat ini padamu secara langsung, tapi kurasa takkan ada waktu. Aku memberanikan diri menulis surat ini, memang aku pecundang. Benar kata orang, seharusnya aku lebih peka terhadap orang dan lingkungan sekitarku. Sekali lagi, selamat dan jangan pantang menyerah untuk merevisi naskahmu. Tambahan, kau suka mawar putih, kan? Aku lampirkan." bacaku pada isi surat itu.
Kedua sahabatku hanya terperangah dengan isinya, sementara aku menggelengkan kepala tak paham. Siapa orang yang mengirimkan surat ini. Bahkan dia tahu bunga kesukaan dan nasib naskah novelku. Padahal, orang yang kuceritakan hanyalah Zhai Lian.
Suasana kantin mulai ramai, ada yang mengantre mengambil makanan, ada pula yang sibuk bercengkrama. Namun, di meja pojok belakang menghadap jendela, aku terduduk bersama kedua sahabatku dan Zhai Lian.
"Ada apa dengan kalian, mengapa menatapku seperti itu?" tanya Zhai Lian sembari mengunyah makanan di mulutnya. Tiba-tiba Fen menatap dengan tajam mata Zhai Lian yang kini duduk di hadapannya.
"Kau ini tipe pria misterius atau tipe pria yang blak-blakan?" tanya Fen seperti polisi yang tengah mengintrogasi.
"Aku? Tipe blak-blakan lah, apalagi." jawab Zhai Lian sembari menyeruput segelas tehnya.
"Kau suka menyampaikan ucapan melalui surat atau langsung bertemu dengan orang bersangkutan?" tanya Fen sekali lagi.
"Kalian semua ini ada apa?" heran Zhai Lian yang tiba-tiba saja membelalakan kedua bola matanya.
"Aish, kau ini terlalu banyak bicara. Sudahlah kau jawab saja, Lian." bentak Shu In yang membuat Lian menghela napasnya lagi.
"Baiklah, aku lebih suka bertemu secara langsung. Bagaimana? Apa yang kalian inginkan lagi sekarang?" jawabnya sembari melipat kedua tangan di dadanya.
"Fix, bukan dia orangnya." ujar Fen yang mulai memetikan jarinya.
"Sudah kubilang, orang itu bukan Lian. Karena aku sudah paham betul dengan perilakunya." ucapku yang membuat Fen mengangguk paham.
"Apa ada suatu hal yang terjadi?" tanya Lian dengan penuh penasaran.
"Tidak, hanya saja Lin baru saja menerima setangkai bunga dan sepucuk surat cinta dari orang yang misterius." jawab Shu In sembari menyenggol lenganku.
"Benarkah? Menapa kau tak pernah menceritakan hal ini padaku, Lin?" Lian yang mulai terbelalak kaget.
Aku mengangguk mengiyakan, "Ya, sebenarnya kejadiannya baru hari ini saja bahkan orang itu tahu semua hal tentang diriku dan naskahku. Lian, apakah kau selama ini membocorkan ceritaku ke orang lain?"
Lian mulai menggelengkan kepalanya, "Tidak, aku ini pria bukan pengumbar gosip. Lagipula siapa juga yang ingin kuceritakan tentang dirimu."
Aku menyanggah kepalaku sembari menatap makanan yang tersaji di depan mataku, "Benar juga."
"Kurasa kau punya pengagum rahasia sekarang." tambah Zhai Lian yang diiringi sedikit senyuman meledek.
"Mana mungkin." sahutku
"Tapi, Lin.." belum sempat Lian berbicara panjang, pembicaraannya kupotong dengan sengaja.
"Sudahlah, tak usah dipikirkan kau makan saja, aku tahu kalau kau juga lapar, bukan?"
Mereka tertawa terbahak-bahak dan melanjutkan makan siang. Memang aneh rasanya, aku mengenal Zhai Lian cukup lama. Kurasa bukan dia yang melakukannya, Lian tipe pria yang blak-blakan dan suka berbicara apa adanya.
Hari demi hari silih berganti, setangkai mawar dan surat selalu kuterima setiap hari. Bahkan isi suratnya selalu beraneka ragam, mulai memberikan semangat hingga motiv asi. Sebenarnya siapakah sosok ini?
Siang itu, Mentari bersinar sangat terik. Kurasa musim panas akan segera tiba. Siswa dan siswi kelas D mulai duduk di bawah pepohonan yang rindang sembari mengipasi diri dengan apa yang ada.
"Hari ini panas sekali." keluh Yura teman sekelasku.
"Benar, semakin lama kita berdiri di lapangan, bisa-bisa kita kering." jawab Wan sembari menyandarkan diri ke batang pohon yang besar.
"Aku benar-benar tidak suka berolahraga, rasanya seperti di panggang dalam oven." keluhku yang membuat mereka mengangguk setuju.
"Yuan Lin, lebih baik kau membeli minuman. Bukankah, kau bilang kepalamu sakit?" ucap Pak Li dengan ramahnya. Aku mengangguk setuju. Panas terik seperti ini memang sering membuat kepalaku sakit tiba-tiba.
