Pagi yang cukup cerah jika dibandingkan dengan kemarin yang sepanjang hari di tutupi awan gelap, atau biasa di sebut cuaca yang berawan. Hari yang sempurna untuk memulai hari seperti bekerja misalnya.
Dan disinilah Zulfa, menatap Farel yang tengah mengenakan jas kerja miliknya, ia ingin berangkat kerja pagi ini. Terlihat laki-laki itu kesulitan saat mengancing ujung kemeja yang paling atas, sepertinya kaku mengingat Farel yang gemar membeli kemeja kerja baru setiap minggunya.
"Bisa aku bantu, Mas?" tawar Zulfa dengan nada sedikit ragu. Pasalnya mereka memiliki hubungan yang kurang baik mengingat sifat Farel yang terlewat dingin.
Ia sebenarnya juga sedikit ragu untuk menawarkan bantuan, tapi mau bagaimana lagi? Ia akan selalu menjadi seorang istri yang membantu segala aktivitas suaminya. Ia hanya ingin menjadi yang terbaik, dan belajar menjadi yang terbaik. Itu saja, tidak meminta macam-macam seperti layaknya barang mewah ataupun pergi ke salon setiap minggunya.
Farel melirik Zulfa dengan tatapan mematikan, dengan mata yang sangat tajam melihat ke arah Zulfa. "Tidak perlu." ucapnya seadanya dan berhasil mengancing kemejanya dengan rapih dan benar. Menurutnya, ia sama sekali tidak membutuhkan seorang istri seperti Zulfa.
Zulfa menghembuskan napasnya, selalu saja Farel bersikap sangat dingin semenjak awal pernikahan. Sudah berkali-kali ia mencoba untuk berdamai dengan keadaan, tapi laki-laki itu selalu saja bersikap seolah-olah menentang perbuatannya.
"Mas nanti ingin di masaki apa?" tanya Zulfa mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Ia selalu kehabisan kata-kata jika Farel sudah menolak segala perjuangannya dengan sangat mudah dan tanpa hati sedikit pun. Bahkan, ia sebenarnya juga tidak yakin untuk menawari menu makan yang harus ia masak untuk laki-laki tampan dengan perawakan yang sangat berwibawa itu.
Sebarapa beruntung dia memiliki suami yang sangat sejuk ketika di pandang. Sayangnya, hati laki-laki itu terlalu beku untuk sekedar menjalin pernikahan bersama dengan dirinya.
Farel kini sedang menatap bangga ke arah dasi yang sudah berhasil menggantung sempurna di kerah bajunya dengan ikatan yang rapih hasil kinerja tangannya sendiri, ia pun hanya mengangkat bahunya acuh untuk merespon pertanyaan Zulfa. "Untuk apa? Saya tidak masak makanan seseorang yang tidak saya kenal, bisa saja nanti terdapat sesuatu di dalamnya." ucapnya dengan sangat tenang seolah-olah apa yang ia katakan ini tidak memberikan efek apapun pada hari seorang wanita yang sudah mengerahkan segala kemampuannya untuk menghidupkan suasana pernikahan mereka.
Tidak penting. Itu adalah pendeskripsian yang pantas untuk ditunjukkan pada Zulfa. Kalaupun penting sekali pun, ia tidak apa pernah ingin menaruh kepentingannya untuk wanita itu. Buang-buang waktu dan tenaga saja, pikirnya.
Dada Zulfa sesak mendengar ucapan Farel yang sangat tidak punya perasaan. Kenapa laki-laki itu seperti sangat menolak kehadiran dirinya? Ia hanya ingin mengabdikan seluruh hidupnya untuk berbakti pada sang suami, kenapa sesulit ini?
Apa seburuk itu Zulfa di mata Farel? Sampai-sampai segala cara tidak ada yang mempan satu pun. Sepertinya ia sangat ingin meminta permohonan pada Tuhan untuk memberikan dirinya kelebaran rasa sabar dan juga jalan keluar atas masalahnya kali ini.
"Aku istri kamu, Mas." lirih Zulfa dengan napas yang sudah tercekat di tenggorokan. Ia menahan supaya kristal bening di pelupuk matanya tidak berjatuhan. Bagaimana pun juga ia tidak boleh terlihat lemah. Baru awal pernikahan, bukankah seharusnya ia merasa berkali-kali lipat kesenangan?
