"Dunia ini penuh misteri, hari ini kau bertemu dengannya namun esok kau kan dipisahkan karena takdir-Nya. Hari ini kau segalanya dan esok kau akan disia-sia"
Langit mulai gelap, desiran angin dingin mulai bertiup menusuk kulit. Keadaan sekolah sudah mulai sepi, hanya tersisa diriku yang belum beranjak pergi. Namun, seorang pria misterius berjaket hitam bertopi datang dan mulai menghadang. Jantungku kembali berdegup kencang, keringat dingin kembali bercucuran ketika sosok itu mengatakan
"Lama sekali, apa yang kau lakukan di atas sana?" tanyanya dengan suara agak berat seakan sudah lama ia duduk terdiam di salah satu anak tangga lantai satu.
Pikiranku mulai kacau mengenai sosok pria bertopi yang kini berdiri kokoh di depanku. Siapakah sosok ini sebenarnya? Mengapa ia menungguku?
Sosok pria itu mulai membalikkan tubuhnya, perlahan-lahan aku mulai menutupi wajahku dengan kedua telapak tanganku sembari bergidik ngeri menyandarkan punggungku di sebuah dinding tangga menuju lantai satu.
"Apa yang kau lakukan?" tanya sosok pria itu dengan suara serak basah sembari berjalan ke arahku dan menyentuh bahuku.
"J-Jianghan? A-apa yang kau lakukan di sini?" ucapku yang tak percaya sembari menurunkan kedua telapak tanganku.
"Menunggumu, apa lagi?" jawabnya yang sangat realistis.
Dengan napas yang agak tersenggal-senggal aku mulai menatapnya dengan tangan yang agak gemetar. Kurasa kali ini jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya, entah karena ketakutan atau karena gerogi melihatnya sangat dekat di depan mataku.
"Hey, apa kau baik-baik saja?" tanyanya dengan suara lembut dengan bola mata yang terbelalak seakan terkejut melihatku yang diam membeku tanpa sepatah kata yang terucap. Ini pertama kalinya, aku mendengar suara halus Jianghan.
Aku hanya mengangguk mengiyakan. Namun, tak kusangka Jianghan mulai meraih telapak tanganku dan menggenggamnya dengan erat.
"K-kenapa kau dingin sekali? Apa kau sedang sakit?" tanyanya kali ini dengan mata yang menatap teduh diriku. Aku masih menggelengkan kepalaku, tak bisa mengungkapkan apa yang ingin kuungkapkan. Aku benar-benar terpesona dengan sikap Jianghan sore ini.
"Kalau begitu, mari kita pulang." ajaknya yang tetiba saja menggandeng erat tanganku membimbingku dalam menuruni tangga.
Aku masih diam mematung tanpa sepatah kata yang dapat terucap seakan merasa tak percaya bahwa Jianghan benar-benar menggenggam erat jari jemariku dengan hangatnya. Mengapa ia bersikap demikian? Aku tahu bahwa ini hanyalah tipu daya Jianghan, hari ini ia bersikap baik dan esok ia akan kembali menjadi sosok yang menyebalkan.
Di perjalanan menuju rumah, dihiasi langit yang sudah gelap menghitam lebam berhiaskan ribuan bintang bertaburan menambah nuansa romantis ala kisah drama Korea. Aku dan Jianghan kembali berjalan beriringan sembari mendorong sepeda, rasanya sudah lama aku tak bersamanya, di sekolah aku hanya mampu memandanginya tanpa menyapa. Bukan karena aku tak mau, tapi karena banyak gadis ideal yang ada disekelilingnya. Sementara aku? Aku bukanlah apa-apa. Bagaikan debu yang tertiup angin.
Sorot lampu jalanan menjadi saksi bisu peristiwa petang ini, rasanya sungguh berbeda, apa Jianghan sudah mulai merasakan cintaku? Apa yang sebenarnya kupikirkan, mengapa aku bisa berpikir sejauh ini? Jika kupikir-pikir, untuk apa seorang pria rela menunggu seorang wanita hingga waktu yang lama bahkan iapun tak protes sama sekali hanya menunggu dengan besar hati.
"Jianghan?" panggilku. Kulihat ia mulai bergumam dan menoleh ke arahku.
"Jika ku boleh tahu, mengapa kau menungguku?" tanyaku sembari mendorong sepeda berjalan beriringan di sisi Jianghan yang tengah menggiring sepedanya. Tiba-tiba saja ia terhenti.
"Aku mendengar temanmu berbicara bahwa kau ingin belajar di sekolah hingga larut malam, sebenarnya aku sudah akan pulang tapi, aku baru sadar kalau malam hari banyak pemabuk jalanan yang suka menggoda gadis. Apalagi kau." ucapnya yang mulai melirik ke arahku.
"Aku? Ada apa dengan diriku?" tanyaku sembari menuding hidungku dengan telunjukku.
Terlihat Jianghan hanya menyeringaikan bibirnya, "Kau kan sangat kecil dan penakut."
Aku kembali mengernyitkan dahiku, "Kau belum tahu saja siapa diriku sebenarnya. Kau tahu, aku ini ahli dalam bela diri, jangankan para pemabuk pria jalanan pun takut denganku."
"Benarkah? Kalau begitu aku pulang saja, tak ada gunanya aku pulang bersamamu. Kau kan sudah hebat dariku." ucapnya yang mulai menaiki sepedanya, namun ku bergegas tuk menahannya dengan menggenggam erat lengannya.