"Anak-anak, jam olahraga telah usai kalian bisa beristirahat dan jangan lupa untuk memperbanyak minum air putih, supaya kalian tidak dehidrasi di musim panas seperti ini." Nasehat pak Li kepada anak didiknya.
"Baik, pak." jawab kelas D serempak.
Beberapa murid mulai membubarkan diri, begitu juga diriku yang langsung bergegas menuju kantin sekolah. Rasanya kepalaku sangat berat, benar-benar panas hari ini. Membeli sekaleng soft drink kurasa akan sangat segar dinikmati di musim panas seperti ini.
Belum sempat kumeminum soda dinginku, tiba-tiba seseorang datang dan mulai menahan pergelangan tangan sembari mengambil soda dinginku.
"Kau baru saja berolahraga, minum soda takkan bagus untuk kesehatanmu." ucapnya yang ikut menyodorkan sebotol air mineral dingin ke arahku.
Kutadahkan kepalaku menatap sosok pria itu, "J-Jianghan?" hatiku bergumam melihat sosok pria itu kini duduk di sampingku dan meminum sodaku.
"Minumlah, mengapa kau melihatku seperti itu? Minum soda tak baik, apalagi kepalamu sedang sakit, kan?" ucapnya sembari terus menikmati soda dingin yang baru saja kubeli. Aku hanya menelan ludahku dan meminum air mineral yang baru saja ia berikan.
Batinku bergumam, "Padahal aku ingin minum soda itu." Aku mengerucutkan bibirku.
Suasana hening mulai terasa di antara kita. Aku diam, Jianghan juga ikut terdiam. Rasanya tiba-tiba saja sesak, ingin bernapas tapi sungkan. Hawa semakin panas, kipas angin tak lagi menyegarkan. Kusela keringat pada dahiku, mengapa pria ini tak segera enyah dari sisiku.
"Yuan Lin."
"Jianghan." Panggil kami secara bersamaan. Aku mulai menggaruk kepalaku, mulai terasa sedikit aneh di antara aku dan Jianghan.
"Kau saja yang bicara." ucapku padanya sembari menenggak air mineral.
Kudengar, Jianghan mulai menghela napasnya, "Ada satu hal yang ingin kusampaikan padamu."
Aku menoleh ke arahnya, baru kali ini aku bisa duduk dan memandang wajah Jianghan sedekat ini. Bisa kulihat hidungnya yang mancung dan matanya yang indah terpampang nyata di depan mataku.
"Kau ingin bicara apa?" tanyaku padanya.
"Bisakah nanti malam kita bertemu di taman kota?" ucapnya yang membuatku terperangah kaget. Jianghan mengajakku bertemu malam ini?
"Tapi, jika kau tidak bisa. Aku tidak apa-apa, aku takkan memaksamu, aku hanya meminta waktu luangmu saja." Tambahnya sembari menoleh ke arahku. Kali ini, aku bisa membayangkan betapa dekatnya kita siang itu. Aku bisa merasakan hembusan napas Jianghan yang menerpa wajahku. Tatapan Jianghan tak seteduh tatapan yang pernah kutatap sebelumnya.
Kami saling menatap satu sama lain. Bukankah dalam buku cinta milik Shu In berkata jika seseorang menatapmu lebih dari 8 detik, maka orang itu menyimpan rasa untukmu.
"Satu…" hitungku dalam hati
"Dua…"
"Tiga…"
"Empat…"
"Limaa…"
Batinku semakin meronta, "Mengapa Jianghan tak memalingkan wajahnya? Mengapa terus menatapku?"
"Enam..Tujuh….Delapan.." gumamku dan hitunganku berhenti.
Jianghan tak memalingkan wajahnya sama sekali.
"Yuan Lin" panggilnya yang terus menatapku.
"Hmm?"
"Ternyata hidungmu kecil sekali ya?" ucapnya yang memecahkan suasana hingga membuatku membuang muka dari tatapannya.
"Kau ini menyebalkan." kesalku yang kemudian bangun dari tempat dudukku. Namun, Jianghan mulai menarik lenganku.
"Kau tak bisa pergi, sebelum kau jawab tawaranku. Kau bisa keluar malam ini, tidak?" tanyanya lagi.
Aku masih memalingkan wajahku, "Tidak, aku sibuk."
Kulangkahkan kakiku dan pergi menjauhinya. Sementara itu, di balik tembok kamar mandi wanita, kusentuh dadaku.
"Aku tak ingin kembali ke dalam perasaan yang sama." batinku.
Di ruang kelas yang lebih senyap, Shu In dan Fen menungguku. Aku masih tetap berpura-pura tak ada suatu hal yang terjadi.
"Kau dari mana?"
"Kamar mandi." pungkasku yang membuat Fen mengangguk.
Aku masih terdiam tanpa sepatah kata sembari memandang langit dari jendela kelas. Rasanya, agak aneh jika Jianghan berkata seperti itu. Apakah ucapannya bisa dipercaya, apa cara bicaraku terlalu kasar dan menyakiti hatinya? Aku kembali bergumam, bukankah dia tak punya hati.