"Dan saya bukan suami kamu, Fa. Tolong dipahami." Bantah Farel dengan tatapan yang semakin menajam, tanpa ekspresi apapun. Ia benar-benar benci berada di situasi seperti ini. Ia menjadi terlihat seperti seorang laki-laki yang sangat bersalah karena sudah membawa takdir pahit masuk ke dalam hidupnya. Kehadiran Zulfa bahkan bukan suatu hal yang pernah ia duga, dan dirinya tidak akan pernah mau berada di dekat wanita itu untuk apapun alasannya.
Zulfa tersenyum pahit. Kenyataan ini sudah beberapa kali menikam dirinya membuat lubang luka yang sangat mendalam. Bahkan pernikahannya dengan Farel yang belum genap sepuluh hari sudah seberat dan sesakit ini. Menyerah? Itu bukanlah sifat Zulfa. Ia selalu mentaati perintah di dalam islam untuk tetap mempertahankan sebuah pernikahan, sekali seumur hidupnya.
Memang terdengar bodoh karena sudah mati-matian mempertahankan hubungan yang sudah masuk ke dalam kategori 'toxic' ini. Tapi mau bagaimana lagi? Segalanya ia akan lakukan supaya dirinya memiliki sedikit ruang di hidup laki-laki itu.
"Oh iya, nanti temani aku belanja ya Mas? Sepertinya keperluan dapur minggu ini sudah menipis." ucap Zulfa masih berusaha mencairkan es batu yang kini sudah ada dihadapannya. Ia meneguk salivanya dengan susah payah, astaga Farel benar-benar tampan dan wangi maskulin!
Bahkan dirinya masih sempat untuk gagal fokus membayangkan betapa tampannya ciptaan Tuhan yang berhasil menjadi miliknya secara sah di mata hukum dan agama. Sayangnya saja hati batu Farel tidak bisa di goyangkan untuk tetap mempertahankan hubungan dengan sang kekasih.
Farel menarik napas, lalu menghembuskannya dengan perlahan. "Sudah berapa kali saya bilang, jika saya mempunyai seorang kekasih? Saya tidak ingin dia cemburu dengan wanita seperti kamu." ucapnya yang masih memasang wajah datar. Jujur saja ia sangat kesal dengan Zulfa yang secara tersirat memaksa dirinya untuk suka dengan wanita itu.
Zulfa menatap Farel dengan raut wajah yang memohon. "Tapi Mas, sebentar saja. Apa sesulit itu meluangkan waktu untukku?" tanyanya dengan mata yang sudah mulai berkabut. Tidak dapat di pungkiri ia sangat ingin sekali-kali ditemani berbelanja bulanan bersama sang suami. Ah memang ia selalu menginginkan hal kecil yang sederhana tapi tidak pernah terwujud satu pun.
"Iya, because you are nothing, Fa." ucap Farel dengan dingin, matanya kian setajam silet. Ia tidak peduli perkataannya akan terdengar sangat menyakitkan bagi Zulfa. Ia hanya tidak ingin menumbuhkan perasaan wanita di hadapannya ini terhadap dirinya. Menimbulkan harapan yang berlebihan, dan membuat wanita itu nanti merasa salah paham kalau diberikan sifat manis olehnya.
Jahat? Mungkin menurutnya tidak. Ini adalah bentuk ketegasan dirinya sebagai seorang laki-laki, itu saja. Ia tidak ingin membuat wanita lain berharap lebih padanya yang tentu saja tidak akan pernah ia balas perasaan tersebut.
Dada Zulfa terasa semakin sesak. "Tapi Mas--"
Farel mengambil tas kantor yang berada di samping Zulfa. Ia menatap wajah gadis itu dengan intens. "Kamu jauh lebih baik diam daripada seperti ini." ucapnya memotong pembicaraan Zulfa yang sama sekali belum tuntas terlontarkan dari dalam mulutnya.
"Tapi, mas--"
"Sekali lagi, kita ini bukan siapa-siapa."
Lagi dan lagi, Farel memotong ucapan Zulfa dengan seenaknya. Tidak memberikan wanita itu kesempatan untuk berbicara apa yang ingin ia utarakan saat ini. Tidak ada kesempatan untuk mendapatkan jawaban dari apa yang telah menjadi gelisah di dalam hati wanita itu.