"Kau tak bisa pergi semudah itu walaupun kau sering mengacuhkanku tapi aku takkan melepaskanmu. Ini kesempatanku untuk dekat denganmu." gumamku yang masih menggenggam erat lengan kanannya dan membiarkan sepedaku tergeletak di jalanan hanya demi memeluk tangan kekar Jianghan. Tak lupa kusandarkan pipiku pada tangannya, bisa kurasakan ada sengatan dahsyat yang mulai menjalar di dadaku.
"Apa yang kau katakan? Coba ulangi sekali lagi, aku tak mendengarnya."
Aku mulai melepaskan genggamanku dan meringis menatapnya.
"Ada apa kau tersenyum-senyum seperti itu? Apa kau tak lihat sepedamu menghalangi jalan orang lain." ujarnya yang mulai bernada cuek membangunkanku dalam lamunan. Aku mulai menoleh ke belakang melihat seorang pria dengan mobil hitam dengan mimik wajah marah sembari terus membunyikan klaksonnya berkali-kali dengan keras.
"Hei, nak tolong jangan parkir sepeda di jalan raya. Kalau ingin bermesraan jangan di sini, mengganggu orang lewat saja." kritik pedas seorang pria muda dari kaca mobilnya yang memintaku untuk segera memindahkan sepedaku yang tergeletak menghalangi jalannya. Aku bergegas membangunkan sepedaku dan menyingkirkannya dari jalanan.
"Maaf, pak." kataku dengan menganggukan kepalaku. Pria itu hanya membalas dengan menggelengkan kepalanya seakan merasa terheran-heran dengan tingkah anak zaman sekarang. Aku mulai menggigit bibirku.
Sepanjang jalan aku mulai memandangi langit, sepoi-sepoi angin mulai berhembus halus kali ini aku menghirup oksigen yang sama dengan Jianghan.
"Lin, kudengar kau ingin berusaha untuk masuk ke kelas A, apa itu benar?" tanya Jianghan yang membuat kedua bola mataku terbelalak lebar seakan ingin ikut melompat keluar. Aku mulai menggaruk kepalaku yang tak gatal. Apa yang harus kukatakan?
"Ah, itu. Aku tak yakin dengan kemampuanku, aku lihat di papan pengumuman aku butuh poin 700 untuk masuk ke kelas A dan kau tahu, aku hanya memiliki 100 hingga 180 poin di ujianku. Poin 180-pun aku jarang mendapatkannya. Aku, aku hanya siswa dengan nilai terendah di sekolah." ucapku yang membuat Jianghan kembali terhenti, ia mulai menoleh ke arahku yang tengah tertunduk malu mengucapkan kata-kata ini kepadanya. Sebenarnya aku tak mau terlihat bodoh di depannya tapi apalah dayaku. Inilah aku sebenarnya.
"Lin, bisakah kita bicara dan duduk sebentar?" pinta Jianghan yang membuatku mengangkat kepalaku menatapnya.
"Duduk? Tapi ini sudah jam 7 malam." ujarku sembari memeriksa jam di tanganku yang sudah menunjuk pukul 7 malam lewat lima menit.
"Hanya sebentar." Ia mulai menarik tanganku dan membimbingku tuk segera memarkir sepedaku dan duduk di sebuah halte bus yang ada di pinggiran kota.
"Apa yang ingin kau bicarakan padaku?" tanyaku yang menggoyangkan kakiku sembari menatap lantai halte bus. Terdengar Jianghan mulai menghela napas panjangnya.
"Kau tahu, semua orang bisa melakukan apapun yang mereka inginkan." ucap Jianghan yang membuatku melirik menatapnya.
"Tapi, tidak denganku." jawabku dengan suara lesu.
"Siapa yang bilang begitu, kau tahu sosok Thomas Alva Edison pun pernah gagal, tapi yang membuatnya sukses adalah ia gigih dalam berusaha. Kau masih bisa menjadi Edison-Edison lainnya atau bahkan kau bisa menjadi sosok Einstein yang cerdas asalkan kau mau berusaha, kau tahu kan usaha tak pernah mengkhianati hasil?" Jianghan mulai menyeringaikan bibirnya kembali menatapku.
Hatiku mulai bergumam, "Percuma saja kau bicara seperti ini, Tapi kau tak pernah mau melihat semua rasaku."
Aku mulai menatapnya, "Lalu, apakah aku bisa melakukannya?"
Kulihat Jianghan mengangguk mengiyakan, anggukan kepalanya seakan memberikan seribu nutrisi tuk kembali semangat menjalani hari.
"Darimana kau tahu kalau aku ingin pergi ke kelas A? Apa Liao Jin memberitahumu?" tanyaku dengan penasarannya.
"Tidak, aku hanya tahu saja. Apa yang tak kuketahui, semua bisa kuketahui dengan mudah. Bahkan aku juga tahu, kalau kau ingin ke kelas A hanya untuk satu kelas dengan Zhai Lian, benar bukan?"
Aku kembali terbelalak mendengar ucapan Jianghan menyebut sosok Zhai Lian.
"Hah? Zhai Lian? Apa maksudmu, aku tak mengerti?"
"Bukankah incaranmu selama ini adalah Zhai Lian, pria tampan dan kaya raya?" ucap Jianghan yang kemudian berdiri dari tempat duduknya dan mulai meraih sepedanya meninggalkanku.
Lagi-lagi ia salah paham. Apa yang sebenarnya ada dipikirannya? Begini salah dan begitu juga salah, kurasa memang aku selalu salah di matanya.
"Kurasa Jianghan memang sudah gila, aku melakukan semua ini hanya untuk dirinya tapi dia tak pernah sadar akan apa yang telah kulakukan, sebenarnya siapa yang gila, aku atau Jianghan?" gumamku sembari menepuk jidatku.