Dream it, do it and reach it. Pernahkah kalian mendengar sebuah perkataan selagi kita bisa bermimpi berarti masih banyak kesempatan yang bisa dilakukan untuk menggapainya. Sama halnya ketika kita ingin melakukan sesuatu tetapi kita menganggap bahwa kemampuan yang dimiliki tak sesuai dengan keinginan yang diimpikan tapi percaya atau tidak bahwa sesungguhnya kau mampu tuk mewujudkannya. Hanya saja kau tak percaya.
Jam sudah menunjuk pukul 10 lebih lima, kantin sekolah mulai ramai oleh siswa-siswi yang berdatangan memesan makan, rasanya kali ini jika kupikirkan untuk melangkah ke depan menuju kelas A amat panjang langkah yang kubutuhkan. Dari F ke A aku harus melewati kelas E, D, C, B dan A. Setidaknya masih ada empat kelas yang harus kulampaui nilainya. Jika ku usut tuntas semua hasil belajarku nampaknya untuk naik ke kelas E atau D saja rasanya masih banyak poin yang kubutuhkan. Bagaimana melaju ke kelas A, rasanya poin yang butuhkan juga ekstra banyak terlebih banyak sekali orang yang mengidamkan untuk masuk ke kelas favorit, A.
Aku kembali menaruh kepalaku di atas meja kantin, selera makanku seakan ikut menghilang diterpa angin. Rasanya ingin menyerah, tapi aku sudah bertekad untuk pindah kelas. Lalu, apa yang harus kulakukan? Bagaimana aku belajar, bahkan semua hal pun aku tak tahu.
"Apa kau yakin kau tak ingin makan siang, Lin?" tanya Shu In yang membangunkan ku dari lamunan.
"Kau makan sajalah, aku tidak lapar." jawabku dengan nada lesu sembari menatap dengan tatapan mata yang sayu.
"Apa yang kau pikirkan sebenarnya, Lin? Makanlah, aku tak mau jika kau sakit." sahut Liao Jin yang menatapku dengan penuh perasaan sembari ia menyodorkan sekotak makanan yang dibawanya ke arahku.
Aku tetap menggelengkan kepalaku dan mulai memejamkan mataku sembari tetap menaruh kepala di atas meja. Gairahku telah hilang.
"Ada apa dengannya?" bisik halus Jin pada kedua sahabatku, namun suaranya masih sayup-sayup terdengar di telinga.
"Dia ingin pindah ke kelas A saat kelas tiga nanti." jawab Fen dengan ikut berbisik kepada Liao Jin. Matanya mulai terbelalak kaget mendengar ucapan Fen yang seakan mengguncang dunianya.
"Lin-ku ingin pergi ke kelas A, apa itu benar?" tanyanya dengan terbelalak kaget. Nampaknya bisa kubayangkan bagaimana ekspresi wajahnya.
Aku masih tak mau meresponnya.
"Lin, aku mohon jawablah pertanyaanku. Apa semua yang dikatakan temanmu ini, benar?" tanyanya sekali lagi sembari menyentuh lenganku yang berada di atas meja.
Aku mulai mengangkat kepalaku, "Iya, aku ingin pindah ke kelas A. Tapi, aku tak tahu bagaimana caranya."
"Tapi, kenapa? Apa aku tak menarik lagi di matamu, Lin atau ada pria lain yang kau sukai sehingga kau ingin pergi? Jika kau pindah kelas bagaimana dengan nasib cintaku, aku benar-benar tulus mencintaimu bahkan aku akan rela menunggumu sampai kau siap menjadi pendampingku." tutur Liao Jin dengan sorot mata yang lembut dan penuh kasih. Ucapan Liao Jin yang spontan itu membuat kedua sahabatku terperangah kaget dan menatap satu sama lain.
Aku mulai beranjak dari kursiku, "Aku tidak tahu."
"Lin kau mau kemana?" teriak Fen dengan lantangnya, namun aku hanya membalasnya dengan lambaian tanganku saja seakan malas sekali tuk berbicara di tengah keramaian kantin siang ini.
"Biar kususul dia." ucap Liao Jin yang juga ikut bergegas berdiri dari kursinya, namun Shu In mulai menahan lengan Liao Jin agar tak mengikutiku.