Sakit, nyesek, dan perih...
Itu yang Zulfa rasakan saat ini. Pernikahan yang ia bayangkan sebelumnya sangat sempurna jika dibandingkan dengan pernikahannya kini. Menyandang gelar keluarga Brahmana tentu merupakan keberuntungan tersendiri bagi dirinya, materi yang selama ini kekurangan baginya kini sudah terpenuhi. Semuanya mewah. Tapi tidak dengan hatinya, untuk apa semua kemewahan ini jika Farel saja tidak peduli padanya?
"Tap--"
"Nanti saya ingin makan pergi keluar dengan kekasih saya." ucap Farel memotong ucapan Zulfa untuk yang ketiga kalinya. Ia hanya ingin keluar dari topik pembicaraan yang menurutnya sangat tidak perlu di perpanjang lebih lanjut.
Dadanya semakin sesak mengingat hal ini, Farel lebih memilih kekasihnya daripada dia. Mengenaskan. Apapun yang terjadi, ia seperti memang selalu ditakdirkan untuk mengalah.
"Jangan pulang larut malam, Mas." gumam Zulfa dengan menarik senyuman simpulnya. Ia kini merasa lebih baik mengalah daripada mengundang keributan tidak jelas karena membahas hal yang serupa setiap harinya. Mungkin ia harus menerima takdir dengan perlahan.
Farel hanya menaikkan sebelah alisnya merasa risih dengan ucapan Zulfa barusan, lalu tanpa berkata apapun lagi, ia segera keluar dari kamar dan pergi meninggalkan wanita itu sendirian yang menatap kearahnya dengan senyuman pahit. Ia hanya tidak suka ketika Zulfa membicarakan hal tidak penting. Ah, memang gadis itu tidak penting baginya.
Zulfa meremas ujung bajunya, menahan sesak di dada yang kian semakin terasa. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Dan akhirnya, ia menangis tanpa suara yang merupakan andalannya paling ampuh. Semua sesak di dadanya seakan menguap begitu saja. Tidak, dirinya belum hancur. Ia masih akan tetap bertahan. Awalnya memang menyakitkan, tapi siapa tahu setelahnya ia akan merasa bahagia, bukan?
Berharap, hanya itu yang bisa ia lakukan.
Ini semua baru awal dari beribu kisah dirinya dan Farel. Ia tidak akan pernah membiarkan apa yang sudah menjadi takdir tersia-siakan begitu saja.
Ya, semoga saja seperti itu.
Setiap perkataan Farel mampu menusuk hatinya sangat dalam. Ia bukan gadis yang lemah, namun bagaimana perasaanmu ketika suamimu sendiri berkata seperti itu? Apa kamu akan terima? Apa kamu tidak akan menangis?
"Untuk apa? Saya tidak masak makanan seseorang yang tidak saya kenal."
"Dan saya bukan suami kamu."
"Sudah berapa kali saya bilang, saya mempunyai seorang kekasih. Saya tidak ingin dia cemburu dengan gadis seperti kamu."
"Sekali lagi, kita ini bukan siapa-siapa."
Perkataan menyakitkan itu, terus saja terlintas dipikirannya. Kuat tidak kuat, berlapis-lapis topeng tak kasat mata akan ia pakai. Ia sangat pandai membohongi perasaannya kepada orang lain. Karena menurutnya, permasalahan pernikahan adalah hal yang privasi. Bagaimanapun kondisinya, harus di selesaikan dengan kedua belah pihak yang bersangkutan.
Namun, mau bagaimana lagi? Pernikahannya sangat membingungkan.
Dijodohkan hanya karena harta warisan. Hidupnya mungkin sesaat lagi akan penuh dengan lika liku yang menyesakkan rongga hati. Mungkin setelah ini, ia akan benar-benar menjadi sosok wanita yang sangat tangguh.
Pada dasarnya, ia hanya tau jika jodoh sudah diatur oleh Tuhan. Tapi bagaimana rintangan yang ia akan hadapi, ia sama sekali tidak memiliki gambaran sedikitpun.
Sama sekali tidak ada.
...
Next chapter