"Yuan Lin, tadi Zhai Lian mencarimu, dia bilang dia tak bisa pulang bersama sore ini. Karena orang tuanya mengajak Lian bertemu di restoran samping sekolah. Jadi, dia memintaku untuk menyampaikan permohonan maafnya padamu." bisik Shu In dari bangku belakangku. Aku mengangguk mengiyakan.
"Kudengar Liao Jin pindah sekolah."
"Benarkah? Mengapa dia pindah sekolah?" kagetku
"Entahlah, kurasa dia ingin memperbaiki nilainya. Dia dipindahkan ke XinJing School, kau tahu kan sekolah khusus penyuka olahraga. Liao Jin juga sangat pandai dalam bidang olahraga, bahkan dia juga pernah menjuarai lomba renang dan lari untuk sekolah ini, kan?"
Aku mengangguk paham, "Kukira dia pindah sekolah karena aku yang selalu menghindar darinya?"
"Kau ini bicara apa, bahkan dia juga menitipkan hadiah untukmu." sahut Shu In sembari mengeluarkan sebuah kotak besar dari bawah mejanya.
"Liao Jin juga menitipkan ini semua untukmu, dia tadi mencarimu tapi kau tidak ada."
Aku mencoba membukanya, kulihat sebuah sweater biru indah dengan angka 17 di depannya. Kulihat ada surat putih yang ikut terselip di sana.
"Aku mungkin menjadi pria yang berlebihan untukmu, Lin. Maaf, aku tak bisa berpamitan secara langsung padamu. Aku pindah ke sekolah JinXing atas kemauanku sendiri. Selama duduk di kelas F sendirian tanpamu hidupku terasa hampa. Jadi, aku meminta orang tuaku untuk segera memindahkanku ke sekolah ini. Kau tahu kan kalau aku menyukai dunia olahraga, kau tak boleh berpikiran aneh-aneh ya. Kau jaga Kesehatan, bukankah kau juga ingin masuk ke Beijing University? Jadi, kau harus banyak belajar. Sweater ini kudesain sendiri, kuharap kau menyukainya. Nanti ketika aku sudah menjadi pesepak bola terkenal, tolong pakai sweater ini ketika kau menontonku, ya! Aku cinta kamu. Salam hangat, Liao Jin." Bacaku. Aku menyeka air mataku, Liao Jin dia benar-benar pindah sekolah.
"Kau menangis, Lin?" tanya Fen yang mulai membelai halus punggungku.
"Apa sikapku pada Liao Jin buruk hingga dia pergi dari hidupku?"
"Tidak, kau ini bicara apa. Kau sudah baca suratnya, kan? Dia pergi karena ingin mengejar impiannya bukan karena membencimu." tenang Shu In. Aku kembali menyeka air mataku.
Sore itu, langit agak mendung nampaknya hujan akan segera turun. Siang tadi terik sekali, dan sore ini mendung. Cuaca sedang tak baik-baik saja. Baru saja kubergumam, rintik hujan mulai turun dengan deras. Aku kembali terjebak hujan di halte bus dengan sepedaku. Ku intip jam di tanganku menunjuk pukul 5 sore.
Angin yang bertiup sangat kencang menggoyang-goyangkan pepohonan ke sana kemari. Apakah badai akan turun?
"Xiao Jianghan?" panggilku yang melihat seorang pria tengah berteduh di bawah pohon besar menunggu penyebrangan jalan.
Aku bergegas berlari,
"Kau jangan berteduh di bawah pohon di saat hujan angin seperti ini. Ayo ke halte saja!" teriakku pada telinga kanan Jianghan dan mencoba membantunya menyebrang dan kembali ke halte depan sekolah.
Kulihat rambut dan seragamnya basah.
"Maaf, karena telah membuatmu basah." ucapnya.
"Tak masalah, lain kali kau jangan berteduh di bawah pohon ketika hujan angin tiba. Kau tahu, berbahaya kalau pohon itu tumbang." responku.
Tiba-tiba Jianghan mendekap erat tubuhku. Dekapannya begitu erat hingga aku bisa merasakan detak jantungnya.
"Bagaimana bisa aku berhenti mencintaimu, Lin?" lirihnya yang masih mendekap erat tubuhku.
"Aku mencintaimu, Yuan Lin." ucapnya yang kali ini terdengar jelas di telingaku diiringi dengan suara petir yang menyambar meruntuhkan pertahanan hatiku.
"Tolong, jangan diamkan aku. Aku terluka dengan sikapmu. Aku mohon jangan tinggalkan aku, Lin." tambahnya yang membuatku semakin terdiam.
"J-Jianghan?" panggilku dengan lirih yang membuatnya melepaskan pelukannya.
Ia mulai menatap mataku, "Kau bisa dengar bagaimana perasaanku, kan?" Ia mulai meraih tanganku dan menaruh tanganku pada dadanya untuk merasakan detak jantungnya.
"Kau bisa rasakan, inilah detak jantungku setiap kali aku bertemu denganmu." ucapnya yang membuatku semakin menatap wajahnya.
Pertahananku untuk melupakannya selama 6 bulan, kini berakhir sia-sia. Jianghan, dia membalas tuk mencintaiku?