"Tak perlu, dia pasti ingin menenangkan pikirannya. Kau makanlah!" tahan Shu In terhadap Liao Jin. Pria baik itu hanya menghela napas panjangnya seakan kecewa karena tak bisa menemaniku di kala mood sedang kacau.
Aku mulai duduk di sebuah kursi dekat taman sekolah. Seperti biasa tempat inilah favorite-ku di mana tak ada seorang pun yang datang untuk mengganggu, semuanya hening dan tenang. Sepoi-sepoi angin mulai berhembus lembut menerpa wajahku, rasanya semua bebanku sirna sudah. Hijaunya tanaman menjadi pemandangan sejuk mataku.
"Berpikir dengan perut kosong itu tidak baik bahkan membiarkan diri kelaparan juga buruk bagi kesehatan." ucap seseorang dengan suara yang serak basah namun sangat familiar sembari ia melempar sebuah roti ke arahku. Aku mulai menoleh menatapnya, bibirku kembali menyeringaikan secuil senyum memandang sosok pria gagah yang berdiri dengan sebuah plastik putih yang ada digenggamannya.
"Jianghan? Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku yang menatap sosok Jianghan yang tengah menyandar di sebuah pohon besar. Perlahan-lahan ia mulai melangkah kakinya mendekatiku.
"Seharusnya aku yang bertanya padamu, mengapa kau tak makan di kantin bersama teman dan kekasihmu?" tanyanya dengan tangan yang terlipat di dada bidangnya.
"K-kekasih? Siapa maksudmu?"
Ia mulai menyeringaikan bibirnya dengan mata yang menatap tajam ke arah lain, "Liao Jin, siapa lagi kalau bukan dia? Bukankah ia selalu menganggapmu sebagai kekasihnya bahkan satu sekolah pun tahu mengenai gosip ini."
Aku hanya menggelengkan kepalaku, "Kau salah paham, aku dengannya hanya berteman."
Ia hanya menyeringaikan bibirnya sekali lagi sembari duduk di sebelahku, "Kukira dia kekasihmu."
Aku menggelengkan kepalaku dengan resah melihatnya duduk di sampingku.
hening kembali tercipta, aku selalu diam membatu jika ada Jianghan di sisiku. Jantungku kembali berdegup dengan kencang, ini untuk pertama kalinya aku duduk berdua di tengah taman bersama Jianghan. Sesekali aku juga menelan ludah karena gerogi. Apa yang harus kulakukan?
"Apa kau tidak lapar?" tanya Jianghan yang membuatku terkejut dan menatapnya dengan kedua mata yang terbelalak.
Aku mulai menyentuh perutku, rasanya sedari tadi perut ini berbunyi. Apa Jianghan mendengar suaranya?
Jianghan kembali menghela napas panjangnya dan mencoba menatapku yang tengah duduk di sebelahnya, "Kalau memang kau lapar, makan saja roti yang ada di genggamanmu."
"Roti ini? Untukku?" tanyaku sekali lagi sembari menatapnya.
Jianghan mengangguk pelan.
"Seharusnya kau juga membawakan aku air minum, jika aku tersedak karena roti ini bagaimana?" tambahku padanya.
"Kau ini, wanita yang tak tahu terima kasih, masih baik aku memberi makan padamu supaya tak kelaparan." jawab Jianghan yang mulai merogoh sebuah plastik putih mengambil sesuatu yang terselip di sana.
"Kau saja yang tidak perhatian terhadap perempuan, coba saja kau pikirkan jika makan tanpa minum, bagaimana rasanya?" sindirku sembari mengunyah roti pemberiannya dengan wajah asam.
Tiba-tiba ia mulai menarik pergelangan tanganku dan menaruh sekotak susu di telapak tanganku, "Apa sekarang kau puas?"
Aku hanya tersenyum kecil sembari mengangguk mengiyakan. Jianghan hanya memperhatikan setiap menit dan detikku mengunyah makanan.
"Gadis yang menyedihkan." ucapnya yang mulai bangkit dari kursinya dan pergi begitu saja tanpa permisi. Aku hanya menatap dengan penuh keheranan, Apa dia datang hanya ingin memberiku makanan? Dia memang pria aneh dan tak bisa ditebak.